Yue Akasaka terpaku di depan pagar rumahnya. Pikirannya kembali beberapa menit sebelumnya.
"Tadi Sensei kenapa…" Gumam Yue. Tanpa sadar dirinya berjalan membuka pagar dan berjalan ke depan pintu rumah.
Peristiwa tadi sore masih terpatri dalam ingatannya.Yue dan temannya pulang sekolah seperti biasa. Sesampainya di perempatan jalan yang tidak banyak orang. Yue melihat siluet seseorang yang ia kenali sedang menghadap ke depan. Yue sangat mengenali punggung tegap dan bahu yang lebar itu.
"Bukannya itu guru tampan yang mengajar di kelasmu?" celoteh teman sebelahnya tiba-tiba.
"Sshhh… jangan sampai ia dengar." Yue mengarahkan jari telunjuk ke mulut temannya itu.
"Tapi benar kan? Baru kali ini ada yang mengalahkan ketampanan guru olahraga kit… hmppphh!!" Semakin Yue menutup mulut temannya, semakin banyak komentar yang ia lontarkan. Yue akhirnya membekapnya dengan telapak tangan.
"Jangan berisik. Benar-benar kau ini."
"Kenapa kita mengendap-endap seperti ini? Memangnya gurumu tidak ingin diganggu?" tanya temannya. Yue baru menyadari gerak geriknya terlihat seperti seorang penguntit. Ia berdeham.
Yue mengangkat tangan untuk memanggil gurunya itu.Tapi gerakannya terhenti melihat Mabuchi Sensei sedang menatap seorang anak yang berjalan sendirian dengan intens.
"Apa yang Mabuchi Sensei lakukan…?" gumamnya.
"Yue-chan, apa yang gurumu lakukan? Apa itu anaknya...hmmpphhhh!!" Kali ini Yue tidak membiarkannya menyelesaikan kalimat. Rasanya ia ingin mengikat temannya itu di salah satu tiang ini. Yue menyeretnya dan memutar jalan.
"Tunggu! Yue! Bukankah kita mau membeli es krim…? Kenapa kita berbalik?" Suara temannya semakin mengecil seiring Yue menyeretnya menjauh. Yue tidak ingin mengganggu gurunya lagi namun ia juga penasaran apa hubungan Sensei dengan anak itu. Yue tidak sempat melihat wajah anak itu dengan jelas.
"Perubahan rencana, temani aku beli ramune." ucapnya cepat. Temannya hanya mengikuti tanpa bertanya apapun lagi.
Dan sore itu berlalu, akhirnya Yue berpisah dengan temannya. Sampailah ia di rumahnya. Yue membuka pintu rumahnya. Di bawah langit sore yang begitu indah, kesunyian menyambut Yue sampai ke depan pintu. Ia terdiam selama beberapa detik sebelum memutar knop pintu.
"Aku pulang!" teriaknya.
Tidak ada balasan.
Ia tahu itu.
Ia hanya melakukan hal ini karena karena terbiasa walaupun ia tahu tidak akan ada yang menyambutnya.
Yue menaruh kunci di permukaan sebuah nakas rak sepatu. Suara klontang! bergema ke seluruh korior ruangan di rumah itu. Yue menghembuskan napas lelah sambil menyeret kakinya di atas lantai kayu.
Kakinya mengarah ke dapur di ujung koridor. Kepalanya ia tengokan ke arah meja makan di dekatnya. Ada beberapa lembar yen disana dengan sebuah tulisan spidol hitam di kertas kecil berwarna kuning.
'Pakai dengan sebaik-baiknya sampai kami pulang…
-Ibu-'
Yue mengangkat kertas itu lalu meremasnya sampai menjadi gumpalan kecil. Ia melempar kertas lecek itu ke dalam tempat sampah. Kesedihan mulai masuk ke dalam hatinya.
"Aku tidak butuh uang itu!"
