Chereads / NADIR / Chapter 20 - 20

Chapter 20 - 20

Samar-samar aku mendengar orang berbicara tapi tidak bisa kusimak apa yang mereka bicarakan. Dengan sangat hati-hati membuka mata dan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Bau etanol sangat menyengat, tidak lain dan tidak bukan ini adalah rumah yang tidak diinginkan oleh semua orang. Aku kembali memasukinya.

"Nad? Alhamdulillah…"

Aku masih merasa sangat lemah, bahkan untuk menggerakkan tangan saja susah. Kakiku merasakan kebas yang menggila serta pusing yang belum mereda. Ibu mengusap air matanya, ingin sekali aku melakukan itu untuknya tapi tidak bisa.

Mataku juga ingin menangis, "Na..nad, baik-baik.." ucapku hampir tidak terdengar dan ibu hanya mengangguk sambil tersenyum kemudian mengahapus air matanya, lagi.

Ibu sedang salat yang diimami ayah. Mereka terlihat sangat serasi. Aku memalingkan wajah ke arah jendela. Di luar terlihat Yogya yang padat, aku belum menanyakan apa pun pada ibu. Bukan karena tidak penasaran dengan keadaanku tapi karena aku belum bertenaga untuk banyak bicara.

"Nad, ayah khawatir sama kamu."

Ayah membuat aku mengalihkan pandangan yang dari tadi ke luar jendela kini menatapnya dengan rasa bersalah. Aku tahu yang kulakukan bukanlah hal yang baik karena pergi tanpa meminta izin darinya.

"Ini akibat dari kamu yang sangat kelelahan. Ibu sudah menceritakan semuanya, apa harus dengan itu kamu menyelesaikan perasaanmu? Nadir, kamu akan semakin memburuk jika melakukan hal-hal di luar dugaan seperti ini. Kalau terjadi pembengkakan lagi maka kamu akan kehilangan semuanya."

"Nadir minta maaf, yah." Aku hanya mampu mengatakan itu dan menangis pelan. Ibu memelukku mencoba untuk menghentikan air mata yang keluar. Aku tahu ayah marah karena memang aku salah.

Tak butuh waktu lama sekarang ayah juga sedang memelukku. Dia tahu betapa rapuhnya aku dan detik ini ingin sekali kuhentikan sejenak agar seluruh tubuhku merasa bahagia memiliki keluarga yang indah.

Ibu sedang duduk di samping ranjang tidurku sambil menonton tv dan tertawa sesekali. Dia terlihat kelelahan, sangat kurang tidur apalagi dia hanya menjagaku sendirian tapi sulit sekali.

"Bu,"

"hmm?" sahut ibu sambil tersenyum ke arahku.

"Mas Aga gak ikut jaga aku, ya?"

Lagi-lagi ibu tersenyum bahkan lebih lebar dari sebelumnya "Mas Aga langsung datang waktu dia dapat kabar kamu pingsan. Cuma karena kamu pingsannya lebih dari 24 jam akhirnya mas Aga pulang karena dia masih ada kerjaan."

Aku mengangguk sambil memilih hal apa lagi yang harus aku tanyakan, "Ayah, bu?"

"Ayah nanti malam baru ada jadwal penerbangan."

"Bu, Nad baik kok. Kita pulang sore ini ya?"

"Nadir, kamu masih kurang istirahat, kalau kemarin Deka gak sigap untuk antar kamu ke rumah sakit mungkin kamu akan pingsan lebih lama dari ini. Nad, kamu harus ingat, sakitmu itu bisa dengan mudah datang lagi, apalagi kalau kamu istirahatnya jarang dan emosi naik turun, akibatnya kamu tahu, kan?"

Aku hanya menundukkan wajah, merasa bersalah dengan diri sendiri. Aku ini tidak pandai bersyukur dan terlalu tergesa-gesa. Dan yang aku pikirkan sekarang adalah Genta yang mungkin merasakan sakit yang lebih parah dari sakitku.

"Bu, Deka mana?"

