KLANG! KLANG! KLANG!
Sebuah jam besar tua berbunyi di depan Hiro. Ia sedang berdiri dengan wajah datar. Kegelapan pekat menyelubungi sekelilingnya.Dirinya dan jam itu yang diterangi oleh sinar lampur sorot.
Hiro menatap beda di hadapannya dengan pandangan tidak mengerti. Jam itu terus berbunyi semakin keras sampai Hiro tidak tahan mendengarnya. Ia menutup telinganya dengan kedua tangan.
Klak!! Klak!
Pendulum di dalam jam itu tersangkut oleh sesuatu.
"Sensei…" Seseorang memanggilnya. Hiro berbalik dan menemukan Yue sedang menghadapnya.
"Yue… sedang apa kau disini?"
Yue tidak menjawab. Hiro mulai menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
DOR!! Suara tembakan terdengar dua kali dari belakang Yue. Mata Yue membelalak kaget.
"Yue!!!" Teriak Hiro. Tubuhnya maju ke depan, tapi kakinya terpaku.
"Sen-sei… tolo-ng a-ku…" ucap Yue sebelum akhirnya tumbang di hadapan Hiro dengan bersimbah darah.
"Yue!! Tidak! Yuee!!" Hiro berlari menghampiri tubuh Yue yang tergeletak tak berdaya.
Sebuah lampu menyala kembali, menyorot seseorang tak jauh dari mereka berdua. Hiro terkejut setengah mati. Orang itu… orang yang sama seperti mimpi buruknya waktu itu. Mengenakan hoodie hitam sambil memegang senjata. Wajahnya masih tidak terlihat karena tertutup tudung jaketnya.
Tangannya mulai terangkat. Ia mengarahkan pistol yang digenggamnya pada Hiro. Napas Hiro mulai tak beraturan. Tubuhnya gemetar karena ketakutan.
"Hentikan aku, atau kau akan mati juga." ucap orang itu. Hiro pernah mendengar suara orang itu!
Hiro terkesiap. Matanya melihat ke sekelilingnya dengan nanar. Butuh beberapa detik untuk menyadari ia sedang terbaring di atas sofa. Lehernya terasa kaku akibat hanya disangga dengan lengan sofa yang terbuat dari kayu. TV masih menyala di sampingnya. Bahkan ia masih memakai baju kemarin dengan jas yang tergeletak di lantai.
"Ughhh!!" Kepalanya terasa berputar. Akhirnya efek setelah mabuk mulai menyerang. Hiro berusaha menggali kejadian kemarin malam.
Ia pergi menemukan kedai ramen kecil di dalam sebuah gang, tempat langganannya saat masih bersekolah dulu. Hiro menunduk masuk dan menyingkirkan kain di depan pintu yang menghalangi pemandangannya. Sang pemilik kedai langsung menyambut kedatangannya. Ternyata ia masih mengenali Hiro sampai sekarang. Ia mempersilahkan Hiro masuk dan menunjuk tempat orang yang dicarinya duduk.
Seorang pria mengenakan jaket kulit berwarna coklat tua, duduk di tempat terujung.
Rambutnya di sisir ke belakang menunjukkan ia sedang bertugas hari ini. Fitur wajahnya mirip dengan Hiro namun terlihat tegas disebabkan umur yang lebih tua. Ia melambai pada Hiro ketika melihatnya. Hiro membalas dengan senyuman dan menunduk sopan.
"Shigure Aniki…" ucap Hiro.
Toshigure Mabuchi, kakak tiri Hiro mempersilahkannya untuk duduk di kursi di hadapannya.
"Toshihiro-kun… sudah berapa tahun kita tidak berjumpa? Apa kau tidak rindu dengan kakakmu ini?" cakapnya dengan aksen Kansai yang khas didengar telinga.
"Sudah 5 tahun." jawabanya singkat. Hiro menawarkan untuk menuang sake ke gelas Shigure.
"Pulanglah sekali-sekali, Hiro. Aku tahu kau pergi untuk menghindari ayah, tapi bagaimana dengan ibumu? Dia menanyakan tentang dirimu terus." celotehnya. Shigure minum dalam satu tegukan.
