Aku sudah berada di belakang Genta, satu langkah lagi aku akan berada tepat di sampingnya. Dia masih tidak menyadari kedatanganku, seluka itukah hati dan perasaanmu, Genta?
"Alibimu tidak kuat, Genta!" dengan cepat kilat Genta melihat dan mengikuti gerakan tubuhku. Dia masih tidak menjawab dan hanya diam sambil menatapku yang sudah berada di sampingnya.
"Marsha bilang kamu tidak ke mana-mana. Berarti kesibukan kamu melihat kebun Henry, iya?" masih dalam posisi yang sama, Genta tidak juga menjawab pertanyaanku. Aku menunggu cukup lama, akhirnya dia menyudahi dan memulai percakapan dengan sangat tidak baik.
"Untuk apa? Aku tidak memberimu pilihan untuk menemuiku, aku hanya menyuruhmu untuk tinggal di sana."
"Apakah kamu akan memilih jika pilihanmu tidak ada di sana?"
"Aku tahu kamu memilihnya, Nad! Itulah kenapa aku tidak berniat untuk membalas pesanmu apalagi kembali ke sana."
"Genta, setiap yang kita mulai harus siap untuk kita sudahi!"
"Kita tidak pernah memulai apa-apa. Hanya aku yang memulainya, kamu tidak!"
Aku diam dan merasakan panas di bola mataku, tak berapa lama, air mata kembali menetes kali ini entah untuk apa. Yang jelas aku merasakan perih. "Jadi, ajakanmu untuk menikah itu hanya pura-pura?"
"Jangan membuatku merasa bersalah, Nadir. Apa yang kulakukan kemarin adalah bentuk keseriusanku tapi tidak pernah kauanggap serius. Dan tidak perlu seperti ini, karena aku masih mampu menahan perih walau tanpa pamit."
Genta berhasil membuat air mataku tumpah, bahkan beberapa tetes air mata sudah jatuh ke nampan yang masih kupegang. Genta bagaimana caramu untuk menerima semua ini?
"MAAF." Ucapku dengan suara yang sangat bergetar. Hanya kata itu yang mampu kuucapkan tanpa berani menatap matanya lagi. Aku merasa seperti penjahat yang paling jahat di dunia, dan orang jahat itu adalah mereka yang melukai perasaan orang lain, aku termasuk di dalamnya.
Genta tidak mengatakan apa-apa. Sampai matahari benar-benar pulang ke peraduannya, sampai susu ini dingin. Genta masih betah untuk diam tanpa kata dan terus menatap ke depan. Untuk pertama kalinya aku melihat Genta dengan emosi yang membuncah terlihat dari wajahnya yang memerah, bukan karena jingganya langit tapi karena dia menahan sesuatu.
Kutarik tangannya, lalu kugenggam "Genta, kamu bisa kutuk aku semaumu. Jika itu cara untuk meluapkan emosi."
Dia melirikku dengan mata yang sangat dingin, tidak seperti biasanya, tidak ada kehangatan di sana. "Nadir, aku mencintaimu bukan membencimu. Jika aku membencimu, aku juga tidak akan melakukan hal itu. Aku sudah mempersiapkan diri untuk akhir yang seperti ini." Kemudian Genta memelukku dengan erat. Memastikan bahwa ini adalah pelukan terakhir dan meluapkan kerinduannya.
Aku belajar banyak darimu, Genta. Pelajaran yang tidak kudapatkan di bangku sekolah dan hanya kudapatkan di hidupku. Sakit hati memang ada baiknya, dan bertemu denganmu adalah kebaikan itu.
"Kita, masih bisa berteman?" masih dalam pelukannya, tanpa sadar aku menanyakan hal yang tidak masuk akal. Genta, melepaskan pelukan dan aku menyembunyikan wajah.
"Nad, manusia mana pun tidak akan mudah menerima rasa sakit hati, apalagi berteman dengan seseorang yang pernah menolak untuk diajak menikah, tidak banyak orang yang mau melakukan itu."
Aku membenarkan ucapannya. Bodoh sekali jika permintaanku dilaksanakannya. Apalagi dia akan merasakan sakit yang amat dalam.
"tapi, karena ini keinginan orang yang aku cintai maka akan aku laksanakan." Aku tertegun dengan kalimat Genta barusan. Dia menerima semuanya dengan mudah? Setelah aku melukai dengan sangat dalam. Genta, aku yakin ada seseorang yang lebih baik dariku dan doa untukmu tidak pernah absen dari rapalanku.
