Syukurlah apa yang ibu takutkan tidak terjadi begitu buruk. Ibu tahu betul bahwa anak perempuannya ini sulit beradabtasi dengan lingkungan baru. Sulit untuk diajak bicara, hanya di depan ibu, ayah dan mas, aku bisa membuka sejuta cerita. Patah, rumit, takut, sendu, tenang, tawa dan semua perasaan yang hadir di hidupku, merekalah tempat untuk aku memulangkan semua emosi itu.
Perlahan-lahan kepribadianku berganti, pemalu dan pendiam yang sejak kecil selalu melekat ternyata luntur, menjadi seorang perempuan yang sedikit hangat. Berkat kiriman dari semesta, seonggok daging membentuk manusia yang disebut laki-laki mampu meramu tawa untukku di setiap pertemuan kami. Dia satu-satunya temanku yang baik, lucu dan menyenangkan dan aku tidak menyadari bahwa semua tingkah dan kekagumanku untuknya akan berakhir menjadi perasaan yang menakutkan sekaligus mendebarkan.
Kami berada di kelas yang sama dan perkenalan itu sedikit berkabut dalam simpanan memori kepalaku sebab ada banyak kebahagiaan yang ia bagi untukku. Mungkin saat dia menyodorkan air mineral atau pada saat dia bingung memilih tempat duduk lalu aku dengan sok kenal memanggilnya? Pertemuan masa kecil itu tak bisa kuurutkan dengan benar sebab yang pasti hingga hari ini, kemunculannya dari empat tahun lalu menjadikan duniaku tumbuh dengan baik.
"Dua minggu lagi ujian kenaikan kelas kan? Kamu pasti masuk kelas unggulan Na,"
"Jelaslah, dasar kamu yang kebanyakan main Ka!"
"Sombong!"
Aku beritahu kepada kalian bahwa sahabatku itu bernama Qafka, yang katanya, ibunya terinspirasi dari huruf Qaf dalam abjad huruf Arab. Dan Qafka juga suka sekali dengan angka dua puluh satu. Cocok sekali, bukan?
Kami sekelas hanya satu tahun pertama di SMP, setelahnya aku masuk kelas unggulan dan dia sibuk dengan dunia sepak bola tapi bukan berarti kami tidak saling menyapa atau kehilangan waktu untuk bersama-sama. Kalau dia tidak menjumpaiku di kantin, dia tahu aku pasti sedang di taman belakang sekolah dengan novel, air minum dan permen. Biasanya dia juga membawa jus apel untuk sekadar menemaniku di taman dan menyebalkannya dia hanya membeli untuk dirinya sendiri ketika kutanya punyaku mana, ia akan menjawab "Kamukan punya minum sendiri." menyebalkan. Dia tak pernah merasa terganggu dengan sifatku yang awet sekali untuk tidak memulai pembicaraan. tapi Qafka memang kebalikan dari aku, ia mampu menghabiskan waktu hanya dengan omong kosong yang semakin kuabaikan semakin lucu dan setiap detik begitu menyenangkan. Sejauh ini tidak ada satu pun yang dia sembunyikan dariku bahkan saat ibunya sakit, bercerai dengan ayahnya, aku adalah orang pertama yang mendengar ceritanya. Itulah alasan terkuat hingga saat ini aku tidak juga mampu membuka suara bahwa aku: menyukainya.
Tidak terasa akhirnya masa sekolah pertamaku berakhir dengan cepat, mungkin karena Qafka yang tidak pernah sekali pun membuat masa SMPku menjadi jenuh.
"Na, aku ikut kamu ya. Kamu akan daftar ke SMA mana?"
"Ka, kamu cari sekolah lain dong, jenuh aku tiga tahun sama kamu terus. Ya meskipun kita gak satu kelas tapi malas ah, diantar pulang tiap hari, kadang juga kamu yang jemput aku. Terus, di kantin ketemu lagi. Kalau aku libur sehari kamu langsung ke rumah, bikin rumah aku ricuh! Aku jadi gapunya waktu untuk punya pacar karena semua orang ngira aku pacaran sama kamu." Untuk kali pertama aku merasa bodoh karena mengeluarkan kalimat yang seharusnya bisa kuolah dengan baik supaya ia pahami perasaanku.
"Eh eh, ingat pesan masmu. Selama dia di Belanda kamu cuma boleh dekat sama aku! Lagian kamu gausah sok mau punya pacar deh temenmu aja cuma tiga." Ia menyengir kesakitan karena aku juga mencubit punggung tangannya, tapi sekali lagi kukatakan: aku menyukainya, menyukai tawanya yang renyah.