Wajah ibu terlihat berubah, ada apa ini. Setelah aku menyelesaikan semuanya dan memilih dia, ke mana dia sekarang? Apa dia pergi dengan begitu mudahnya?

Ibu menarik napasnya dengan kasar dan melihat mataku penuh arti, "Dia hanya menitipkan kamu pada ibu."

"Maksudnya?" aku menautkan alis mata dan menatap ibu dengan seksama menantikan penjelasan dia selanjutnya.

"Dia memutuskan untuk pergi lagi, Nad."

Tubuhku seperti dihujani oleh batu-batu besar yang menghancurkan tubuh ini lebih halus dari tepung. Apa yang ibu sampaikan tadi benar-benar di luar dugaan. Aku memperjuangkan semuanya dan berharap dia tetap di sini tapi kenapa dia mengakhiri semua ini dengan sangat tragis.

Air mata tidak mampu lagi kubendung, meluncur bebas tanpa permisi. Laki-laki itu kembali pergi. Semua orang tahu apa rasanya, ketika kita berjuang untuknya lalu dengan mudahnya dia pergi membiarkan aku kembali pada lubang hitam itu lagi.

Aku menangis dengan sangat hebat sampai ibu tidak kuat untuk meredakan emosiku. Aku terus meronta-ronta dan secara tiba-tiba tenagaku kembali ketika merasa ditokohi seperti ini.

"Apa ibu tidak bisa mencegah dan menyuruh dia menunggu sebentar saja? Apakah sulit mempunyai pasangan sepertiku? Hah?" aku mengeluarkan seluruh tenaga dengan emosi yang masih membuncah.

"Nad, dia akan kembali, percayalah!"

"Aku sudah tidak mempercayai kalimat itu. Aku membencinya!"

Sahutku dengan air mata yang semakin deras. Aku merasa tidak lagi berharga setelah menyia-nyiakan laki-laki paling baik, kini aku malah ditinggalkan dengan hati yang lebih buruk. Tidak ada lagi negeri Sultan, tidak ada lagi gundukan tanah untuk melihat senja, tidak akan ada lagi taman indah di ujung perumahan. Semuanya sudah hilang, terkurung dalam ingatan masa lalu.

Ibu berhasil membuatku semakin tenang tapi air mata ini tidak juga berhenti. Apa bisa aku melewati hari-hari selanjutnya tanpa ada dia, bagaimana dia bisa melakukan hal yang di luar dugaanku, kecewa adalah kata paling akhir untuk sebuah hubungan dan kata 'maaf' tidak selalu menjadi penawarnya.

Tidak kusesali perpisahan aku dan Genta karena itu memang harus diakhriri ketika tidak ada rasa cinta. Yang aku sesalkan adalah kenapa harus Deka yang menjadi alasanku untuk pergi.

Aku hanya termenung menatap layar televisi dan mengganti siaran tanpa menyimak apa yang mereka sampaikan. Sore nanti aku diperbolehkan pulang setelah lima hari di rumah sakit. Sekarang bagiku tidak ada beda antara rumah sakit dan rumah tinggal, semuanya sama, sama-sama tidak nyaman untukku.

"Nad, kita ketemu dokter Adrian dulu ya, sebelum pulang." Ucap ibu sambil tersenyum hangat tapi aku hanya mengangguk dengan wajah datar tanpa memperlihatkan ekspresi apa pun.

Sambil berjalan aku memikirkan banyak hal, semua tentang dia. Deka, sebenarnya kamu itu apa, kenapa dengan sangat mudah kamu membuatku berharap dan dalam sekejap menghancurkan harapan itu?

Sambil terus bejalan di koridor menuju ruang dokter, aku melihat sekeliling, ada beberapa pasien yang juga sama sepertiku. Hanya duduk dengan lamunan kosong dan ada beberapa yang juga menatap ke luar jendela.

Tempat paling menyedihkan di rumah sakit bukan ruang jenazah tapi ruang-ruang yang menampung pasien dengan masalah pada sarafnya, karena menyedihkan jika tetap hidup tapi ingatan mati.

