Langit sore berwarna oranye menyapa murid - murid Sekolah Meito yang berkerumun di depan gedung menandakan berakhirnya kelas di hari itu. Beberapa ada yang memulai pelajaran tambahan dan ada juga yang pulang sekolah. Di tengah jalan trotoar yang sepi, Hiro berjalan dengan langkah lunglai sambil membawa tas laptop di tangan kirinya. Kepalanya tertunduk ke tanah. Kemeja yang tadi pagi masih rapi sekarang mulai keluar dari rongga celana abu - abunya.
Hari ini sangat melelahkan.
Dan bukan karena pekerjaan.
Sepanjang jam sekolah banyak sekali visi yang bermain di kepalanya. Semuanya berhubungan dengan Yue Akasaka. Sebelum Yue melakukan sesuatu, pasti adegan itu muncul dan kalimat yang dibicarakan terdengar berulang.
Hiro termenung. Yang membuat aneh adalah ada beberapa detail kecil yang berbeda. Membuat Hiro yakin dirinya sudah gila karena mempercayai itu adalah memori di masa lalu atau mungkin bisa menjadi semua visi masa depan.
Entahlah.
Hiro mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. Tak jauh beberapa meter darinya ada beberapa murid perempuan sedang berjalan pulang.
"Hey Yue… kemana saja kau waktu istirahat? Aku menunggumu tahu…!!" ujar salah satu murid pada temannya.
"Maafkan aku… Tadi ada urusan sebentar di ruang guru."
Yue menepuk kedua tangannya sambil menunduk. "Maafkan aku!!! Tadi ada urusan di ruang guru."
"Seperti yang diduga murid terpintar di kelas memang begini ya." Teman sebelahnya merangkul Yue sambil tertawa-tawa.
Hiro melihat dua gadis di hadapannya tanpa suara. Adegan yang sama. Wajah Akasaka yang sedang tertawa lebar. Polos dan terlihat bahagia di hadapan sinar matahari yang hampir tenggelam.
Entah mengapa, ada rasa kerinduan yang mendalam ketika melihat hal itu. Seperti ia harus menyimpan memori saat ini baik - baik. Rasa takut kejadian ini akan hilang selamanya dari pikirannya membuatnya bingung.
Hiro tetap berdiri di sana sampai siluet dua orang muridnya mulai mengabur dari pandangannya. Ia menoleh ke arah lain dan menatap matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat dengan pemandangan rumah penduduk dan toko-toko kecil yang beraneka ragam di bawah.
Ia terdiam di sana sampai malam tiba.
Perasaan aneh dalam dirinya tadi membuatnya tidak jadi melewati jembatan menuju ke rumahnya. Hiro tahu kalau ia kesana, ia akan bertemu Yue. Sebuah visi memperlihatkan Yue akan mencoba melompat dari jembatan itu.
Dan yang menolongnya adalah… tentu saja Hiro. Ia melihatnya dengan sangat jelas di pikiran sampai-sampai ia merasa berada di sana. Kepanikan yang tiba-tiba muncul. Jantung yang berdebar cepat bagai kereta api peluru. Keringat dingin yang menembus kulitnya selamat sesaat…
Bagaimana kalau… bagaimana kalau ia menghindari untuk menyelamatkan Yue kali ini? Akankah masa depan berubah?
Hiro yakin pasti ada orang lain yang menyelamatkan gadis itu.
Tidak perlu dirinya.
Ya, tidak perlu dirinya. Hiro berusaha menyakinkan dirinya sekali lagi.
Selama 22 tahun hidupnya tak pernah sekalipun ia meyakini sesuatu yang tidak pasti. Ataupun sesuatu yang tak dapat dilihat secara nyata. Bahkan superstisi sekecil apapun ia tidak akan percaya. Semua itu hanyalah halusinasi belaka.
"Yue Akasaka?!! Apa kau sudah gila?!"
Hiro melihat dirinya memarahi Akasaka karena mencoba memanjat pembatas jembatan itu.
