Chereads / NADIR / Chapter 10 - 10

Chapter 10 - 10

Di seberang laut sana seorang laki-laki yang mengutuk dirinya sendiri atas segala perbuatannya, segala bentuk kebodohan, yang dia tak punya cara untuk menebusnya.

Dia tahu akan menjadi sia-sia jika hanya berdiri tanpa berusaha mencari. Karena yang bisa ia lakukan hanya berbisik pada angin untuk menyampaikan setiap doa pada perempuan yang berhasil membuat setiap senjanya kelabu setelah saling meninggalkan. Ada dua anak manusia yang terus saja mengikuti arah angin dan berharap angin bisa membenarkan segala kesalahan mereka.

***

"Nad, selamat hari keseratus." Ucap laki-laki berjas putih itu.

Aku tersenyum menanggapi hal yang dia lakukan untukku. Semenjak perjanan hari itu aku dan Genta semakin dekat yang pada akhirnya kami memutuskan untuk menjalin kasih. Genta sangat menyenangkan dan mampu membuat hariku semakin membahagiakan. Dengan segala hal yang dia lakukan dan berikan. Setiap hari aku menerima satu tangkai mawar. Aku tidak tahu sampai kapan dia melakukan ini. Romantisnya sangat terang-terangan.

Pernah sekali aku menyuruhnya untuk berhenti memberikan bunga karena itu hal yang membuang-buang waktu untuknya yang super sibuk dengan urusan rumah sakit, sementara masih banyak pasien yang harus dia tangani, tapi dia malah mengadu pada ibu kemudian mengatakan bahwa aku menolak untuk konsultasi. Ada saja caranya untuk membuat hatiku luluh.

"Kamu gak ada jadwal hari ini?" tanyaku sambil memakan cokelat yang dia berikan sebagai hadiah hari keseratus.

"Ada. Tapi nanti setelah makan siang jadi kita masih ada waktu sampai makan siang."

"Kamu mau ajak aku ke mana?"

"Ke tempat yang jauh."

"Aku mau ganti baju, kucel banget akunya,"

"Kucelnya kamu akan tertutupi oleh karisma dokter ganteng kayak aku."

Belum sempat aku mengganti baju, Genta sudah menarik tanganku secara paksa. Aku yang hanya menggunakan celana hitam panjang dan baju kaus oblong yang juga berwarnah hitam sangat kontras dengan warna kulit yang putih meta. Bahkan ponsel saja tak sempat kuambil.

Kami sudah berada di dalam mobil dan aku masih memandangi Genta "Kenapa?" dengan mudahnya dia menanyakan itu padahal tatapanku begitu horor.

"Nad, kamu gak perlu riasan tebal atau baju yang mewah, begini juga udah cantik."

"Genta, kamu punya kewajiban yang besar. Ini tentang pekerjaanmu!"

"Nad, aku cuma punya kamu di sini."

"Pasien kamu juga cuma punya kamu!"

"Aku bukan orang yang tidak bertanggung jawab. Sebelum aku melakukan ini, aku sudah memikirkan hal yang kamu pikirkan. Nad, kalau kamu belum bisa menerimaku dengan seutuhnya setidaknya biarkan aku memulihkan ingatanmu."

Genta, aku tahu ketulusanmu tapi aku tidak bisa memaksakan ini semua. Aku tahu betapa egoisnya diri ini. Ingin sekali aku mengatakan bahwa aku juga mencintaimu tapi tubuhku seperti tidak bertenaga untuk mengungkapkan itu semua.

"Apa yang membuatmu jatuh cinta padaku?" Tanyaku tenang dan terdengar seperti bisikan, tatapanku lurus ke depan, tak berani melihat wajahnya dan dia juga terdiam begitu lama. Mobil yang kami naiki terasa lamban dan aku paham perubahan emosi yang sekarang dialami Genta. Bayangkan saja, perempuan yang tidak mencintaimu sedang bertanya alasan yang bahkan pasangan saling mencintai belum tentu punya jawaban. Bukankah rasa cinta yang berjalan sendirian akan kesulitan menemukan alasan karena ia tak pernah menerima apa-apa kecuali kesia-siaan.

"Nadir, saya tahu membuka hati untuk orang baru bukanlah perihal mudah, semua orang mengalami kesulitan yang sama. Kamu bahkan kehilangan berulang kali dalam waktu yang bersamaan. Mencintai ataupun membenci kadang bukan pilihan tapi kita harus melakukannya. Aku tak tahu kapan akan membencimu atau membenci keadaan ini karena yang pasti perasaanku tidak punya batas, tenggang waktu bahkan ia bisa saja kehilangan arah. Saya cuma punya satu alasan, MENCINTAI KAMU MEMBUAT SAYA BAHAGIA."

