Aku menggeliat di atas tempat tidur setelah tersadar ada cahaya masuk dari balik tirai jendela. Kulirik kalender yang berada di samping tempat tidurku, hari ini, musim semi di mulai.
Selama tiga tahun aku di Belanda musim semi adalah musim yang paling kunantikan karena udara yang sejuk serta bunga tumbuh dengan baik. Ditambah lagi pohon Maple yang berhasil menyulap daunnya menghijau dengan sangat apik.
Aku membuka jendela dan melihat keadaan Amsterdam yang padat namun tenang. Semua orang menikmati musim semi tak terkecuali aku. Untuk menikmati hari ini aku memutuskan seharian akan berada di jalanan, aku ingin mengelilingi Dam Square dengan sepeda.
"Nad,"
"Iya bu!?" jawabku dengan penuh semangat.
"Keget ibu, Nad. Sesenang itu ya menyambut musim semi?"
"Iya dong. Nadir mau keliling naik sepeda ya,?" ucapku dengan nada penuh harap semoga ibu mengiizinkan.
"Jangan lupa buku catatan dan kamera!"
"Siap bos."
"Mandi dulu sebelum pergi ya Nad," ungkap ibu dengan nada menggoda. Mana mungkin aku tidak mandi pagi kalau tidak kepepet. "oh, iya. Kamu dapat bunga mawar, tapi ibu bingung, karena biasanya Genta kirim bunga mawar warna merah tapi kok ini warna putih, ya?". Kepalaku terusik oleh perkataan Ibu dengan berbagai pertanyaan, mungkinkah selera Genta berganti seiring berjalannya waktu?
Aku menggunakan blus putih dengan kulot senada, tak lupa aku memakai cardigan berwarna hijau tua. Mengalungkan kamera dan memasukkan buku catatan ke dalan tas ransel. Sambil menuruni anak tangga aku mengikat asal rambut.
"Ibu… Nad, keluar dulu ya!"
"Eh eh, sebentar, kamu gak mau sarapan dulu, Nad?"
"Nanti beli wafel sama kopi di kedai Alex. Lagipula hari ini dia buat gratis bu, karena anaknya ulang tahun."
"Michaela?"
"Iya. Nadir akan di sana sampai makan siang."
"Kalau gitu, ibu belikan hadiah saja atau kita buat acara kecil untuk dia? Mereka itu teman pertama kamu di sini. Apalagi Alex dan Jessy sering banget antar makanan buat kamu."
"Iya, mana baiknya aja bu, see you!" ucapku seraya mengecup pipinya lembut tapi ibu mencegahku, "Kenapa lagi, bu?"
"Bunga mawarnya di atas meja. Ada suratnya Nad. Genta bisa banget romantis ya."
"Yauda nanti Nad ambil, pergi ya, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Nad, kamu terlihat begitu sehat tanpa bayang-bayang dan kenangan tentang hari itu. Jika ibu jadi kamu, entah bagaimana cara ibu melanjutkan semuanya. Setelah separuh dari diri kita pergi tapi ternyata dia masih menginjak bumi. Nad, dia sudah datang.
***
Aku terus saja menggoes sepeda dengan sedikit terburu-buru. Hari ini tak boleh berantakan. Udara begitu sejuk dengan angina yang cukup kencang, kita memang tidak bisa membaca alam. Ada saja caranya untuk terus dipuji.
Aku memarkirkan sepeda tepat di sisi kiri kadai Alex dan masuk dengan sangat gembiranya.
"Goedemorgen mijn familie?" ucapku masih dengan logat Asia yang susah untuk kuhilangkan dan akhirnya kudapati tatapan aneh dari beberapa pengunjung kafe. Sambil tersenyum malu aku langsung menuju tempat duduk yang paling dekat dengan Alex. Tapi aku salah, Alex malah melihatku seakan-akan ingin menjadikan aku sup untuk makan siang. Aku hanya nyengir dengan wajah tanpa rasa bersalah. Wajar saja Alex marah karena ini masih pagi untuk membuat keributan di kadainya.
"Neem me niet kwalijk, pardon." Ucap Alex sambil membungkukkan badannya. Aku hanya melihat dengan sekilas kemudian memakan cokelat yang berada dalam mangkuk kecil tapi Alex menahan tanganku "Nad, please don't make disorder so early!"
"Sorry." Jawabku dengan singkat dan tidak peduli dengan wajah merah Alex. Kemudian Alex kembali menatapku dengan tenang. Aku tertawa di dalam hati melihat ekspresinya yang beragam karena semua kelakuanku.