Yue menaiki tangga dengan menghentak - hentak dan membanting pintu kamarnya sampai menimbulkan bunyi berdebam keras. Ia berjalan cepat ke depan kaca meja riasnya lalu melihat gambar dirinya di cermin…
Rambut panjang berwarna coklat muda bergelombang sampai sebahu, terurai dengan anggun di punggungnya. Mata berwarna coklat keemasan karena tertimpa cahaya matahari di jendela sebelahnya. Mata itu memandang cermin dengan ekspresi marah. Ditambah wajah oval yang manis. Jari yang lentik. Hidung yang mancung. Murid terpintar di kelas.
Yue tidak pernah mendengar satupun yang tidak pernah memuji kecantikan atau kepintaran dirinya.
Semua kecuali orang tuanya sendiri.
"Apa gunanya bila aku tidak diinginkan?" Yue menarik napas lelah. Ia melirik nakas kecil di dekatnya. Dengan sebuah tarikan, ia mengeluarkan sebuah benda di dalam sana.
Sebuah gunting tajam.
Ia menatap benda itu lama.
Pikiran lain mulai bermain dalam kepalanya.
"Bagaimana rasanya…kalau aku melepaskan semua ini?" Yue mulai mendekatkan gunting itu ke arahnya.
"Apa kau sudah gila?!" Sebuah suara berteriak dalam kepalanya.
Tangan Yue membeku di tempat.
Teriakan Mabuchi Sensei di pantai malam waktu itu muncul tiba-tiba.
"…pakai ini." Sensei yang dengan sengaja memberikan jasnya malam itu. Walaupun itu kewajiban seorang guru pada muridnya, Yue tahu itu, tapi… kebaikan Mabuchi Sensei menyentuh hati Yue.
"Apa masih sakit?" Wajah Mabuchi Sensei yang panik ketika tahu mata Yue terkena etanol. Walaupun hanya kejahilannya tadi.
"Kau masih muda Akasaka-san. Jangan menyia-nyiakan hidupmu seperti ini!"
Yue meletakkan gunting di atas meja sambil tersenyum sedih. Padahal Mabuchi Sensei adalah guru barunya yang sedang kerja praktek saja, tapi ia sudah memberikan kepedulian yang lebih dari pada guru-guru lain yang bahkan lebih lama bekerja disana.
"Selamat Akasaka-san, nilaimu bagus sekali!"
"Selamat Yue-chan atas kerja kerasmu!"
"Seperti yang sudah ditebak Akasaka-chan pasti akan juara kelas lagi."
Hanya itu yang diucapkan teman-teman dan guru-guru di sekolahnya. Mereka hanya memuji pencapaian luarnya saja. Tapi mereka tidak mau berusaha untuk mengenal Yue lebih dalam.
Mabuchi Sensei memang orang yang baik.
Yue tahu itu.
Mungkin ia juga melakukan hal yang sama ke murid-murid yang lain.Menurut teman-teman sekelasnya, Mabuchi Sensei adalah guru tampan dan berwibawa. Ia juga ramah kepada semua murid.
Namun, Yue sudah melihat sisi Mabuchi Sensei yang mungkin tidak diketahui oleh teman-temannya. Ekspresinya yang sedang marah, panik, khawatir maupun terkejut.
Tanpa sadar senyum mengembang di wajahnya.
Kenapa ia merasa sedih?
"Tapi kenapa… Sensei harus begitu baik padaku?"
Karena Mabuchi Sensei adalah gurunya.
Yue tersentak.
"Aku harus mencari udara segar."
Yue memutuskan untuk mengganti pakaiannya dengan jaket hijau tua, mengikat rambutnya menjadi ekor kuda kemudian berlari keluar kamarnya. Ia harus mencari udara segar. Kamar ini membuatnya sesak.
Yue tidak tahu sudah berapa lama ia berjalan.Tiba-tiba ia sudah berjalan di trotoar yang membatasi pantai dan jalan raya. Ia juga tidak ingat kapan membeli jus di mesin penjual otomatis. Yang ia sadari, jus kalengan itu sudah berada di genggamannya. Deburan ombak menghantam pasir, mengingatkannya pada kejadian di malam itu. Kalung yang ia lemparkan waktu itu adalah kalung pemberian Kenzo Tanaka. Sesuatu yang ia ingin lupakan. Dan tepat seperti permintaannya… bersama Mabuchi Sensei di malam itu, Yue sudah tidak ingat lagi kesedihan yang ia alami beberapa menit sebelumnya.