Kami sudah memasuki ruangan dokter Adri, dia tersenyum melihatku. Dari dulu senyum itu tidak juga berubah.

"Nadir perkembangannya bagus sekali. Kamu harus banyak istirahat, walaupun ingatan sudah kembali bukan berarti kamu jadi asal-asalan sama tubuh kamu, ya. Rajin olahraga, jangan stres itu penting."

"Apa yang bisa Nadir lakukan?" dengan nada yang sangat pelan dan lemah sekali. Karena aku bingung apa aku akan tetap baik-baik saja setelah semuanya hancur seperti ini.

"Lakukan yang membuatmu senang." Aku hanya melihat dokter Adri sekilas kemudian bangkit dan pergi meninggalkan dia. Ibu yang merasa sedikit malu akan tingkah lakuku, langsung meminta maaf dan menyusulku. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang Nadir, cinta yang sudah kuperjuangkan saja pergi dengan mudahnya apalagi penyakit yang tidak ada obatnya, dia akan datang sesukanya.

Aku berjalan terus dan langsung masuk ke dalam ruangan, kembali ke atas kasur dan merebahkan diri. Terdengar suara pintu di buka, itu pasti ibu. Aku hanya merasa kecewa pada diriku sendiri dan tidak ingin orang lain melihatnya meskipun itu ibuku sendiri.

"Nad, ibu tidak pernah memaksa kamu untuk jadi apa pun. Kamu sehat itu sudah lebih dari cukup untuk ibu, ayah dan Mas Aga. Sudah, ibu juga tidak akan memaksamu lagi karena hidup kamu masih panjang, kamu bisa melakukan banyak hal dan ibu akan selalu di dekatmu."

Aku membalikan tubuh dan langsung menyergap ibu. Benar kata ibu aku harus tetap melanjutkan hidup meskipun tidak dengannya.

***

Sudah seminggu kepulanganku dari rumah sakit. Sudah membaik walau sesekali aku termenung membayangkan rumitnya perjalanan hidup. Aku mengambil puding dalam lemari es dan memakannya sambil menatap layar televisi. Ibu pergi ke luar rumah untuk membeli bahan makanan. Aku sudah membuat daftar tentang hal-hal apa saja yang akan aku lakukan karena tidak mungkin aku seperti ini selamanya.

Salah satu dari daftarnya adalah melukis dan menulis. Tidak jadi dokter, tidak mengapa untukku. Tapi, bukan berarti tidak menjadi siapa-siapa. Menulis kisah hidupku dan menggambar setiap hal yang sudah kulalui itu akan lebih baik dan berguna daripada sekadar duduk diam.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam," jawabku sambil menjemput ibu ke pintu depan untuk menutup pintu karena tangan ibu penuh dengan belanjaan. Seingatku tadi dia pamit ingin membeli beberapa tapi ini terlihat banyak sekali. "Banyak banget belanjanya?"

"Hmm, iya dong. Hari ini mas Aga pulang," aku tersenyum lebar mendengar penjelasan ibu, siapa pun akan merasa bahagia jika saudaranya pulang, bukan?

"Dan mas Aga bawa teman baru untuk, ibu, kamu dan ayah."

Aku sempat bingung dengan ucapan ibu barusan, maksud dari teman baru? "Ibu yakin? Mas Aga bilang akan susah menemukan sosok yang baru untuk dia."

"Oke. Kamu gak percaya, nih? Yauda liat aja nanti."

Dengan wajah bingung aku mencari gawai dan mencoba menghubungi mas Aga tapi nihil, dia tidak mengangkat telepon dan tidak menjawab pesanku. Mas Aga curang, menyembunyikan hal besar dari aku. Seharusnya, aku yang pertama kali tahu.

Aku tengah membantu ibu mempersiapkan makanan untuk menyambut mas Aga dan calon istrinya. Ada rasa sedih ketika aku mendengar dari ibu bahwa mas Aga akan menikah. Karena untukku dialah satu-satunya laki-laki yang tidak pernah membuatku marah dan sedih.

