Chereads / NADIR / Chapter 17 - 17

Chapter 17 - 17

Tangan kami tidak pernah lepas sejak pertama kali aku menghamburkan diri ke pelukannya. Deka sudah mengantarku sampai ke depan rumah, sekarang di depan pintu. Aku merekahkan senyum lebih lebar dari tadi, begitu juga dengan Deka. Kami masih bertahan di depan pintu dan tidak ingin waktu berjalan, di sini saja.

"Kamu masuk ya, ketemu ibu?"

"Udah, besok aku ke sini lagi. Ini sudah larut, Nad."

Aku tersenyum menanggapi jawabannya. Deka masih sama, masih tidak berani untuk pulang larut malam. Seakan mengerti apa yang akan dilakukan oleh Deka aku langsung menepuk pundaknya, dan dia sudah tertunduk sambil mengulum senyum.

"Aku pulang, selamat malam putri."

Malam ini aku merasa seperti satu-satunya perempuan paling bahagia di seluruh alam semesta. Aku sudah bertemu dengannya, sudah menyapanya, sudah melakukan yang harusnya kulakukan sejak lama. Sekarang, aku tahu mana yang harus kumulai dan mana yang harus kuakhiri.

Aku masuk ke dalam rumah dengan senyum yang tidak lekang. Sementara itu ibu melihatku dengan tatapan aneh, aku berjalan terus melewatinya dan langsung masuk ke kamar. Di kamar aku masih saja mengingat semua hal yang terjadi hari ini. kuambil kalender dan kuberi tanda di hari ini, bertuliskan 'meet Deka' karena bisa saja penyakit itu meyerangku, lagi.

Seakan tahu apa yang sedang dirasakan anaknya, ibu menyusul ke kamar dan dia sedang menatap dengan mata yang sulit diartikan, posisi menyandar di daun pintu dan tangan ditautkan tepat di dada. ibu yang penuh penasran dan menantikan penjelasan.

"Dia datang, bu!!" hanya kalimat itu yang bisa kuberikan pada ibu. Tapi, tatapannya masih sama, sedetik kemudian dia berjalan ke arahku dan langsung memeluk tubuh begitu erat. Entah apa yang sedang ibu pikirkan tapi respon yang dia berikan membuatku bingung. Ibu mengelus puncak kepalaku.

"Seseorang kembali lagi, tidak lain dan tidak bukan untuk kembali pergi." Kalimat itu membuat tubuhku membeku seketika. ibu memang benar, tapi aku sudah mengatakan pada Deka untuk tidak pergi lagi, bukan?

"Dan mungkin lebih lama, atau besar kemungkinan untuk tak kembali."

Ibu sudah melepaskan pelukan dan kembali menatapku, ibu kumohon jangan menatapku dengan sorot mata seperti itu, terakhir kali ibu menatapku seperti itu dan besoknya harus kuterima berita bahwa aku terdiagnosa sakit yang tidak bisa sembuh.

"Bu, bagaimana bisa dia datang jika untuk pergi?"

"Nad, dari awal yang kamu butuhkan memang hanya penjelasannya bukan perasaannya! Dan sekarang penjelasan dari kepergiannya, dia sudah melakukan itu!"

"Tapi aku menerima semua, bu. Aku tidak mengingat hal buruk yang terjadi padaku, karena perasaanku memang sudah lebih besar untuknya!"

"Nad, kamu sudah dapat penjelasannya dan dia tidak punya waktu untuk terus di sini karena kamu tidak memilihnya, lagi."

Aku tertegun mendengar tiap kata yang tersusun menjadi kalimat. Ibu benar, aku sudah menggantinya, walau tidak sepenuhnya tapi aku sudah satu langkah di depannya. Tapi aku tidak benar-benar pergi darinya, aku masih terus menunggu walau tanganku sudah tergandeng.

Setelah sahut-sahutan yang aku dan ibu lakukan, kini ibu meninggalkanku di kamar sendirian berteman sepi. Aku berdiri dan terus menatap langit malam, aku membenarkan posisi gorden dan melihat sekeliling. Lampu di jalanan masih terang, langit juga sedang bermandikan bintang.

Seolah terbalik dari keadaanku kali ini, apakah bulan tahu masa depan? Masa yang akan kulalui, nanti. Karena umurku belum siap untuk hari-hari melelahkan berikutnya.

***

Aku tersentak mendengar suara azan yang bersahut-sahutan. Kurenggangkan tubuh dan langsung menunaikan kewajiban. Hari ini aku ingin bermalas-malasan saja. Menikmati hari yang Tuhan hadirkan.

Sinar matahari kembali menyusup ke kamarku melalui kaca-kaca jendela. Aku ingin tidur lagi. Namun, siapa sangka, ada suara laki-laki yang mengguncang rumah sepagi ini, itu pasti suara mas Aga. Dia pulang.