Aku tak menemukan kalimat apa pun untuk meneruskan percakapan ini, Genta berhasil menjadi seseorang yang melibatkanku dalam banyak tentang cinta yang hati-hati. Kami masih terus bungkam sampai Genta memberhentikan mobilnya, membawaku ke taman Vondelpark. Taman ini begitu terkenal dengan tulip yang beragam warna. Di sini ada sebuah panggung yang bernama Open Lucht Theater, Genta sudah pernah membawaku ke sini untuk menonton pertunjukan opera di panggung.

Ada juga restoran tapi kami memilih untuk duduk di bawah kanopi pohon. Aku tidak mengerti maksud dari perlakuannya. Biasanya, kebanyakan pasangan ketika merayakan hari jadi maka akan makan malam di tempat romantis atau mengirim banyak bunga serta cokelat. Namun Genta melakukan itu setiap hari.

"Nad, aku minta maaf atas segala perlakuan buruk yang aku tujukan padamu. Aku tahu ada seseorang yang bahkan kamu tidak tahu dia siapa tapi di hatimu masih ada dia. Aku akan terus di sampingmu sebagai dokter dan aku akan sangat bahagia jika kamu menerima aku sebagai laki-laki yang kamu cintai."

"Genta,"

"Mungkin hanya akulah yang merayakan 100 hari ini, yang jelas aku tidak akan mengubah perasaanku walau nanti kamu akan menyuruhku untuk pulang atau berhenti."

"Gentaaa,"

"Jangan panggil aku dengan nada lirih seperti itu, Nad. Aku tidak tahu sudah seberapa jauh hatiku mencintaimu tapi hingga detik ini aku tidak ingin kamu disakiti bahkan oleh masa lalumu."

"Maaf."

"Aku tidak ingin mendengar kata itu. Kita mulai segalanya dari awal ya, benar-benar dari awal."

Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Genta, sulit rasanya untuk mengakhiri segala usahaku ini. Aku tahu, kamulah yang tersakiti di sini itulah mengapa aku harus mencoba. Mengakhiri semuanya dengan dia yang hilang entah ke mana.

3 tahun kemudian

Aku berjalan di pinggir laut Volendam. Menikmati waffle serta kopi sambil duduk di bangku bersama angin sore. Untungnya, semakin hari ingatanku semakin baik bukan berarti aku mengingat kenangan-kenangan itu tapi kenangan baru yang kubuat di sini, dengan orang-orang yang mencintaiku dengan tulus adalah jawaban paling benar, aku tak tahu ungkapan apa yang bisa menggambarkan mereka selain terima kasih. Kata dokter kesayanganku, aku sudah berhasil naik kelas.

Hubunganku dengan Genta juga semakin membaik seiring berjalannya waktu. Sudah banyak kami lalui waktu dan tempat, Genta mampu membuat semangatku semakin besar. Bohong jika aku tak menyukai dia, semua hal yang dia lakukan menjadikan aku pacar paling bahagia di dunia ini.

Sekarang ibu juga sudah tidak terlalu takut ketika aku ingin berjalan sendirian, asalkan ingat waktu untuk pulang. Volendam ini menjadi tempat favorit untuk menikmati sore walau jaraknya yang cukup jauh dari Amsterdam. Aku bisa menghabiskan kira-kira dua jam untuk ke tempat ini. Matahari terlihat lebih besar dari biasanya. Terhitung sudah tahun ketiga sejak aku datang ke Negara ini. Belanda cukup memberiku banyak memori yang indah.

Ibu sering pulang balik ke Indonesia karena tidak mungkin juga ia terus di sini sementara ada banyak hal yang harus diurus di sana. Sejak setahun lalu, mas Aga tak lagi bekerja di sini dan kembali ke Indonesia. Sebenarnya, aku juga sedih melihat ibu harus bolak-balik dalam waktu yang singkat. Ibu sangat lelah karenaku.

Sakitku memang tidak bisa dianggap enteng karena bisa saja aku pingsan kemudian lupa tentang semuanya. Alzheimer bukanlah penyakit yang ada obatnya secara medis karena hilangnya sebagian ingatan akan dialami seluruh manusia namun tergantung dari jangka waktunya. Aku juga mempunyai riwayat penyakit jantung yang membuat risiko mengalami Alzheimer semakin tinggi.

Seketika aku menjadi sosok yang kreatif dan berseni, menyulap setiap dinding dan sudut dengan catatan kecil. Bisa tentang cara membuat sesuatu, rumus dasar matematika, rute perjalanan ke suatu tempat sampai hal yang paling kecil yaitu nama benda-benda di dalam atau di luar rumah.

"Kamu boleh suka laut tapi jangan sampai kedinginan." Ucap seorang laki-laki yang sudah mengisi hari-hariku di Belanda dengan banyak cinta. Aku tersenyum menatapnya sambil menepuk tempat duduk kosong di sampingku.

"Kita bisa jadi mereka. Sekarang juga bisa."

"Selesaikan program doktormu, Genta."

"Aah, aku sedang tidak bersemangat jika membahas tentang itu lagi. Disertasiku bermasalah."

"Aku sudah bisa berjalan sendiri, Ta. Kamu punya mimpi yang harus jadi nyata. Jangan terlalu mencemaskanku."

