Chereads / NADIR / Chapter 16 - 16

Chapter 16 - 16

Aku sudah memasuki di halaman depan rumah, dan ada sebuah mobil yang terparkir di sana dan mobilnya terlihat asing. Kulewati mobil itu dan terus saja berjalan sambil merasa bingung, tumben sekali ibu menerima tamu saat sendirian.

"Assalamualaikum,"

"Walaikumsalam." Jawab mereka serentak. Aku hanya tersenyum hambar karena ibu juga tidak berada di antara mereka. Detik berikutnya ibu muncul dari dapur dan membawa teh juga cemilan.

Melewati mereka sambil membungkukkan badan. Malas rasanya untuk ikut duduk bersama mereka apalagi itu tamu ibu bukan tamuku. Tubuh ini terasa begitu lelah, bukan hanya tubuhku tapi juga hati. Ibu sudah menarik lengan dan matanya menyiratkan untuk aku ikut duduk di sana.

"Nadir, kamu makin cantik, ya." Aku hanya melihat wanita itu sekilas. Tampaknya dia mengenalku sejak lama dan hanya kubalas dengan anggukan.

"Dijawab dong, Nad," bisik ibu di telingaku, sedetik kemudian aku tersadar "Ah, iya. Terima kasih, Tante."

Terdengar sangat jelas nada bicaraku yang tidak bersahabat. Entah apa yang akan mereka bicarakan, aku tak berniat menyimaknya.

"Nad, ini adalah ayah dan ibunya, Deka!" seketika aku melihat wajah ibu dan mencari kebohongan di matanya tapi tidak kutemukan. Tampaknya, seorang pria paruh baya dan istrinya ini memang benar orang tua dari laki-laki itu.

Tapi, aku bingung harus merespon bagaimana atas semua kejadian ini. Untuk apa mereka ke sini, sementara anaknya sudah berhasil membuatku menderita?

Ibu masih menjamu mereka. Aku meminta izin untuk masuk ke kamar dan membersihkan diri. Dengan tanda tanya besar, apakah orang tua laki-laki itu ke sini untuk bersilaturahmi? Lalu, kenapa hanya mereka yang datang. Karena anaknyalah yang harus menemuiku juga mengatakan kebenaran. Sebab tubuhku lelah mencari jawaban, sampai mati pun jawaban itu hanya ada padamu. Maka kita hanya perlu bertemu bukan yang lain. Aku tidak ingin kaukirimi tanda lagi, sudah cukup.

Sambil menyisir rambut, aku tersadar ketika ibu mengelus lembut rambut dan tersenyum penuh makna. Terlihat dari pantulan kaca hias di depanku.

"Nad, ibu tahu, kamu menginginkan Deka juga hadir di antara mereka, bukan?"

"Iya, bu." Aku hanya menjawab dengan nada yang lirih bahkan hampir tak terdengar.

"Nad, orang tuanya ke sini juga untuk pamit. Mereka tidak akan tinggal di sini, lagi. Sudah pasti Deka juga akan pergi."

"Bu, kenapa semua manusia di muka bumi ini suka sekali pergi. Menghilang dan tidak pernah memikirkan perasaan orang lain yang sudah terbiasa dengan kehadiran mereka? Nadir, lelah, bu. Semua orang datang dan meminta penerimaan kemudian pamit dengan mudahnya,"

"Nad, itulah yang membedakan antara hubungan ibu dan orang tuanya dan hubungan kamu dengan anak mereka. Ada sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, Deka belum bisa menghampirimu karena dia juga tak mampu melupakanmu, Nad. Dia takut jika pada akhirnya dia akan semakin menyakitimu."

"Dengan sikapnya yang seperti ini juga membuat aku sakit, kami berdua sama-sama kesakitan itu sebabnya butuh penjelasan. Aku akan terima semua yang dia sampaikan, entah itu kabar duka maupun suka, ya sejak awal hubungan kami memang hanya menunda kabar duka bukan?"