Yue bersandar di pagar pembatas besi yang menghadap ke arah pantai. Bunyi kaleng yang terbuka katupnya memecah keheningan, bersamaan dengan pasang ombak yang menghantam pasir. Yue mulai menyeruput cairan dalam kaleng itu.
"Asam…" Yue mengelap mulutnya dengan lengan hoodie-nya. Ia teringat tidak menyukai rasa jeruk kalengan. Yue melempar barang yang digenggamnya ke dalam tempat sampah di sebelah bangku di dekatnya sambil memasukan tangan ke dalam kantong hoodie dan menghembuskan napas lelah.
Deburan ombak menghantam pasir sekali lagi. Ingatan Yue kembali pada kejadian di ruang laboratorium. Bahkan ketika ia menangis karena mengingat perlakukan Kenzo padanya, Sensei ada di situ.
Selalu datang di saat yang tepat dan membuat Yue lupa akan kesedihannya saat itu juga.
Mabuchi Sensei membuat Yue melupakan banyak hal yang buruk di hidupnya.
"Ah sudahlah…" Pemikiran tentang Mabuchi Sensei membuat dadanya terasa aneh.
Saat Yue berbalik ingin meninggalkan tempat itu…
BUK! Sesuatu menabraknya dengan kencang. Yue jatuh terjerembab.
"Ou!" Ia merasakan bokongnya menghantam permukaan aspal yang keras. Untung saja tangannya reflek memegang pagar pembatas. Kalau tidak kepalanya juga akan kena.
Yue melihat apa yang menimpanya.
Seorang anak kecil berambut hitam berbentuk mangkok sedang menatapnya dengan ekspresi ketakutan. Yue ikut terdiam. Siapa anak ini? Tapi sebelum ia sempat bertanya apapun, ia bangkit berdiri dan berlari meninggalkannya.
Yue mengernyit bingung.
Ia seperti pernah melihat anak itu.
"Oh!! Hei!! Tunggu!!" Yue ingat! Anak itu yang dilihat olehnya tadi sore.
Kalau sampai anak itu ada hubungannya dengan Mabuchi Sensei… maka Yue perlu mengejarnya.
"Larinya kencang sekali!" Yue berusaha bangkit berdiri dengan tertatih-tatih. Sepertinya akan lebam tubuhnya nanti. Ia berusaha mengejar anak itu. Larinya sudah pincang karena jatuh dengan posisi kaki yang tidak wajar. Anak itu berbelok ke arah gang yang sempit.
"Hei tunggu!!" Yue berteriak sekali lagi.
Kemudian saat ia sudah berbelok…
Anak itu menghilang!
"Akhh!" Yue mengerang dan menahan tubuhnya dengan siku. Kakinya mulai membengkak. Ia hanya mengenakan sandal rumahnya.Tangannya juga lecet tidak karuan karena menahan bobot tubuhnya di aspal.
Yue melihat siluet anak kecil itu di tembok. Bayangan anak itu seperti sedang berusaha melepaskan diri dari sesuatu. Jantung Yue mulai berdebar keras. Yue melihat bayangan orang lain disana, dan sepertinya itu bayangan orang dewasa!
"Hei lepaskan anak itu!" Yue memaksakan kakinya sekali lagi. Ia sudah siap menghadapi apapun di hadapannya.
Sebuah sinar putih yang begitu terang membuta. Ia tak dapat melihat apapun di hadapannya. Yue menutup wajahnya dengan tangan.
Samar-samar ia mendengar suara teriakan yang terbungkam.
"Hmpphhh!!"
"Hei! Lepaskan anak itu!!" Yue berusaha berteriak pada siapapun di depannya. Ia tahu itu sangat beresiko tapi ia tidak punya pilihan lain.