"Ibuu, Nadirr.." itu pasti mas Aga, karena aku sedang memotong keik maka ibu yang membukakan pintu untuk mereka.

"Adek.."

"Nadir…."

"Hoy!"

"Apa sih mas, udah tua juga, masih aja teriak-teriak. Kamu kok gak bilang sama aku?"

"Eh.. eh adik aku jangan marah dong. Namanya juga kejutan, kamu pasti bahagia ketemu orangnya."

"Mana?"

"Itu.." mas Aga menggunakan jari telunjuk untuk menyuruhku melihat perempuan itu, tepat di sebelah kanan ibu berdiri seorang perempuan dengan tampilan sangat modis menggunakan celana kulot dan kemeja dilengkapi dengan atasan yaitu jilbab berwarna hitam, dan betapa terkejutnya aku bahwa perempuan pilihan mas Aga adalah seseorang yang sangat kukenal, dia adalah…

"Wila…?" aku sangat terkejut dengan penampilan dan ternyata dia? Wila adalah perempuan paling baik dan paling mengerti aku. Sebenarnya aku tidak terlalu terkejut melihat penampilan barunya, dia memang tidak pernah meninggalkan salat. Aku tahu betul. Dan itulah hebatnya Wila mampu meruntuhkan tembok yang sudah dipasang mas Aga, dia mampu meruntuhkan.

Masih terus memeluknya, aku memang tidak pernah lagi berkomunikasi dan terakhir adalah saat aku pamit melalui pesan singkat untuk pergi ke Belanda. Aku merenggangkan pelukan dan mengacungkan jempol untuk mas Aga seraya mengatakan "Kalau Wila, mas Aga mau nikah besok, Nadir restuin.." sahutku dan mengacungkan dua jempol untuk mas Aga.

Sontak tawa pecah di ruang makan itu, malam itu untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku kembali melihat tawa ikhlas dari mas Aga dan wajah senang ibu benar-benar nyata.

***

"Nad, kamu bagaimana?"

Sekarang aku dan Wila sedang duduk di sebuah bangku yang berada di halaman rumah kami. Wila menanyakan yang sedari tadi sudah kucoba untuk kusembunyikan.

"Mas Aga cerita semuanya, bagaimana sulitnya kamu untuk mengakhiri semua ini, betapa banyaknya pengorbanan dan usaha yang sudah kamu lakukan. Aku tahu kamu kuat Nad, bahkan saat kamu mengikhlaskan cita-cita hanya untuk laki-laki yang, ya dulunya kamu berusaha menolak."

Aku diam tanpa bisa mengatakan apa-apa. Lidahku keluh dan terasa sangat susah untuk mengeluarkan satu kata saja. Dan usahaku berhasil, "Dia sudah pergi, Wi. Ternyata dia sangat jauh, entahlah, yang bisa aku lakukan saat ini adalah menikmati hidup dan bersyukur. Aku sudah lakukan banyak hal untuk berjuang dan ternyata perjuanganku belum selesai, mungkin nanti ada laki-laki lain yang bisa membahagiakan aku lebih dari dia."

Wila menepuk pelan pundak dan dia sedang menangis sambil melihat ke arahku, aku hanya membalas dengan senyuman karena air mata sudah tidak mampu untuk kukeluarkan. Aku hanya berharap Tuhan membahagiakan orang-orang di sekelilingku.

"Eh, ketemu mas Aga, gimana ceritanya?" Wila menghentikan aktivitas menangisnya dan kembali duduk sambil menunjukkan ekspresi malu-malu, "Singkatnya, waktu mas Aga ke Bandung untuk wawancara, dan Bandung lagi hujan deras banget. Kita ketemu di warung seblak."

Aku tertawa mendengar cerita Wila, Tuhan memang tidak pernah kehabisan cara untuk mempertemukan seseorang dengan cintanya dan manusia juga tidak pernah berhenti dengan usahanya.