Semakin hari malah semakin menyesakkan. Entah harus bagaimana lagi usaha untuk bisa menyelesaikan semua. Setiap hari aku mencari tentangmu tapi nihil. Dan sekarang kamu tidak juga berani untuk pamit. Apa aku saja yang pergi dan meninggalkan semua tentangmu?

Setelah aku berusaha keras memulihkan ingatan dan berharap kaudatang walau hanya mengucapkan selamat tinggal.

***

"Nad, kamu siram tanaman yang di depan, ya!"

Ibu berhasil membuyarkan lamunan pagi yang masih saja berisi tentang dia. Aku hanya tersenyum dan menuju ke halaman rumah untuk menyelesaikan tugas yang ibu beri. Sudah tiga hari aku tidak menghubungi Genta, dia juga sama. Tak ada pesan beruntun atau panggilan masuk. Aku berpikir mungkin dia sibuk dan belum bisa diganggu.

Sambil terus menyiram bunga, aku teringat pada saat Deka membantu ayah menanam bunga di halaman ini, mengingat semua usaha yang dia kerahkan untuk membuatku melupakan yang sebelum dia. ternyata semuanya sia-sia. Ia memintaku untuk melepaskannya karena dia tahu hatiku masih milik Qafka, munafik, dia sengaja menjadikan aku kambing hitam untuk kepergiaannya. Jika ia tak punya alasan masuk akal untuk berpisah denganku kenapa memilih berpisah?

Bunga yang kautanam semakin tumbuh subur, tidak sama sepertiku. Perasaan ini malah semakin hari, semakin kuat niatku untuk mengubur. Dengan kedatangan orang tuamu yang juga akan pamit, itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasanku pergi, juga. Di antara rasa kesal dan kecewa, kucari satu nama di gawaiku, Genta. Tak berselang lama ia menjawab,

"Halo, Nad?"

"Kamu cepat pulang!" entah apa yang sedang aku pikirkan, tiba-tiba saja kalimat itu meluncur bebas. Seseorang di seberang sana terdiam dan tidak merespon apa pun. Aku menunggu jawaban dia, apa dia berpikir bahwa ucapanku tadi adalah mimpi?

"Genta, cepat pulang. Aku rindu."

Yang baru saja kusampaikan tentu saja bukan lagi mimpi untuknya. Aku juga bingung apakah rindu itu benar-benar ada atau hanya karena aku merasa sunyi? Kenapa dia tidak juga merespon, apa sambungan ini sudah terputus? Tapi kulihat namanya masih di sana.

"Genta?" sahutku sekali lagi berharap dia menjawab.

"Nad, kamu belum menemuinya. Itukan alasan kamu melampiaskan padaku, rindumu bukan untukku!" kalimat sarkas itu kudengar dari seberang sana, apa seperti ini rasa membohongi diri sendiri? Dari mana dia tahu bahwa kalimatku tidak jujur, apa semuanya terlihat sangat jelas sedangkan dia tidak menatap mataku.

"Kamu tahu betul untuk siapa perasaanmu itu. Temui dia!" terdengar bunyi 'beeb' pertanda seseorang telah mengakhiri secara sepihak sambungan telepon ini. Selang air yang tadi kupegang dengan erat kini malah menumpahkan airnya ke sembarang tempat. Sementara aku hanya berdiri kaku menyaksikan kejadian demi kejadian akibat dari kebodohanku.

Aku tidak menemukan cara lagi untuk menemui dia, sudah kucari ke tempat yang paling besar kemungkinan dia di sana, harus ke mana lagi kucari semua jawaban dari tanda tanya besar ini?

Ibu bilang orang tuanya hanya mengatakan bahwa Deka sedang tidak di sini. Bahkan orang tuanya saja tidak mau memberitahukan keberadaan anaknya, bagaimana bisa mereka hidup dengan semua hal yang disembunyikan, tidak masuk akal.

Dengan alasan apa pun, aku tidak menerimanya. Apa memberi alasan sesulit itu? Ada perpisahan yang tidak butuh alasan tapi ada juga yang membutuhkan. Alasan bisa jadi sangat penting untuk pihak lain karena dengan itu dia bisa melanjutkan hidupnya tanpa tanda tanya dan rasa bersalah.