"Katakan kepada mereka aku baik-baik saja. Tidak usah mengkhawatirkanku." Hiro tahu pasti ibunya akan mencarinya. Hiro sudah tidak tinggal di rumah orang tuanya sejak berusia 15 tahun. Dia merasa tidak enak menyusahkan ayah dan ibu angkatnya dan memutuskan untuk pergi bersekolah dan berkuliah di kota lain.
"Benar kau baik-baik saja, Toshihiro-kun?" Alis Shigure terangkat sebelah.
"Ya, Aniki." Hiro tidak berani menatap mata Shigure. Ia hanya memandang ke bawah sambil memainkan gelas sake yang terisi penuh di depannya.
"Yakin kau tidak merindukan kakakmu ini?"
Hiro terdiam. Meskipun jarak umur mereka berbeda 8 tahun, tapi Hiro sangat peduli dengan Toshigure. Hal itu yang membuatnya ragu untuk pindah kota dulu. Karena keluarganya tinggal di Osaka, sedangkan dirinya akan pindah ke Nagoya.
Shigure tertawa mengejek. Ia mengingat perkataan orang tuanya sebelum kemari. Di usianya yang sudah 30 tahun, tetap saja ia diminta kedua orang tuanya untuk mengawasi adiknya.
Toshigure berdeham. "Kau tahu, mulai kemarin aku sudah dimutasi ke divisi lain."
Hiro berhenti selama beberapa detik. "Oh ya?" Ia berusaha terdengar biasa saja. Sebenarnya ia cukup terkejut dengan berita itu. Toshigure Mabuchi bekerja sebagai seorang detektif di Osaka. Tentu saja ia akan sedih bila kakaknya dipindahkan ke prefektur yang jauh dari sini.
"Aku dipindahkan ke Aichi."
"Oh baik– Tunggu… kalau Aichi berarti…"
Shigure tersenyum "Yap, kantorku dipindahkan ke Nagoya."
"Selamat, Aniki!" Suara Hiro terdengar agak terlalu semangat. Ia menuangkan sake ke gelas kakaknya kemudian gelasnya sendiri. Mereka mengangkat benda porselen berwarna putih itu tinggi-tinggi.
"Kanpai!" Dengan sekali tegukan, cairan bening di dalam gelas mengalir ke tenggorokan.
"Kudengar kau sekarang sedang kerja praktek di sekolah?" tanya Shigure setelah ramen pesanan mereka berdua sampai.
"Ya saat ini aku menjadi guru kimia pengganti di sana, hanya untuk kelas 3 saja sampai mereka lulus dan…" Kalimat Hiro menggantung. Ia ragu apakah ia harus menceritakan hal ini atau tidak.
"Dan…?" Nalar yang tajam dari seorang detektif mengatakan adiknya ini ingin mengatakan sesuatu.
"Aniki, apa kau tahu seorang gadis bernama Yue Akasaka?" Tanya Hiro. Shigure terlihat berpikir sambil menyentuh dagunya.
"Hmmm… tidak! Kenapa? Apa kau suka padanya?"
"TIDAK! BUKAN ITU!" Teriak Hiro kemudian berdehem karena berbicara dengan nada tinggi kepada orang yang lebih tua. Shigure terkekeh. Ia senang menjahili adiknya yang jarang menunjukkan ekspresinya itu.
"Maaf.. . maksudku sejak hari pertama aku bekerja. Banyak sekali kejadian aneh." Hiro memulai pembicaraan.
"Contohnya seperti apa?" Shigure menegakkan badannya. Posturnya berubah serius.
"Aniki, apa kau pernah merasakan deja-vu?" Volume suara Hiro mulai mengecil. Ia tidak ingin orang-orang mendengar pembicaraan ini.
"Hmm.. Ya pernah. Di saat-saat tertentu."
"Bagaimana kalau misalnya dejavu itu terjadi terus menerus atau seperti melihat sebuah kejadian sebelum kejadian itu terjadi?"
Shigure terdiam. Ia mulai mencerna.
"Tergantung, mungkin kalau dariku aku dapat menebak kemana jalan pikiran si pelaku ketika melakukan sebuah kejahatan, tapi hasil itu di dapat setelah menganalisa perilaku dan motif si pelaku untuk melakukan aksi tersebut."