Bagaimana kalau orang itu ternyata orang jahat?
Yue tidak mengerti apa yang terjadi di hadapannya. Yue menebak ini adalah sinar lampu jauh dari sebuah mobil.Ia hanya bisa mendengar suara sebuah kendaraan mesin yang sangat kencang. Mobil itu mundur dengan kecepatan tinggi dan langsung menancap gas pergi.
Sinar lampu meredup seluruhnya. Sekilas Yue melihat bagian samping sebuah mobil berwarna hitam yang sedang melaju kencang. Yue ingin melihat plat mobil itu tapi kakinya dengan tersandung dengan kaki lainnya sehingga wajahnya mencium tanah. Yue terdiam di tempat itu selama beberapa detik.
"Ugh! Payah!" Yue sudah hampir menangis. Kakinya perih karena bengkak ditambah dengan lecet di kedua lutut dan tangannya. Ia mengepal, merasa tidak berdaya. Air mata Yue mulai membasahi tanah yang bercampur dengan pasir dan debu. Yue mulai terisak.
"Yu-e?" Sebuah suara yang memanggil namanya menghentikan tangisan Yue.
Suara itu…
"Mabuchi Sensei?!" Yue mengangkat kepala dan menatap orang yang sedang berdiri di mulut gang. Ia tidak percaya dengan matanya sendiri.
"Yu-e, se-dang a-apa di-situ?" Ucapan Mabuchi Sensei terdengar tidak jelas. Wajahnya memerah ditimpa sinar lampu. Matanya sayu. Seperti ia sedang dalam keadaan mabuk.
"Sensei, tolong bantu aku berdiri." ujar Yue, merasa lega.
Mabuchi Sensei berjalan ke arah Yue tanpa mengatakan apapun lagi. Ia mengangkat Yue dan membantunya bangkit. Yue melihat kedua lututnya dengan tatapan ngeri. Lukanya terlihat merah dengan darah segar yang sudah mulai membeku.
"Bis-a berjalan?" tanya Mabuchi Sensei.
Yue mengangguk sambil meringis. Ia mencoba berjalan selangkah namun badannya langsung tumbang. Untungnya Mabuchi Sensei masih sigap memeluk pinggangnya sebelum wajah Yue kembali mencium tanah.
"Hati-hati…" ujarnya.
Mabuchi Sensei yang sedang mabuk mungkin tidak menyadari wajah Yue yang memerah dan detak jantungnya yang memacu di dadanya kali ini bukan karena ketakutan.
"T-terima kasih Sensei."
Yue berusaha berdiri dengan satu kaki sambil melompat-lompat. Ia menatap Mabuchi Sensei sambil memiringkan kepalanya.
"Sen-sensei bau alkohol." katanya.
"Oh ya?" Mabuchi Sensei mencium jas yang ia pegang dengan semangat. Yue tertawa kecil. Mabuchi Sensei terlihat seperti anak anjing. Mungkin dengan kesadaran 100 persen, Mabuchi Sensei akan merasa malu melihat tingkahnya sendiri saat ini.
"Aku pi-kir sudah menghilangkan baunya dengan parfum."
"Iya, Sensei. Tapi tidak mungkin Sensei menyemprot mulut Sensei dengan parfum kan?" ujar Yue dengan nada jahil.
"Ah benar juga…"
Tiba-tiba Mabuchi Sensei berjongkok di depan Yue.
"Naiklah…"
"Se-sensei?" Yue mulai menerka apa yang sedang dilakukan gurunya ini.
"Naiklah."
"Tapi…"
"Aku akan mengantarmu ke klinik di dekat sini. Naiklah!"
Wajah Yue semakin memerah. "Tidak perlu, Sensei! Aku bisa jalan sendiri… Aku.."
"Apa kau membawa ponsel?"
Yue menggeleng.
"Kau hafal nomor telepon rumah?"
Yue menggeleng.
"Kau bisa berjalan sendiri?" Yue ragu sebelum akhirnya menggeleng. Kepalanya tertunduk malu. Malu karena ia berusaha sok kuat namun Mabuchi Sensei melihatnya semuanya dengan jelas.