"Ssen-sei??" Yue memandang Hiro dengan terkejut. Lalu visi pun berakhir.
"Mungkin aku yang sudah gila bukan dia." ujarnya pada diri sendiri.
Dalam perjalanan ia mampir ke minimarket terdekat, membeli sekaleng bir dan duduk di pinggir pantai kecil di dekat sana. Deburan ombak yang menghantam pasir ditemani malam yang sunyi dengan diterangi sebuah lampu jalan. Hiro duduk sambil bersandar di tembok pembatas antara pantai dan jalan beraspal.
Hiro berusaha membuka kaleng bir nya ketika ia menyadari ada yang turun ke pantai.
Siapa yang mengganggu malamnya kali ini?
"Ahh… hanya seorang gadis." gumamnya. Ia berusaha acuh tak acuh. Gadis itu melepaskan sepatunya dan berjalan di atas pasir yang hangat.
"Mengapa dia…?" Gadis itu terlihat tidak menghentikan langkah dan terus berjalan. Kemudian kakinya berhenti sebelum ia menyentuh air laut. Hiro menghentikan apa yang sedang ia lakukan. Fokusnya sekarang sudah tidak lagi berada pada kaleng yang digenggamnya.
Hiro merasa mengenali postur tubuhnya. Ia mengenakan tanktop hitam ditutupi kemeja dengan kancing terbuka dan celana pendek serta topi berwarna merah tua.
Mata Hiro melebar. Ia tahu siapa orang itu!
""Yue Akasaka?!" Hiro tidak mempercayai matanya sendiri. Seharusnya Yue tidak berada disini! Hiro sampai harus mengucek matanya berkali - kali. Benar itu dia!
"Seharusnya ia berada di jembat…" Mulut menutup. Ia tertawa mencemooh.
Berada di jembatan?
Bahkan kejadian itu mungkin saja tidak nyata!
Tapi mengapa… matanya tak bisa lepas dari Yue yang sedang berdiri menatap laut di hadapannya? Yue berada pinggir pantai agak jauh darinya.
Mungkin saja ia tidak menyadari ada seorang pria mencurigakan yang sedang duduk memperhatikannya dari tadi. Hiro menyadari dialah pria mencurigakan itu.
Yue terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia menatap benda di atas telapak tangannya, menimang beberapa kali sebelum akhirnya melemparnya ke lautan.
"Sama seperti reaksi kimia yang tak dapat dicegah ketika datang, dan tak bisa dicegah ketika sudah menghilang." ucapnya. Ia mengulangi perkataan Mabuchi Sensei, guru barunya saat pelajaran tadi.
"Seharusnya aku tidak kesini malam - malam begini." gumamnya.
Angin malam ini cukup kencang untuk menerbangkan seseorang. Yue memeluk kemejanya yang berkibar. Yue lupa ia sudah menonton berita cuaca pagi ini.
Satu hembusan angin menerbangkan topinya ke depan.
"Oh tidak!" teriaknya.
Yue berusaha berlari mengejar topi itu. Ombak membawa benda itu menjauh. Air laut mulai merendam betisnya. Tapi Yue tidak menyerah.
"Tinggal sedikit lagi…"
Air sudah berada di pinggangnya.
Ia mulai sulit untuk bergerak.
"Ughh…"
Tiba - tiba Yue merasa tangannya ditarik dari belakang. Sontak ia menoleh. Seorang pria berumur 20an dengan wajah panik sedang menggenggam tangannya. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia mengenali wajah orang itu.
"Se-Sensei…"
Hampir saja Yue melemparnya ke lautan karena dikira penguntit.
"Apa kau sudah gila?!" Teriak Mabuchi Sensei padanya.
Yue tertegun bingung.
"E-eh??"
Ini Mabuchi Sensei kan?
"Kau masih muda Akasaka-san. Jangan menyia-nyiakan hidupmu seperti ini!"
"H-hah?!"
Perkataan Sensei terdengar putus asa dan frustasi. Butuh berapa lama untuk Yue mencerna sebelum akhirnya ia mengerti apa yang terjadi.