"Where is Michaela?"
"Gunakan saja bahasa Indonesia. Itu saja kamu belum hafal betul."
"Kalau aku terus saja menggunakan bahasa Indonesia kapan aku bisa sembuh?"
"Terserahmu saja, Nad. Michaela sedang dalam perjalanan ke Indonesia!"
Aku mengerutkan kening mendengar jawaban Alex. Kenapa Michaela ke sana?
"Dia ingin merayakan ulang tahun yang keempat ini bersama keluarga di sana. Tadi pagi dia berangkat bersama Jessy. Mereka tidak akan lama jadi aku tidak ikut." Aku hanya diam tanpa membalas apapun yang Alex ceritakan. Iya, Alex percampuran Maluku dan Jerman dan sempat tinggal di Indonesia yang kemudian bertemu Jessy saat mereka sama-sama berlibur di Maluku.
Jessy yang berkebangsaan Belanda akhirnya luluh dengan ketulusan Alex. Di situlah pertemuan mereka dan tak butuh waktu lama hanya dalam empat bulan mereka memutuskan untuk melangsungkan pernikahan. Melihat perjalanan tali kasih mereka sesingkat dan seringan itu aku merasa iri sekali. Dan sekaran aku juga semakin iri ketika Michaela lebih memilih pergi ke sana dari pada di sini bersamaku.
"Ini!" ucap Alex menyodorkan ponselnya, "Hay. mijn vriend. Vandaag, ga ik naar Indonesie. Ik hou van Indonesie, kom! En tot ziens!" itulah isi video yang diucapkan oleh anak berumur empat tahun. Dia mengatakan menyukai Indonesia dan mengajakku untuk pergi ke sana. Michaela, andai semudah itu aku bisa kembali ke sana, aku juga tidak akan pernah menunda dan berlari sejauh ini.
Alex mengambil tempat duduk tepat di sampingku "Kamu mau sejauh mana lagi, Nad? Sejauh apapun kamu ingin pergi, sekeras apapun usahamu, itu tidak akan pernah berhasil karena sejak awal kamu memang sudah meletakkan hatimu di sana dan kamu akan pulang." Aku tidak mampu menampik apa yang diucapkan oleh Alex. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa sangat pedih untukku. Hari ini, musim semi terasa asing.
"Keluarga kamu satu dari banyak alasan untuk aku bertahan di sini. Bahkan sekarang aku tak bisa memastikan di mana rumahku. Lex, ini kado untuk Michaela." Ucapku sambil menyerahkan hadiah boneka kura-kura untuk anaknya, sebelum aku melangkahkan kaki, Alex kembali berkata "Nad, semakin jauh kamu pergi akan semakin menyakitkan untuk Genta dan akan sia-sia untukmu karena usaha itu tidak akan pernah berhasil."
Aku terdiam sambil terus berdiri membelakangi Alex. Apa yang dia katakan memang benar, sangat benar, tapi tidak semua rasa sakit harus dipulangkan pada pemiliknya.
Aku berjalan dengan air mata yang terus mengalir, sambil kudengar orang membicarakanku. Kunaiki sepeda berpikir dengan begitu keras tentang tujuan akhir dari kisah dan perjalanan ini. Dengan pipi yang terasa lembab dan sepeda yang masih kunaiki, aku telah sampai di depan rumah sakit Sint Lucas Andreas Hospital. Aku sudah yakin, kakiku tidak salah, aku memilih, Genta.
***
Sekarang, aku sudah berada di depan ruangan yang selalu kudatangi ketika aku dihantui mimpi masa lalu dan tempat yang mempertemukan kami.
Tok… tok…
"Genta…" aku membuka knop pintu ruangan dan menampil seseorang yang selama ini rela meluangkan waktunya untuk terus mencintai perempuan sepertiku. kerelaannya menjadi orang paling tersakiti di dunia ini, maafkan aku.
"Genta, maafkan aku!" aku menghamburkan kesedihan ini pada dada bidangnya. Dalam pelukan seorang laki-laki yang selalu ikhlas mencintai.
"Nad, kamu gak salah. Yang mencintaimu adalah hatiku dan memaksamu untuk membalasnya bukan tujuan. Aku hanya ingin mencintaimu dan kamu tak harus menerimanya."