Dengan mata yang masih meredup, aku tidak berniat menyapanya. Paling-paling dia yang akan mendatangiku lebih dulu. Benar, tak berapa lama, dia berdiri di depan kaca rias sambil mengambil pelembab wajah dan mengaplikasikan di wajahnya.

"Nad, Mas bilang ke ibu untuk belikan pelembab wajah yang sama kayak kamu tapi belum juga dibeli. Mas minta punya kamu, ya."

Semenjak dia bekerja di Bandung dan mengharuskan dia untuk tinggal di sana, waktu kami untuk berjumpa memang semakin sedikit. Paling-paling dia pulang kalau akhir pekan. Dia selalu gila kerja. Karena suhu di sini sering berubah-ubah itulah alasan mas Aga selalu memakai pelembab wajahku.

Tidak peduli dengan ucapannya barusan, aku mengambil selimut dan menutupi ke seluruh tubuh. Terserah dia mau melakukan apa, hari ini aku sedang tidak bersemangat.

"Kamu ketemu Deka?" pertanyaan konyol macam apa itu, bagaimana mas Aga bisa dengan mudahnya menanyakan yang sebisa mungkin untuk tidak kuperlihatkan. Aku hanya menatap sinis dan membalikkan badan.

"Mas bingung sama kalian berdua, sudah diberi kesempatan untuk kembali malah semakin jauh. Nad, percayalah bahwa Genta pergi tidak dalam keadaan baik-baik saja!" ucapnya sambil terus mengoles pelembab itu.

"Mas, ini masih terlalu pagi untuk kembali mengungkit perihal itu. Kamu itu dukung aku sama siapa sih? Gajelas."

"Aku mendukungmu, mendukung keputusan dan pilihanmu. Mintalah penjelasan lalu pilih siapa yang lebih siap menemani. Jika Genta kembali dan kalian juga tidak menyelesaikan apa-apa, mau seperti itu terus?"

Aku bangkit dari tidur kemudian menatap mas Aga, menantikan kata-kata selanjutnya, mas Aga balik menatap dan sorot matanya menunggu respon apa yang akan kuberi.

"Dari awal Nadir bilang hanya menunggu penjelasan dari Deka, jadi, sudah jelas bahwa Genta yang akan menemani Nadir selanjutnya!"

"Kamu benar untuk penjelasannya tapi salah untuk menemaninya! Kamu butuh penjelasan itu, dan saat semuanya sudah jelas yang ada hatimu semakin memilih dia." Aku hanya diam membisu mendengar ucapan mas Aga. Tidak mampu mengubah apa pun bahkan posisi duduk. Deka, kamu datang apa hanya untuk pamit, lagi?

"Lalu, apa yang harus Nadir lakukan, mas?" dengan suara yang sudah melemah dan tidak mampu membantah apa pun.

"Kamu sudah cukup mengerti dan tahu apa yang akan dan harus kamu lakukan, Nad!" kembali mas Aga memberikan kalimat yang susah untuk kucerna. Dia berjalan melaluiku keluar dari kamar bersamaan dengan siulan dari mulutnya. Dia tampak baik-baik saja padahal rasa sedih menyelimutinya lebih dalam.

Kuambil ponsel dari nakas kemudian mencari satu kontak, bertuliskan 'Deka' tanpa pikir panjang, aku harus melakukan ini lebih awal. Agar bisa kujemput Genta dan memilihnya.

"Iya, Nad?"

Aku diam mendengar suara bas yang selama ini kurindukan, dia yang selalu kuingat, tentang rasa, "Nad, kamu masih di sana?"

"Ah, iya, Deka bisa temui aku hari ini?"

"Kapan pun aku siap, setelah sarapan aku langsung ke sana, ya."

"Iya, kutunggu."

Hanya itu yang terjadi tapi rasanya seperti hendak mengakhiri hidup. Jantungku berdegup dan aku merasa lemas yang membuat kepalaku jadi sangat pusing. Ini seperti kejadian saat aku mengingat semuanya, yang berbeda hanya tempat kejadian. Kumohon jangan hilang sekarang situasi sedang genting.

"Nad? Nad, kamu masih tidur?"

Kudengar suara ibu yang juga mengetuk pintu kamar, aku membenarkan posisi tidur kemudian bangkit dan menyapa walaupun pusing masih terasa di kepalaku.

"Deka lagi nunggu kamu." Ibu mengatakan kalimat yang membuat suhu tubuhku semakin tidak karuan. Aku sudah mewanti-wanti sejak awal. Tubuhku pasti tidak akan merespon hal ini dengan baik. Aku hanya tersenyum dan kuambil posisi untuk masuk ke kamar mandi.