Duduk sendirian di atas gundukan tanah yang dulu sering kudatangi denganya. Sore ini, aku sendirian tanpa ada dia, lagi. Entah apa yang sedang meraja di dada ini spontan air mata menetes tanpa aba-aba. Aku menunduk dengan air mata yang belum juga bisa kuhentikan. Tapi sesaat aku sadar ada tubuh yang menghalangi sinar matahari, kupikir itu adalah bayang dari batang pohon yang diterpa angin, tapi tidak. Bentuknya persis seperti manusia yang sedang berjongkok menghadap ke arahku.

Kuangkat kepalaku kemudian bola mata ini menangkap sosok yang tidak asing, yang selama ini kucari, ah, tapi ini mungkin efek dari pikiranku yang masih saja diisi olehnya dan juga air mata yang belum kuhempas.

Aku kembali menunduk, sedetik kemudian tangannya menahan daguku dan menghapus sisa air mata yang masih menempel di pipi. Tidak mungkin itu dia, tapi jika semua ini bayangan bagaimana mungkin dia dapat menyentuhku?

"Nad, bagaimana bisa prajurit meninggalkan tuan putri yang sedang bersedih."

Aku tidak merespon apa pun dan masih terdiam memikirkan, apakah semua ini nyata atau hanya imajinasi yang kubuat karena teramat merindukannya tapi kenapa wujudnya begitu terasa?

"Maaf. Telah meninggalkan tanda tanya besar dan merusak hidupmu yang sudah baik ini."

Benar, ini dia, seseorang yang telah membuatku hancur dan pergi begitu saja. Dia menghancurkan memoriku, bahkan hidupku, juga. Karenanya, aku kehilangan kesempatan untuk melanjutkan sekolah dan karena dia juga aku mendapatkan perjalanan cinta yang panjang dan rumit. Ternyata seperti ini rasanya, aku tidak membencinya sama sekali. Harusnya aku marah tapi raga ini malah kebalikannya. Menerima kembali kedatangan laki-laki yang bernama, Deka.

Tanpa berpikir lagi, aku memeluknya dengan sangat erat seolah-olah memberi peringatan untuknya, jangan pernah pergi lagi. Jika ini mimpi, aku berharap untuk tidak pernah bangun, lagi. Biar saja aku tenggelam dalam dekapnya sampai waktu yang lama.

Aku ingin membagikan semua rasa sakit, ingin kaujuga merasakan apa yang kurasa. Ingin kuberitahukan pada seluruh jagat raya bahwa penantianku dan rasa sesak ini akhirnya berujung temu, walau aku masih tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, setelah kejadian ini.

***

Setelah rasa haru yang juga disaksikan oleh senja, tadi. Aku dan Deka hanya menatap langit malam yang dihiasi bulan dan para bintangnya. Belum ada yang mampu mengungkapkan kata-kata. Aku dan Deka masih terdiam bisu dengan tangan yang bertautan. Memandang langit juga menghirup udara yang sama, kita satu frekuensi. Ka.

Deka tengah memandangku, dengan tatapan yang tidak berubah. Dia berhasil menghipnotis dan masuk ke pikiranku. Dengan mata yang masih sama seperti pertama kali ia menyapa di taman sekolah. Tidak ada yang berbeda dari dirinya, masih dengan tubuh kurus bahkan terlihat lebih kurus, apa dia tidak makan keju, lagi?

Dia hanya tersenyum tanpa berpaling dariku, aku juga membalas senyumnya. Jika nanti aku kembali hilang ingatan, aku meminta pada Tuhan untuk tidak menghapus bagian ini. Semua orang tahu betul bahwa rindu yang menggebu dan akhirnya berujung temu, semua akan sama, tidak mampu berkata-kata.