"Nad, kamu memang tidak mengingat apapun dari masa lalumu?"

"Tidak. Aku juga sudah tidak berniat lagi untuk mengembalikan semuanya. Biarkan saja semuanya hilang karena sekarang aku punya kamu yang akan selalu datang. Genta, selama ini aku cuma kenal kamu dari seluruh manusia di muka bumi ini setelah kedua orang tua dan masku. Aku yakin tentang itu!"

Kulihat Genta tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya yang sangat rapi. Maaf, aku masih menyembunyikan sesuatu darimu. Jika aku mengatakan semuanya aku takut seseorang yang ada di masa lalu, yang susah payah untuk kuingat bahkan tak mengingatku lagi. Kenyataan itulah yang tak bisa kuterima. Mengikhlaskan dia dan kenangan itu urusanku, yang perlu kamu tahu bahwa hari ini, cintaku hanya untukmu.

Memang setiap perasaan itu harus disudahi dan aku telah menyudahinya. Percaya atau tidak sesekali bayangan itu muncul dan membuat hatiku semakin berantakan, disusul pusing dan kesulitan bernapas. Tapi aku bisa apa? Bahkan jika aku menyerukan perasaan ini pada orang itu mungkin saja orang itu sudah menjadi orang lain.

***

Genta sudah mengantarkanku pulang. Ah, iya, aku lupa mengatakan sesuatu. Genta bukan lagi sosok yang mengirimiku sebatang mawar setiap hari, dia sudah berhenti dari kegiatan itu setahun lalu. Aku memaklumi itu, akukan jenis pacar yang berpikiran terbuka karena pekerjaan dia menyangkut nyawa banyak orang. "Musim dingin akan segera berakhir. Kamu mau pulang ke Indonesia atau menghabiskan waktu di Keukenhof?"

"Aku belum siap untuk pulang, Genta."

"Mau sampai kapan, Nad? Aku tidak memaksamu untuk mengingat itu semua karena apapun alasannya, entah itu sekarang atau pun besok, kita akan pulang. Bukan berarti aku lelah menjagamu di sini tapi itulah kenyataanya. Setelah semuanya selesai aku juga akan pulang ke Indonesia, negara membutuhkan rakyat untuk membangun masa depan."

"Kalau kamu ingin pulang, pulanglah. Jangan beratkan aku. Aku takut ketika aku ke sana yang ada kita akan berubah. Aku tidak lagi di sampingmu atau kebalikannya!"

"Apa kamu ragu terhadapku?"

"Bukan kamu yang kuragukan tapi diriku sendiri, Genta!"

"Nad, ketika aku memutuskan untuk jatuh padamu. Aku sudah memikirkan risiko terburuknya, termasuk yang sedang kaubicarakan dan aku siap. Karena merelakan juga mencintai."

"Bukankah terlalu naif jika kau mengatakan itu?"

"Akan menjadi sia-sia jika aku memaksamu untuk membalas semua perasaanku. Aku percaya dengan perasaanku maka biar aku yang jatuh cinta duluan, sisanya kamu yang memastikan. Apakah kita lanjut atau aku jatuh cinta sendirian!"

Aku diam mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Genta. Dia benar, semua sia-sia. Bahkan sejak awal aku sudah menyia-nyiakan semuanya. Bagian teramat pelik dari semuanya adalah aku yang tidak tahu siapa kita, untuk apa kita dan apa tujuan kita.

"Genta, apa yang bisa kulakukan untuk memperbaiki semuanya?"

"Jangan melakukan apa-apa. Karena cinta memang tidak butuh apa-apa!"

Selama ini aku melewati banyak hari bersamamu. Tidak pernah aku merasa kehilangan sesuatu, apapun itu. kalau aku boleh memilih aku juga akan memilihmu tapi hatiku tidak bisa bohong. Meskipun aku belum juga menemukannya.

"Benar, kamu tidak pernah mengingat apapun itu, Nad?"

"Aku mengingatnya. Mengingat dengan sangat cermat betapa sakitnya perasaan ini walau empunya belum juga kutemukan. Genta, aku sudah mencoba semuanya. Melepaskannya dan merangkulmu, sudah sangat kucoba tapi akhirnya akan selalu seperti ini!"

"Kalau begitu lupakan Keukenhof dan kita kembali ke Indonesia!"

"Aku tidak siap jika pada akhirnya dia juga melupakanku sedangkan kau tidak mungkin kembali, bukan?"

"Kata siapa? Nad, aku mencintaimu bahkan saat kau membenciku! Datanglah, aku akan kembali membawakan mawar untukmu."

Tuhan, betapa egoisnya aku. Kenapa kau ciptakan aku dan hadir di kehidupan manusia sebaik dia? kenapa harus aku yang menyakiti terlalu dalam? Apa setiap cinta memang tak pernah ada sisi baiknya? Kenapa cinta harus menyakiti dia sedini ini, saat dia hanya cinta sendirian. Genta, maafkan aku.