Aku mengenakan gaun hitam selutut dengan motif bunga tulip, bukan seperti gaun yang akan dikenakan saat pesta tapi sepotong terusan berbahan kaos longgar. Deka sedang berbicara dengan mas Aga, setelah mereka melihatku, mas Aga mengambil langkah meninggalkan kami berdua. Yang mereka bicarakan tampak sangat penting dan serius, aku bisa pastikan itu ketika melihat sorot mata mas Aga.

"Deka, kita ke negeri Sultan, ya. Di sana lebih indah untuk menceritakan semuanya."

"Iya, Nad,"

Kami berpamitan dengan ibu dan mas Aga. Menyusuri jalanan berdua persis dulu ketika semuanya tidak serumit ini. Jalanan memang tidak sunyi, riuhnya kota Yogya masih terlihat ramah. Senyum dari warga yang sangat ikhlas membuatku yakin hari ini bukanlah hari yang sulit.

Tak terasa kami sudah berada di gang rumah Sultan, tidak banyak yang kami ceritakan, hanya diam yang paling sering terjadi. Bahkan hanya dua pertanyaan yang keluar dari mulutnya,

1. Kamu udah makan?

2. Mau makan apa?

Masih dengan situasi yang hening, kami terus berjalan sambil sesekali melihat kemudian terseyum satu sama lain. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa karena sedang memikirkan kalimat yang akan kukeluarkan untuk pertama kali ketika sampai di sana. Apa yang akan kukatakan sudah jelas mempengaruhi banyak orang dan bukan hanya aku. Terkhusus laki-laki yang sedang pergi jauh untuk memberi jeda pada hubungan ini.

Aku dan Deka sampai di markas kami. Di waktu yang tergolong pagi ini anak-anak sedang berada di sekolah, kecuali beberapa anak yang masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar, mereka pulang lebih cepat dan mereka berkumpul biasanya di waktu siang hari.

Menatap birunya air laut pantai Selatan. Ombak seolah menari sesuai ritme dan kapal-kapal yang berlalu-lalang menunjukkan arifnya orang-orang Yogya.

Dengan satu tarikan napas aku memberanikan diri untuk mengatakan semuanya, semesta, kita berteman untuk hari ini, ya.

"Deka… ada seseorang yang berhasil menyembuhkan sakitku." Sambil terus menunduk, aku mengucapkan kalimat yang telinga kiriku saja tidak mampu mendengarnya dengan jelas. Dan respon Deka di luar dugaan.

"Nad, aku tahu bahkan jauh sebelum kita berpisah. Kita memang akan disembuhkan oleh orang lain."

"Semudah itu kamu melepaskanku, Deka? Mana usahamu?"

"Sampai kata terakhir yang aku ucapkan ini, itu semua adalah usahaku!"

"Apa yang kamu maksud dengan usaha?"

"Aku tetap berusah sampai detik ini. Cinta bukan tentang pembalasan tapi keikhlasan."

Tak kukira akan seperti ini. Aku berharap kamu memberi pembelaan untuk dirimu sendiri, Deka. Bukan pasrah melihat aku pergi, dengan deraian air mata.

"Tidak berniat mencegahku? Deka, apa kamu tak pernah sadar atas pemikiran pengecutmu itu? Tahan aku! Dan sekarang aku merasa seperti perempuan yang murahan!"

"Ketika aku memutuskan untuk kembali ke hidupmu, itulah yang namanya pengecut. Aku datang dan menghancurkan masa depanmu, Nad!"

"Apa harus kujelaskan lebih detail lagi, bagaimana aku berharap kamulah orang itu?"

Kami hanya diam saling menatap, sambil terus berderai air mata. Aku dan Deka baru saja berargumentasi dan membenarkan diri kami masing-masing. Mungkin, akan berbeda hasil jika dari awal dia memang membenarkan perasaanya.

"Tuhan sudah amat baik padamu, terima saja."

"Tidak sulit untuk melakukan yang kau suruh itu. Karena selama ini dia yang selalu di dekatku, tapi apa kausiap jika aku memilihnya?" Deka, belum menjawab. Kami hanya saling menatap.

"Nadir Sakinah. Aku hadir untuk menyembuhkanmu bukan untuk bersamamu. Siap atau tidaknya diriku itu bukan hal yang harus kaucemaskan."

"Deka!!! Hubungan kita memang tidak memiliki awal yang baik tapi bukan berarti harus diakhiri dengan tidak baik juga, bukan?"

"Awal yang buruk akan menghasilkan akhir yang buruk juga. Itu juga kalau sampai akhir, belum sampai pertengahan saja kita sudah kehilangan segalanya."

Deka, berkatmu hidupku jauh lebih terisi. Aku tidak ingin buang-buang waktu lagi segera kupeluk dia dan menangis hebat dalam peluknya. Deka memeluk dengan sangat erat hingga detak jantungnya juga dapat kurasakan.