"Kalau begitu apa yang kau tunggu? Naiklah." tegasnya.
Yue menatap punggung Mabuchi Sensei dengan ragu kemudian dengan pelan ia mulai menyangga berat badannya ke bahu Mabuchi Sensei.
"Pegangan yang erat ya." Dengan sekali hentakan, Mabuchi Sensei berdiri. Yue memekik pelan karena gerakan yang tiba-tiba.
Mabuchi Sensei memutar kepala ke belakang dan langsung didorong kembali oleh Yue.
"Aku tidak apa-apa, Sensei! Sensei jalan saja!" Wajahnya memerah karena malu.
"Oke." jawabnya singkat.
Meskipun dalam keadaan mabuk, Yue bersyukur Mabuchi Sensei masih dapat berjalan dengan lurus meskipun tertatih-tatih. Ia menimbang dalam hatinya, apakah ia perlu membicarakan kejadian tadi? Bahkan Yue sendiri pun tidak yakin apa yang ia lihat tadi benar atau tidak. Yue juga khawatir apakah tubuhnya terlalu berat.
Yue berusaha menutupi wajahnya yang semakin memerah. Ia berharap Mabuchi Sensei tidak akan ingat kejadian ini. Walaupun dalam hatinya ia mengharapkan setidaknya… ia ingat tapi bukan yang memalukan seperti ini.
Oh ya satu lagi… hal yang membuatnya yakin Mabuchi Sensei sedang mabuk itu…
"Yue…" panggilnya.
"Sejak kapan Sensei memanggil namaku?" Tidak biasanya seseorang memanggil namanya kecuali memang sudah dekat. Biasanya nama keluarga dan Mabuchi Sensei selalu memanggilnya dengan Akasaka-san.
"Sejak hari ini…" ujarnya santai. Yue tertawa kecil.
"Yue, kau terlalu ringan. Apakah kau makan dengan teratur?" Pertanyaan Sensei yang tiba-tiba mengejutkannya. Yue terdiam. Dalam hati ia lega karena tubuhnya tidak berat. Tapi pertanyaan itu menohoknya karena ia tahu apa maksud Mabuchi Sensei.
"Tidak, Sensei." jawab Yue singkat. Bibirnya bergetar dan bukan karena kedinginan.
"Ahhh… itu tidak baik, Yue. Kau harus makan dengan teratur, apalagi untuk gadis seumurmu."
"Mmmh…" Yue hanya menjawab dengan gumaman. Ia tak dapat menahan air matanya. Sudah lama sekali tidak ada orang yang bertanya seperti itu kepadanya. Dan hal itu itu menyentuh hatinya. Lemah sekali! Bahkan dengan satu pertanyaan…! Yue memarahi dirinya sendiri dalam hati.
"Sensei…"
"Hmm?" Mabuchi Sensei menjawab tanpa menoleh. Ia terus berjalan menyusuri trotoar yang sepi. Langit hari itu tidak berbintang.
"Sensei kenapa selalu ada di saat yang tepat?"
Di saat aku membutuhkan seseorang untuk menolongku, kata Yue dalam hati.
"Aku melihatmu…"
"Melihatku?"
"Hmm… Di pikiranku… Kau butuh pertolongan."
Mabuchi Sensei tidak melanjutkan. Membuat Yue semakin bertanya-tanya.
"Jadi Sensei memikirkanku terus?" Tanya Yue dengan bercanda.
"Sering." jawabnya tanpa ragu.
Hening.
Senyuman Yue perlahan memudar. Jawaban Mabuchi Sensei seperti menghantam dadanya. Ia berusaha menahan detak jantungnya yang sudah memacu seperti orang gila. Perutnya bergejolak. Pegangan Yue di bahu orang di hadapannya mengencang. Wajahnya yang panas ia sembunyikan di balik punggung yang hangat itu, sambil berusaha menahan senyum.
"Aku harap Sensei benar-benar tidak ingat apa yang terjadi malam ini." gumamnya.