***
Kami berhasil masuk ke Sekolah Menengah Akhir yang sama dan sudah jelas aku langsung masuk ke kelas unggulan. Sedangkan Qafka masuk ke sekolah ini saja berkat beberapa piagam sepak bola yang dia punya. Qafka pernah mengatakan bahwa otak kami memang berbeda tetapi strukturnya tetap sama, sebab kalau ada kelainan akan ada yang mati, entah dia ataupun aku, dan kalimatnya waktu itu juga sering membuatku terdiam "Aku lebih memilih kamu mati lebih dulu Na, supaya hidupku lebih terarah karena aku tahu kamu hadir di dunia ini sebagai wujud nyata peri yang tuhan kasih buat aku. Mungkin terdengar egois tapi kamu berhasil untuk selalu ada untuk aku, untuk dunia yang rasanya menyesakkan ini. Kalau kamu gak muncul mungkin aku udah lama ikut Ibu ke langit."
Aku tak pernah ingin memotong kalimat-kalimatnya, apalagi yang menyayat, atau ketika ia menangis di pundak kecilku, aku hanya mendengarkan dan berharap semua reda dengan genggaman tangan kami. Entah kapanpun kematian itu datang, aku juga berharap semoga sampai akhir waktu kau tetap dalam rengkuhku.
Dunia SMA tidak bisa disebut menyenangkan karena aku hanya memiliki satu teman yang bernama Wila. Dia lembut ketika bertutur kata dan selalu tersenyum lebih dulu ketimbang lawan bicaranya. Semenjak SMA Qafka sedikit sibuk, paling-paling dia hanya mengantarku pulang itu juga tidak setiap hari. Dia sibuk latihan untuk kejuaraan yang akan dia dan timnya laksanakan. Dia juga masuk ke dalam pemain inti sepak bola di sekolah. Aku harus terbiasa dengan semua itu, ya mungkin ini cara paling baik menuju kedewasaan dengan urusan masing-masing.
Namun, ada hari di mana ketidaknyamanan itu mengusikku secara berulang-ulang. Qafka benar-benar jarang menjumpaiku, tidak di sekolah apalagi di rumah. Ia seperti ada tapi wujudnya menjadi angin. Dan berita itu sampai padaku, di kantin aku berpapasan dengan teman sekelasnya yang mengatakan bahwa Qafka sudah menjadi ketua sepak bola sekolah. Kenapa ia tidak menceritakan hal penting ini padaku? Sesibuk itukah? Sampai pada kalimat yang membuat dadaku begitu sesak dan entah apa namanya tapi aku ingin berlari kemudian meminta jawaban langsung dari mulutnya. Qafka mulai mengenal cinta. Cinta pertamanya, dan itu bukan aku.
Sore itu kuputuskan untuk mencarinya, di kelas, di lapangan sepak bola, di ruang OSIS bahkan di ruang BK. Tapi ia tak ada di sana, kutelpon berkali-kali, ia tak juga menganggkat. Ada satu tempat yang belum kudatangi, warung itu, warung yang isinya laki-laki semua dan terdiri dari siswa yang jarang masuk kelas. Aku menemukannya.
"Hp kamu rusak? Dijambret? Atau kamu jual untuk beli sepatu bola?"
"Apaan sih, engga, hp aku di tas. Dari tadi aku nongkrong sama mereka. Lagian kamu kenapa ribet banget, tumben nyariin aku."
"ya kamu sih, kita jarang banget ketemu semenjak kamu jadi ketua tim, bahkan kamu gak kasih tau aku soal inikan? Masa aku temen kamu dari kecil harus tau hal ini dari gosip di kantin."
"ih, temen kamu ini keren banget ya, jadi bahan obrolan satu kantin. Aku gak sadar udah seterkenal ini."
"Kesel aku sama kamu. Masih ada lagi yang kamu belum ceritakan ke aku?" ia diam sejenak sebelum melanjutkan kalimat yang aku tidak punya persiapan untuk itu.
"Na, kata teman-temanku, Putri suka sama aku!" Aku membeku ketika Qafka meluncurkan kalimatnya. Sore yang masih terik, birunya langit dan awan berlapis-lapis, serta kebisingan orang-orang dalam warung itu menjadi kesatuan paling kubenci selamanya. Tubuhku bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa, dadaku terasa sesak, pilu sekali. Berwaktu-waktu yang lalu dan selama itu juga aku menahan diri untuk tidak menyatakan perasaanku, dan itu kebodohan kesekian sebab aku tidak menyiapkan diri bahwa hal seperti akan datang pada persahabatan kami. Hanya sahabat.
"Dasar kamu yang suka menebar senyum sama semua orang!" aku menjawab dengan nada yang kuusahakan tidak ada rasa cemburu di sana. Tapi seketus apa pun mulutku bekerja, hati tidak setuju dengan itu. Ingin kuayunkan tangan ini dan menampar pipinya tapi apakah itu cukup untuk menyadarkan kalau ada aku yang lebih dulu jatuh pada senyummu, Ka.
"Memangnya senyumku seperti apa? Kamu sering lihat senyumku, kamu suka sama senyumku?" Aku membelalakkan mata, semesta, jangan tunjukkan kegugupanku "ahh, aku pulang ya Ka. Hari ini panjang sekali untukku, terlebih karena tadi aku keliling untuk mencarimu." Kalimat membosankan itu keluar secara teratur diikuti wajahku yang sudah kehilangan darah. Selama aku tidak mengungkapkan perasaan ini dan selama itu pula ia tidak harus bertanggungjawab atas aku. Ka, kau benar, akulah yang mati lebih dulu, sebab duniaku sudah kau hancurkan hari ini.