"Pffftttt! Jadi Sensei mengira aku mau mengakhiri hid-.. Hahahaha…" Yue tak sanggup menyelesaikan kalimatnya karena tertawa geli. Hiro hanya bisa terdiam dengan wajah memerah. Mereka sudah duduk di pinggir pantai. Akhirnya Yue menjelaskan apa yang terjadi. Topi merah Yue sudah hanyut entah kemana. Celana Hiro basah kuyup walaupun tadi sudah ia gulung.
Hari ini tidak mungkin bisa lebih buruk lagi, ujar Hiro dalam hati.
Yue tertawa sambil mengelap air mata. "Sensei memang benar - benar lucu."
"Huff… apa kau sudah selesai menertawakanku, Akasaka-san?" Rasanya ia berharap pasir ini menghisapnya ke dalam.
"Sedikit lagi.. Sensei. Sedikit lagi." kata Yue sambil terbatuk - batuk. Hiro masih menengok ke arah lain. Wajahnya merah seperti kepiting rebus.
Akhirnya tawanya berhenti dan suasana hening kembali. Hanya terdengar deburan ombak yang berdesir menghantam tepi pantai. Hawa musim panas memberikan kehangatan pada pasir yang mereka duduki.
Hiro terdiam dalam pemikirannya sendiri. Kali ini hal yang terjadi berbeda dari visi yang ia lihat dalam kepalanya, tapi… outputnya tetaplah sama. Dalam visinya, Hiro menyelamatkan Akasaka dari jembatan karena mengira Akasaka akan… Tapi ternyata karena topinya yang terbang terbawa angin. Kali ini juga begitu. Ia tetap memarahi Yue Akasaka karena mengira ia mau menenggelamkan diri, tapi ternyata topinya yang terbang terbawa angin sehingga hanyut di lautan.
"Mabuchi Sensei…"
""Hmm?"
""Aku ingin bertanya sesuatu.""
"Silahkan."
"Kenapa Sensei memilih menjadi guru?"
Hiro berusaha memikirkan pertanyaan dari Yue. Jujur ia pun tidak tahu jawabannya. Yang ia ingat hanyalah ayahnya juga seorang guru lalu ia memutuskan untuk mengikuti jejak ayahnya dan tiba - tiba ia sudah di tahun terakhir berkuliah.
Tapi tidak mungkin hal itu yang ia katakan pada muridnya sendiri.
Meskipun ia hanya akan mengajar sampai kelulusan anak kelas 3.
"HACHOOO!" Suara bersin menggelegar dari mulut Akasaka membuat Hiro lupa akan jawaban yang ia ingin katakan.
"Maaf, Sensei… Aku tidak bermaksud…"
"Sebaiknya kita pulang sebelum terkena flu." Dalam hati Hiro bersyukur ia tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Hiro bangkit berdiri, diikuti oleh Akasaka.
"Akasaka-san."
"Ya, Sensei?"
"Rumahmu dimana? Kuantar kau pulang." kata Hiro dengan santai.
Yue terkejut lalu mengibaskan kedua tangannya.
"Ah,,Sensei, tidak perlu repot - re…"
"Tidak baik kalau meninggalkan muridku sendirian malam - malam begini." Jawab Hiro singkat. Hiro melirik Yue dari sudut matanya.
"Dan pakai ini."Hiro menyampirkan jaketnya ke atas bahu Yue.
"Ah! Sensei tidak perlu…"
"Kau kedinginan." jawabnya dengan nada datar.
Yue tertegun selama beberapa detik kemudian mengucapkan terima kasih.
Hiro melihat jam tangannya. Sudah jam delapan.
"Ayo."
Yue mengangguk. Walaupun cuaca mulai dingin namun hati Yue mulai menghangat. Yue menyentuh pinggiran jasnya dan menariknya untuk menutupi tubuhnya.
Mereka berjalan bersebelahan menuju rumah Yue, tanpa menyadari sepasang mata yang sedang mengamati dari kejauhan…