Hati Genta berbicara
Akhirnya, setelah lama aku menaggung sakit, kini, sakit itu mereda. Mengikhlaskan adalah sebuah pesakitan tapi itulah seni dari cinta. Selama ini aku bahagia tapi kamu tidak.
Matamu yang penuh harap akan kehadiran seseorang. Kukira dengan segala bentuk usaha dan caraku membahagiakanmu itu bisa membuat hatimu luluh, ternyata belum. Masih kutunggu, ternyata kata 'belum' berganti 'tidak'. Kamu tidak akan pernah melihatku.
Aku masih pasang badan. Semoga setelah kamu mendengar penjelasan darinya, hal itu akan membuatmu sadar dan benar-benar mencintaiku, ternyata 'tidak' untuk kesekian kalinya.
Matamu hidup saat dengannya, meski kamu terus saja mengaku 'tidak' tapi matalah yang terus meng 'iya'kan. Aku tidak pernah mempermainkanmu dan tidak merasa dipermainkan. Seperti itulah cinta, bagian mengikhlaskan adalah kuncinya.
Selama ini aku memang hanya seorang dokter bagimu, tidak lebih. Hanya teman untuk mengingat semuanya, mengingat tentangnya.
Dari awal kamu masuk ke ruang kerjaku, dari situlah aku merasa ada yang harus disembuhkan dari kamu, bukan hanya ingatan tapi juga perasaan. Tapi, aku masih bersyukur dari dua rencanaku, satu berjalan dengan mulus. Harusnya aku tidak perlu pakai hati, harusnya!
Nadir, jika nanti ada kehidupan selanjutnya, aku tidak akan mengalah, lagi. Kamu harus bersiap-siap karena aku tidak akan terkalahkan. Dan aku juga tidak akan diam kalau nanti laki-laki itu mengecewakanmu.
Genta Sastragala
***
Mataku terasa berat tapi aku tetap berusaha untuk membukanya. Aku lupa apa yang terjadi kemarin yang terakhir kuingat hanya saat Genta menyuruhku untuk istirahat di kamar. Dan ini jelas adalah rumah Henry dan Marsha, keluarga sederhana yang menghabiskan waktu untuk mencintai bunga tulip.
Aku mengintip dari balik jendela. Bunga tulip memang sudah tidak banyak lagi, terlebih musim panas memang sedang panas-panasnya. Tapi, keluarga ini berhasil membuat pagiku menyenangkan. Mereka hanya punya satu anak yang sudah berkeluarga dan tinggal di Istanbul. Mereka membebaskan anaknya untuk memilih kepercayaan. Anak perempuannya beragama Islam karena menikah dengan muslim di Turki.
Walaupun mereka beragama katolik tapi tidak pernah sekali pun membahas tentang agama. Mereka juga mempunyai kepercayaan bahwa Tuhan itu satu, dan tidak menutup kemungkinan untuk beragama Islam, karena tidak ada satu agama pun yang menyuruh untuk melakukan kejahatan.
Tanpa kusadari ternyata mereka sedang melihatku dari kebun. Mereka tersenyum sangat gembira sambil mengayuhkan tangan memberi isyarat untuk mengajakku ke sana. Aku membalas dengan mengacungkan dua jempol dan segera ke luar kamar.
Sambil mempercepat langkah, aku bersenandung dengan riang. Musim panas memang menyenangkan. Hamper saja aku menabrak seseorang yang tidak lain dan tidak bukan itu adalah Genta. Aku memperhatikan wajahnya dan dia hanya menaikkan satu alis tanpa merasa bersalah.
"Jangan lari-lari, aku tidak siap kalau kepalamu terbentur dan melupakan kenangan lagi, karena yang akan hilang dari kepalamu pasti aku. Aku tidak siap akan itu." sambil terus berjalan melewatik, apa dia tidak sadar kalau kalimatnya bisa membuatku marah dan akupun masih membeku di depan pintu. Genta, aku semakin merasa bersalah, maafkan aku.
Memotret banyak hal di pagi ini. Tak terkecuali pasangan yang sedang tertawa di depanku. Mereka benar-benar bersyukur atas segala nikmat yang Tuhan berikan. Umur sudah sesenja ini tapi rasa sayang pada pasangannya semakin kuat.
"Marsha and I, have a lot of sameness. Nad, be wonder woman. We always support you."
Aku memeluk mereka berdua secara bersamaan. Aku menitikkan air mata saat kedua orang tua angkat ini mengelus dan menepuk pelan punggungku. Merasakan kehangatan yang mereka timbulkan. Meski dari dulu aku tidak banyak bicara dengan mereka dan hanya membicarakan hal-hal penting saja. Mereka sudah menjadi bagian dariku. Dulu, sekarang dan masa yang akan datang.