"Benar, tapi bagaimana kalau tanpa dianalisa pun tiba-tiba kita bisa melihat kejadian itu sebelum benar-benar terjadi?" Shigure mengangkat alisnya.
"Maksudmu seperti… cenayang?"
"Dengar, Aniki. Aku tahu ini terdengar sangat aneh tapi kupikir Aniki harus tahu karena hal ini sempat membuatku gila dan aku tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi dan penyebabnya juga aku tidak tahu… Tapi aku butuh bantuanmu." Hiro berbicara sambil menunduk, ia tidak berani menatap wajah kakak tirinya yang mungkin saja alisnya sudah terangkat begitu jauh dari matanya.
"Baik… aku mendengarkan."
"Semua bermula dari seorang murid di kelas tempatku kerja praktek. Namanya Yue Akasaka. Pertama aku bermimpi ia ditembak seseorang dan mimpi itu lumayan sering terjadi." Hiro menelan ludah.
"Kemudian semuanya menjadi aneh setelah itu, aku… mulai dapat melihat masa depan…Beberapa menit sebelum kejadian." Hiro mulai terbata-bata. Ia sendiri pun ragu dengan ceritanya sendiri. Aneh tapi nyata.
"Jadi maksudmu, adikku seorang cenayang?"
"Tidak! Tidak! Hanya kepada orang tertentu saja dan tidak seperti yang aku inginkan. Semuanya terjadi secara acak. Pertama dimulai dari Yue Akasaka kemudian Kenzo Tanaka… Mereka berdua muridku…" Hiro mulai menceritakan peristiwa demi peristiwa yang terjadi selama ia kerja praktek di Sekolah Meito. Dimulai dari ketika Yue Akasaka memperkenalkan diri sampai ia bertemu dengannya malam itu kemudian dengan Kenzo.
"Tunggu… Tunggu, Hiro-kun. Ini bukan tindakan menguntit kan?"
Hiro menggeleng. "Tentu saja bukan. Kukira aku hanya berhalusinasi, sampai hal itu benar-benar terjadi! Aku mencoba untuk mengubahnya untuk mengetes apakah masa depan akan berubah jika aku melakukan hal lain, ternyata jika aku tidak melakukan hal di dalam visi itu, maka hasilnya akan berubah dan jika aku melakukan persis seperti yang kulihat dalam pikiranku maka kejadian yang terjadi akan tetap sama."
Shigure hanya menatap Hiro dengan terbengong-bengong. Rasanya ia seperti baru saja mendengar alien akan datang ke bumi atau semacamnya. Sejak kapan adiknya ini percaya dengan hal berbau superstisi seperti ini?
"Hiro-kun… apa kau sudah mabuk?"
Hiro menemplak dahinya sendiri. Sudah diduga kakaknya tidak akan percaya.
"Aniki, apakah aku tampak seperti orang yang sedang mabuk?"
"Ya… mirip." Shigure tidak bisa berkata-kata. "Mungkin kau harus minum lagi, tampaknya pekerjaanmu membuatmu tertekan."
"Aniki…!!"
"Sudah minumlah yang banyak." Shigure menyodorkan botol sake, yang langsung disambut oleh Hiro.
Bagaimana cara membuat kakaknya percaya dengannya?
"Aniki… satu lagi hal paling aneh. Hari ini… tiba-tiba aku melihat seorang anak kecil sedang berjalan di pinggiran dekat taman bermain. Ada perasaan aneh yang muncul… Seperti ingin melindungi anak itu." Shigure berhenti menuangkan sake yang sudah gelas ke empat itu. Hiro menceritakan penampilan anak yang dilihatnya itu. Walaupun tidak percaya, Shigure mendengar dengan baik.
"Kemudian… ibunya datang dan… dan aku merasa seperti orang aneh!" Wajah Hiro memerah.
