Pelajaran di hari ini telah berlalu. Hari ini Hiro mendapatkan kesempatan mengajar di kelas lain untuk menggantikan guru kimia yang sedang sakit. Setidaknya ia dapat mengajar dengan tenang.
Waktu terasa berlalu dengan begitu cepat. Langit berubah sore dan suara burung gagak mulai terdengar. Hiro menutup bukunya sambil mengakhiri kelas. Setelah jam istirahat tadi, ia tidak lagi bertemu dengan murid-murid kelas 3A. Ia sedikit lega. Namun ia belum dapat menyimpulkan kalau hari ini akan berlangsung lancar sampai malam betul - betul berakhir.
Di perjalanan pulang, Hiro memutuskan untuk mampir membeli teh hangat dalam kaleng di mesin penjual otomatis. Hari ini ia akan berusaha keras untuk tidak melewati jalan biasa demi menghindar dari anak murid kelas 3A bernama Yue Akasaka.
"Apakah aku terlihat seperti orang bodoh?"
"Ya." Jawabnya pada diri sendiri.
Klang! Mesin penjual otomatis mengeluarkan barang yang diminta. Hiro sedang meneguk tehnya sampai…sebuah visi datang padanya. Hiro hampir tersedak. Matanya terbelalak. Ia melihat dirinya berdiri tepat di depan mesin ini. Kemudian ia berjalan ke arah berlawanan sesuai yang ia rencanakan hari ini. Namun bukan itu yang membuatnya terkejut.
Hiro melihat seorang anak kecil berumur sekitar 5 tahun berjalan sendirian di trotoar. Tidak ada penjelasan apapun. Hiro bahkan tidak mengenal anak itu, tapi entah mengapa pandangannya hanya terfokus pada anak itu saja.
Visi pun berakhir.
Ia melihat jasnya yang kena tumpahan teh.
"Apa itu tadi?!" Teriaknya. Ia tidak mengerti visi tadi. Tidak ada hubungannya dengan Yue Akasaka, Kenzo maupun yang berada di Sekolah Meito.
Mengapa harus anak itu?
Hiro tahu dimana tempat itu berada. Dengan rasa penasaran, ia setengah berlari di jalan trotoar yang sepi menuju ke tempat itu. Hiro tidak sempat berpikir apapun lagi. Instingnya mengatakan ia harus segera ke sana. Ia harus menemukan jawabannya.
Setelah berbelok, tibalah ia di taman bermain. Sinar matahari sore yang menyilaukan menghalangi pandangannya. Ia mendengar suara ribut orang-orang. Ada banyak sekali anak - anak di sana. Ada juga beberapa orang dewasa yang menjemput.
Hiro celingak-celinguk mencari tempat dimana ia melihat anak itu.
Tidak ada siapa-siapa disana.
Hiro merasa seperti orang aneh di tempat itu. Beberapa menit ia berdiri dengan canggung di depan sebuah daycare tanpa bergeming. Tempat itu sudah hampir kosong. Akhirnya ia memutuskan untuk berbalik pulang. Namun angin yang berhembus kencang membuatnya menengok ke belakang.
Seorang anak laki-laki dengan pakaian tangan panjang berwarna coklat berjalan di trotoar seorang diri. Tertatih - tatih seperti layaknya anak berumur 5 tahun.
Hiro terdiam menatap anak itu selama beberapa detik.
"Ternyata aku sedang tidak berhalusinasi." Tepat seperti dalam visinya. Ia menimbang - nimbang dalam hatinya apakah ia harus menghampiri anak itu atau tidak.
"Mengapa anak itu sendirian disana? Dimana orang tuanya?"
Detik jam terus bergerak. Sesuatu dalam pikirannya mengatakan ia harus menghampiri anak itu.
Ia berjalan selangkah…
Tiba-tiba ia mendengar teriakan seorang wanita. Hiro terkejut, ia menengok. Ia kira wanita itu memanggilnya, tetapi tidak. Wanita itu menghampiri anak kecil itu dan berbicara kepadanya. Anak kecil itu seperti mengenalinya.
"Sepertinya itu ibunya…" dilihat dari gerak gerik wanita itu.
Hiro menghembuskan napas lega, akhirnya anak itu tidak sendirian lagi. Untung saja ia belum menghampiri anak itu. Pasti dirinya terlihat seperti pria mencurigakan.
"Tunggu… aku khawatir dengan anak orang asing?" Hiro menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Semua tentang visi ini membuatnya kehilangan akal sehat.
Visi kali ini begitu membingungkan. Kemarin ia hanya mendapatkan visi tentang Yue Akasaka. Lalu tiba - tiba, Kenzo? Dan kali ini seorang anak kecil yang tidak dikenal? Berikutnya apa? Bisa melihat hantu?
Hiro medesah lelah. Mungkin saatnya ia pulang dan minum sampai tertidur pulas.
Suara notifikasi dari ponsel layar sentuhnya membuat Hiro merogoh kantong jas warna abu - abu miliknya.
"Hey. Punya waktu malam ini?Di tempat waktu itu." Hiro membaca pesan singkat itu.
Alisnya bertaut. Ia tahu siapa yang mengirim pesan tersebut. Seseorang yang ia tidak mau berurusan lagi dengannya.
Hiro membeku di tempat.
"Sebuah visi…lagi?"
Ia melihat dirinya langsung mematikan ponsel, memasukkannya kembali ke kantong celananya dan tidak pernah membalas pesan itu selamanya.
"Apa kali ini aku harus membalasnya?"
"Apakah membalas pesannya begitu penting sampai-sampai aku harus melihatnya dalam pikiranku?" Hiro menghembuskan napas panjang. Ia masih ragu.
Mendadak Hiro ingat akan sesuatu.
"Mungkin dia bisa membantuku memecahkan masalah ini." gumamnya.
Hiro langsung menggerakkan jarinya untuk mengetik.
"Temui… aku… di tempat biasanya."
Dan klik! Pesan terkirim.
Hiro melanjutkan perjalanannya.