"Ik houden van jullie."
Aku membereskan kembali barang-barang bersiap untuk kembali ke Indonesia. Aku sudah menyelesaikan di sini. Mungkin aku akan kembali ke sini, entah untuk cerita baru atau melanjutkan cerita lama.
Terlihat pria paruh baya dan wanita yang sedang tersenyum ke arahku. Hari ini mereka terlihat sangat sehat, semakin dekat langkahku ke pintu, senyum mereka berangsur-angsur hilang apalagi Marsha, dia sudah membuang muka daritadi berharap aku tidak melihat wajahnya yang sedang menangis.
Aku memeluk mereka, lagi. Menandakan aku harus kembali, di sana tempatku. "Always healthy and don't be sad, okay?"
"Kami tidak akan bersedih. Kamu hati-hati." Mereka sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan sangat baik. Aku tidak akan pernah melupakan kalian, sampai kapan pun.
"Bedankt voor rentetuin en voedsel."
Setelah haru yang kuciptakan di rumah pasangan romantis itu dan sekarang aku sedang menikmati hamparan kebun bunga yang selalu kunantikan setiap tahun selama aku di sini.
"Ini mobil Alex. Jadi, tidak ada kuasaku untuk melaju dengan kecepatan tinggi."
Genta membuka percakapan dengan nada yang datar, aku tahu dia sedang berusaha untuk mengatur nada bicaranya. Tapi aku tidak boleh menanggapi dengan jawaban yang ketus, karena dia tidak menginginkan itu. Sambil tersenyum dan dia juga meliriku sekilas.
"Genta…"
"Jangan panggil aku dengan nada itu. Aku tidak akan luluh, lagi."
Padahal aku belum selesai bicara, hanya menyebut namanya saja dia sudah seperti singa. Dia memang mewanti-wanti untuk tidak menimbulkan perasaan. "Aku belum selesai bicara."
"Kalau kamu selesai bicara malah menghancurkanku. Lantas?" Aku terdiam dan tidak melepaskan pandangan dari wajahnya.
"Kamu, akan tetap tinggal di sini?" bodoh, pertanyaan konyol itu malah kukeluarkan padahal bukan itu yang ingin aku katakan tadi, tapi kenapa itu juga yang aku ucapkan.
"Tidak juga. Mungkin, aku akan pulang ke sana, tapi aku tidak akan memberitahumu jika aku di sana."
Aku diam, karena aku tahu. Siapa pun tidak akan mudah untuk menerima semua ini. Aku juga tidak pernah ingin memulainya tapi siapa sangka akan sejauh dan sepelik ini. Genta, kamu sudah melakukan hal yang benar, terserah jika orang mengatakan aku salah, tapi perasaan berhak untuk diperjuangkan dan berhentilah jika semua terasa sangat sulit.
"Michaela akan sekolah di sana. Sering-seringlah bertemu dengannya. Alex dan Jessy memilih Indonesia sebagai tempat mereka tua dan Michaela akan lebih dulu ke sana. Jaga dia." Aku mengangguk untuk menyetujui ucapan Genta. Walau aku tahu hal itu tidak akan bisa menebus segalanya, setidaknya ada hal yang bisa kulakukan untuknya.
Kami kembali diam dan sudah memasuki wilayah kota Amsterdam. Tidak ada yang memulai percakapan, Genta sangat fokus menyetir dan aku tidak ingin mengganggunya. Tadi dia bilang untuk tidak usah menjumpai keluarga kecil Alex karena mereka sedang sibuk untuk mempersiapkan perpindahan rumah baru. Biaya di Amsterdam memang tidak sedikit itulah mengapa mereka akan pindah atau tinggal di Maluku juga.
***
Bandara Schipol menjadi saksi bisu bagaimana aku mencari dan menemukan cinta. Sekarang, aku kembali berada di dalamnya dengan menggeret koper dan mengalungkan kamera. Genta masih di belakangku, dia akan pergi jika aku yang menyuruhnya pergi bukankah itu terlalu melankolis.
Aku langsung menoleh ke belakang dan memperhatikan dia. Dengan kemeja berwarna cokelat dan celana panjang beralaskan sepatu kets. Aku mendekatkan diri padanya dan menatap matanya mencoba mencairkan suasana.
"Genta, terima kasih sudah mencintaiku."
"Hal yang memungkinkan aku untuk pulang adalah, 1. Ibu atau Ayahku meninggal. 2. Memberi jeda di hidupku dan 3. Menghapus air matamu. Jadi, jangan pernah menangis karena aku bisa saja ke sana dan merebutmu tanpa peduli orang lain."