***
Sampai pada hari itu, aku merasa semesta mulai jahat. Lelaki yang jarang kutemui, ia memang masih satu sekolah dan satu lingkungan denganku tapi dia menghilang, menghilang dari duniaku dan yang lebih perih, tak sekalipun ia mencariku sejak pertemuan terakhir kami di sore yang tak pernah ingin kuulangi. Tidakkah dia bisa menebak bahwa aku ini punya perasaan lebih dari sekadar sahabat? Bukankah aku memperlihatkan semuanya dengan begitu jelas? Tidakkah kau puas dengan adanya aku sebagai perimu?
"Na? Na? Nadir Sakinah!" aku menoleh ke arah Wila.
"Kamu tahu gak kalau Qafka bakal ungkapin perasaannya ke Putri? Katanya setelah pertandingan bola sore ini! Kita nonton yuk?" Rasanya tubuh ini telah dikirimi bom yang langsung membuat hancur menjadi abu. Semesta, sudah kubilang padamu jangan biarkan dia dimiliki oleh siapa pun! Apakah aku harus kembali pada masa kecil yang abu-abu itu?
Dengan kekuatan yang kukumpulkan seadanya, prosesi itu, proses di mana laki-laki yang selalu menjadi tempat untuk kudengar ocehannya, kupeluk semua masalahnya, kuajak tertawa bersama, alasan semua senyum, tawa, kesal dan lucuku harus kulepas paksa demi cintanya yang utuh. Aku menyadari satu hal, selama ini, memang akulah sandaran untuknya tapi bukankah kita bisa bersandar di mana saja bahkan di tempat yang bukan rumah kita?
Qafka memang sudah mengirimi pesan singkat yang katanya pertandingan kali ini akan berbeda dengan pertandingan sebelumnya. Meski ia tak katakan perbedaan itu, tapi satu sekolah ini sudah mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dan aku harus bersiap dengan banyak kemungkinan terburuk. Tiba-tiba kulihat beberapa orang membawa spanduk bertuliskan 'Putri, kamu mau menjadi bagian dari hatiku yang hilang? –Qafka' bukankah kalimat itu terlalu menyayat untukku? Sungguh aku sudah tidak sanggup lagi menahan air mata, dengan cepat buliran itu jatuh seperti air hujan tapi hanya aku yang basah. Aku berbalik badan dan kudengar suara laki-laki yang sangat kuhafal, 'Putri, jadilah pacarku!' setelah mendengar kalimat itu sontak aku mendapati Qafka sedang berlutut dengan mawar merah yang dia arahkan pada Putri-nya. Tuhan, sungguh aku ingin hari ini cepat berakhir!
Laki-laki yang selalu ada di dekatku tanpa harus kuminta, kini telah di samping perempuan lain. Tidakkah takdir terlalu kejam? Aku harus pulang dan berharap besok pagi mimpi ini akan terbakar hangus bersama dengan kenangan tak bertuan itu.
Tiga minggu sudah Qafka tidak menemuiku, bahkan mengirimi pesan singkat saja tidak atau mungkin dia sudah lupa punya sahabat sebab mencintai pacarnya sudah membuat hari-harinya menyenangkan. Setiap hari, di sudut mana pun di sekolah ini selalu kudengar orang-orang membicarakan keromantisan mereka. Qafka yang bersikap manis selalu menjadi topik utama dan para gadis-gadis di sekolah ini ingin mempunyai pacar layaknya sahabatku itu. Ah, sepertinya cukup sudah aku menamai hubungan kami sebagai sahabat, lebih baik kusimpan dia sebagai teman masa kecil saja, setidaknya itu menjadikan perasaanku lebih baik. Di sekolah aku harus selalu menutup telinga dan menghabiskan waktu di perpustakaan, itulah satu-satunya tempat agar tak kudengar nama juga hubungannya.
Jauh berbeda ketika aku di rumah, ibu jelas paham yang terjadi antara aku dan Qafka.
"Na, kamu sama Qafka lagi marahan ya?"
"Hmm, kenapa bu?" jawabku pura-pura tak mendengar padahal semua jelas sekali, terutama nama lelaki itu.
"Sudah tiga mingguan kayaknya dia ndak antar atau jemput kamu atau main ke rumah. Dia sakit?"
"Oh, ah itu bu itu. Dia lagi sibuk untuk persiapan turnamen bola."
"Oh. Besok suruh dia datang ke rumah ya, kita belanja kayak biasa. Dia juga semakin jarang makan masakan ibu, sesibuk itu ya dia sampai jarang temuin ibu."
"Bu, Qafka sudah dewasa, kita juga bentar lagi kuliah yang pasti semakin jarang ketemu. Mimpi dan jalannya semakin beda." Aku memutuskan untuk pergi saja ke kamar supaya ibu berhenti menanyakan tentang Qafka, karena aku tidak tahu harus menjawab apa. Hanya mendengar namanya saja hatiku terasa panas.