Aku terus saja mengeraskan pelukan. Jas putih sudah lusuh dan basah karena air mata. Aku tak sanggup mengatakan apa pun dan kehilangan kata-kata. Aku tak ingin kehilanganmu, Genta.
Suasana sudah semakin tenang, kini aku sedang duduk di bangku dan berhadapan dengan Genta. Genta sudah menyiapkan kopi dan roti isi untukku. "Kamu tadi ke kedai Alex untuk memberikan kejutan pada Michaela yang sedang berulang tahun, tapi dia sudah berangkat ke Indonesia pagi tadi, iyakan?"
"Kamu tahu?"
"Aku datang lebih dulu daripada kamu, Nad. Dan aku juga sama kecewanya denganmu. Tapi tak masalah karena dia anak kecil. Tapi, kalau kamu yang pergi tanpa memberitahuku lebih dulu, entah bagaimana bentuk raga dan jiwaku." Aku tertegun mendengar apa yang barusan diucapkan Genta. Apa benar dia akan sehancur itu jika aku pergi tanpa pamit? Bukankah kepergian dengan pamit akan semakin menyakitkan untuknya karena dia akan tahu ke mana tujuanku dan mendapati kenyataan bahwa bukan dia tujuanku yang sebenarnya.
"Kamu gak perlu bingung Nad, aku cuma bercanda."
"Aku kenal kamu Genta. Hanya kamu satu-satunya laki-laki yang kukenal dari awal aku kehilangan semuanya. Kamu serius dengan kalimat itu!"
"Kalau kamu paham dengan semua itu. Aku ingin kita menikah!" tak mengerti dengan kalimat terakhir yang dia ucapkan, "kamu tidak perlu menjawabnya sekarang karena aku yakin kamu pasti bingung dengan semua situasi mendadak yang sedang menerpamu. Nanti saja kalau kamu juga sudah yakin, ya?"
"Genta, kamu ingin aku jawab sekarang?"
"Aku melamarmu dengan situasi yang tidak nyaman. Tidak usah dijawab sekarang, kamu mau dilamar layaknya negeri dongeng, bukan? Di sebuah tempat yang indah dengan rumah pohon, senja, dan beberapa anak kecil yang akan membawamu ke pantai."
"Genta, kamu…" belum sempat melanjutkan kalimatku, Genta sudah mendekap erat tubuhku, "Nad, kamu akan selalu kuistimewakan." Kalimat itu terus saja terngiang-ngiang dan aku akan terus meyakinkan bahwa itu kamu, Genta, pelabuhan terakhir untuk terus melihat senja.
Habis sudah kopi dan roti yang Genta berikan, jika tak kuhabiskan maka ia tak akan memberi aku kesempatan untuk pergi ke Keukenhof, sendirian pula.
Aku memutuskan untuk pergi ke sana. Ke rumah pasangan baik hati, tuan Henry dan nyonya Marsha. Apalagi pertengahan bulan April nanti, saat semua bunga sudah mekar dan berwarna-warni.
Genta memberi sebatang cokelat, sebab tiap kali mengunjungi kebun bunga aku akan lupa untuk makan dan hanya menghabiskan diri, menatap sambil memotret semua bunga di sana.
Setelah keluar dari rumah sakit tempat Genta bekerja, aku menyusuri jalanan Amsterdam. Keukenhof berada di perbatasan Amsterdam dan Den Haag butuh 1,5 jam untuk ke sana menggunakan bus. Aku balik lagi ke kedai kopi Alex untuk menitipkan sepeda, karena kedai Alex dekat dengan Rijksmuseum maka aku akan dengan mudah mengakses bus untuk pergi ke Keukenhof.
"Nad, where is your bicycle key?" tanpa menjawab pertanyaan Alex, aku hanya mencampakkan kunci dan dia menangkapnya dengan sangat baik.
"Good, my pet!" kataku sambil tertawa puas melihat wajah Alex tampak memerah karena sudah kupermainkan.
Berjalan riang dan kini aku berada di dalam bus menuju ke Schiphol untuk mengganti bus Keukenhof Express dari Schiphol Plaza. Sudah kuhafal semua jalan dan setiap tempat yang sering kudatangi juga selalu ada buku catatan yang kubawa agar tidak kesasar.
Tak terasa aku sudah berada di Schiphol Plaza. Selama perjalanan saat di bus, aku hanya melihat pemandangan kota Amsterdam yang sangat bersih dan rapi. Sesekali kupotret beberapa kejadian yang menarik perhatian.