Genta, kamu berhasil menjadi seseorang yang punya cinta. Kita memang tidak saling memiliki tapi cinta bukanlah tentang dimiliki atau memiliki, tentang perjuangan dan keikhlasan. Terima kasih sudah mencintaiku.
"Nad, tidak bisakah kita tinggal di sini saja? Hanya kita berdua, kautidak perlu pulang ke sana. Aku akan memberimu lebih banyak kebahagiaan dari yang dia berikan!"
"Genta, apa cinta memang membuat semua orang menjadi murah?" Aku dan Genta masih dalam posisi saling berhadapan. Matanya memerah, dia terlihat gusar sambil menarik keras rambutnya. Melihat keadaanmu yang seperti ini, aku juga semakin berat untuk meninggalkanmu, Genta.
Tidak mudah untuk aku berdiri di sini, itu semua berkatmu, Genta. Kamu membantu segalanya walau itu membuatmu sedih. Aku tidak mencintaimu bukan berarti kamu harus pergi dari hidupku. Kalau nanti kamu datang dan beralasan karena tangisanku, aku berjanji akan mencintaimu dengan sepenuh hati.
"Yang tidak kauketahui adalah aku tidak akan mampu mencari perempuan lain. Memang sudah jelas kalau cinta tidak bisa dipaksakan. Ada hal-hal di dunia ini yang belum kita miliki tapi malah tidak bisa kita lupakan. Tepat sekali, Nadir, selama hidupku aku hanya mengenalmu. Tidak pernah ada perempuan lain. Jika Tuhan hadirkan seseorang yang mirip denganmu belum tentu aku menerima kehadirannya karena Nadir hanya satu.
Aku tahu seburuk apa pun keadaanmu nanti, itu tidak akan pernah buruk untukmu karena ada dia. Untukmu, seseorang yang menyembuhkan perasaan memang lebih berarti dari yang menyembuhkan ingatan. Ada atau tidaknya dirimu, aku harus tetap baik-baik saja."
Aku sudah berhasil meninggalkan Belanda. Jika seseorang jatuh cinta akan ada yang rusak, entah itu dirinya atau orang lain. Air mata tidak lagi mampu menunjukkan rasa kekesalanku, kenapa harus seperti ini. Apa harus patah agar dapat tumbuh, lagi?
Nadir, kaumemang pantas menerima semua ini, kautelah menghancurkan hati laki-laki yang mencintaimu dengan sangat ikhlas. Dia telah memberimu banyak pelajaran dan perasaan, sekarang tugasmu hanya tinggal memberi waktu untuk dirimu sendiri.
Air mataku meleleh mengikuti gumpalan awan yang terkadang mengguncang dengan frekuensi yang kecil. Laut sedang biru-birunya. Apa kabar Sultan dan negerinya? Apa mereka akan baik-baik saja? Aku memejamkan mata berharap bisa meluapkan rasa sakit ini. Apa yang sedang Genta rasakan adalah apa yang dulu aku rasakan. Perasaan tetap perasaan walau tanpa balasan.
Pendaratan berhasil dengan sangat mulus dan aku sudah ditunggu, Deka. Dia sedang tersenyum sambil menuliskan tanda pengenal 'Tuan putri untuk negeri kami' dengan tulisan itu aku kembali tersenyum dan berusaha untuk menghilangkan haru yang sedang meraja di hatiku.
Dia tersenyum mendapati aku yang sudah kehilangan tenaga. Aku tidak makan apa-apa yang disuguhkan di pesawat, apa aku masih sanggup untuk menelan makanan setelah menyakiti hati seseorang yang belum tentu dia sudah makan sekarang ini.
Deka, kamu jangan mengecewakanku, karena aku telah memilihmu.
Dia mengambil alih koper dan mengecup keningku. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya karena bukan hal mudah untuk biasa-biasa saja ketika seseorang yang kita cinta sedang bersama orang lain di masa lalunya.
Semua tokoh yang sedang bermain di dalam lingkaran ini pernah merasakan itu. Menjadi bayang-bayang dari masa lalu seseorang. Aku, Deka dan Genta serta laki-laki itu, Qafka.
"Tangan kamu dingin, kita langsung pulang, ya?" aku hanya mengangguk sambil tersenyum simpul, kepalaku juga merasakan pusing yang sangat hebat. Tubuhku merosot tapi Deka mampu menahannya, entah apa yang terjadi selanjutnya, hitam dan gelap.