"Mungkin Aniki benar… semua ini hanya karena aku tertekan dalam pekerjaan… Hik! Mungkin aku sudah gila… Aku pikir– Hik! Aku pikir Aniki bisa membantuku." gumamnya. Kepalanya tertunduk. Shigure menatap adiknya dengan pandangan kasihan. Dia tidak tega melihat adiknya seperti ini. Shigure mengulurkan tangannya kemudian mengelus kepala Hiro yang sudah mulai tertidur di atas meja.
"Aku akan berusaha untuk percaya, Hiro-kun."
Hiro mengangkat kepalanya. Shigure menarik tangannya kembali dengan canggung.
"Terima kasih, Aniki. Sudah mendengarkan." Hiro tersenyum. Sepertinya adiknya terlalu banyak minum. Shigure bangkit kemudian membayar tagihan mereka berdua.
"Kau masih bisa berdiri, Hiro-kun?" Shigure memegang lengan Hiro untuk membantunya.
Hiro mengangguk. Kepalanya terasa ringan, ia merasa ada sebongkah batu yang keluar dari dadanya. Ia merasa lega.
Mereka sudah berada di luar tenda kedai. Sekonyong-konyong ponsel dalam kantong Shigure bergetar.
"Sepertinya aku dipanggil bertugas." ujar Shigure setelah menatap layar ponselnya.
"Pergilah, Aniki. Aku masih bisa berjalan sendiri." Shigure mengangguk kemudian memberhentikan taksi yang lewat. Setelah berpisah Hiro menatap jalanan aspal di hadapannya. Ia tahu ia dapat mempercayai Shigure, seaneh apapun hal yang ia ceritakan atau lakukan Shigure selalu mendengarkannya sampai akhir.
"Mungkin karena itu ia cocok menjadi detektif." ujarnya. Hiro menyentuh kepalanya sambil mengerang. Matanya membelalak lebar. Sebuah visi datang kepadanya. Ia melihat Yue Akasaka lagi, namun bukan itu yang membuatnya terkejut. Yue terlihat kesakitan, tubuhnya tergeletak di tanah.
"YUE!" Hiro berusaha membuka matanya yang sudah mulai mengantuk. Ia bahkan tidak tahu tempat dimana Yue berada. Hiro memaksakan kakinya untuk berlari. Ia harus mencarinya sampai ketemu.
"Tunggu, Yue! Aku segera datang!" teriaknya dalam hati.
Hiro kembali membaringkan kepalanya di atas lengan sofa. Matanya kembali terpejam. Ia sangat lega ketika dapat menemukan Yue kemarin malam. Kemudian ia pun tidak ingat lagi pembicaraan apa setelahnya dan bagaimana ia bisa ada di sofa ini dengan TV yang masih menyala. Layar di ponselnya menunjukkan pukul 6 pagi. Masih ada beberapa jam lagi sebelum mengajar di kelas. Hiro meletakkan ponselnya di lantai sambil memperbaiki posisi tidurnya. Ia merasa tenang karena Yue sudah aman.
"Gadis itu… selalu membuat kejutan." gumam Hiro dalam tidurnya.
Hiro tidak sadar acara di TV berubah menjadi siaran berita.
"Selamat pagi, Breaking News. Seorang anak diduga telah diculik kemarin sore pukul… Kami sudah mendapatkan informasi mengenai detail korban. Korban mengenakan pakaian tangan panjang berwarna coklat muda. Korban terakhir dilihat berada di… Polisi berusaha mencari bukti mengenai identitas pelaku… Diduga…" Sayup-sayup Hiro mendengar berita tersebut dengan mata setengah terpejam. Ia melihat foto yang ditampilkan di sebelah penyiar berita.
Matanya sontak terbuka lebar. Kesadarannya kembali sepenuhnya. Ia mengubah posisinya menjadi posisi duduk secara perlahan. Fokusnya berada di layar TV di hadapannya.
"Anak itu…!" Hiro yakin dia adalah anak yang ia lihat di pinggir jalan kemarin sore. Walaupun foto anak itu memakai pakaian yang berbeda, tapi ia mengenali wajah dan posturnya. Anak itu sempat berputar-putar karena sedang bermain sembari berjalan lurus. Jadi Hiro sempat melihat wajahnya.
"Jadi visi waktu itu… untuk hal ini…" Hiro terpaku di TV di hadapannya.