"Nad, maaf." Kata yang tidak ingin kudengar dan sebisa mungkin untuk kuhindari itu akhirnya meluncur bebas dari mulutnya. Kata "Maaf" bukanlah kata yang baik karena itu dikeluarkan jika seseorang berbuat kesalahan. Aku tidak ingin dia merasa bersalah karena orang yang bersalah akan merasa asing bahkan dengan dirinya sendiri. Tidak akan kuberi jeda untuk dia pergi, lagi!

"Aku pergi bukan untuk bersenang-senang. Tapi, untuk menyenangkanmu di kemudian hari. Nad, aku memilih Australia untuk melanjutkan studi." Jelasnya sambil menatap mataku dan mengeratkan genggaman. Matanya menunjukkan dia juga tidak suka dengan situasi ini. Cinta melemahkan yang harusnya kuat.

"Lalu, untuk apa kamu pergi seolah-olah untuk waktu yang lama yang kemungkinan untuk kembali adalah tidak mungkin? Kamu menyalah perasaanku yang tak bisa berpaling dari masa lalu padahal semua masalah dari hubungan kita bisa dibicarakan baik-baik. Kamu tahu aku menderita begitu banyak? Kamu tak pernah berniat merawat lukaku, Deka!" aku hanya bisa marah, menuangkan semua hal buruk yang kupeluk sendirian.

"Nad, aku tidak mau kamu menjadi seseorang yang hanya melihatku. Dunia begitu luas dan aku melepasmu untuk itu. Aku tak ingin kamu fokus hanya untukku yang akan membuatmu terkekang!"

"Deka, alasanmu memuakkan. Kamu pikir dengan itu kita bisa berpisah? Kita bisa menerima orang baru? Tidak. Lihat apa yang terjadi padaku. Kamu hancurkan semuanya. Bahkan setelah kamu pergi dan hilang, itulah yang membuatku merasa terkekang. Apa harus dengan perpisahan untuk mencapai sebuah harapan?" aku menatap nanar wajah Deka yang juga memerah, entah amarah apa yang sedang ditahannya.

"Nad, aku tidak pernah benar-benar meninggalkanmu, kita memang tidak mampu bertahan dengan jarak yang begitu jauh."

"Alasan kamu tidak pernah masuk akal, aku semakin yakin bahwa pertemuan kita hanya sebagai persimpangan bukan tujuan." Aku langsung memotong ucapannya dan menangis lagi entah untuk keberapa kalinya. Dengan mata yang sudah lelah ingin sekali tidur dan berharap besok pagi adalah hari untuk kami berdua berhenti membahas masa lalu.

"Aku pergi juga dengan rasa bersalah yang besar, Nad. Bukan, bukan rasa bersalah tapi rasa tidak rela yang besar. Aku berpikir bahwa kamu tidak akan pernah memahami perasaanku yang mungkin terlihat sangat tidak meyakinkan. Itulah, kucoba untuk pergi saja dan membiarkanmu tak lagi bersinggungan dengan kehidupanku."

"Dan, setelah semua teorimu kaulaksanakan, apa menurutmu berhasil untukku?"

"Aku tidak tahu kenapa semuanya jadi sangat sulit. Aku memberimu ruang untuk terus berinteraksi dengan Sultan dan teman-temannya tapi itu salah. Hal itu malah membuatmu menerima batu besar yang menghalangi mimpimu untuk jadi dokter dan aku minta maaf untuk itu. Setiap hari aku mengutuk diri karena ketololanku."

Deka mengatakan hal itu dengan suara yang penuh rasa bersalah dan terus saja menunduk, sesaat kuperhatikan ternyata dia juga menyeka air matanya. Aku tahu perasaannya, menghancurkan mimpi orang tersayang kita bukanlah hal yang mudah untuk diterima.

"Deka, aku tidak peduli dengan mimpiku yang sudah hilang, yang sekarang aku pikirkan hanya dirimu, bagaimana caranya agar kamu tetap di sini. Bodoh sekali memang."

Mendengar ucapanku dengan sigap Deka kembali memeluk dan kami menumpahkan rasa bersalah satu sama lain untuk saling mendekap. Aku tidak ingin kembali ke masa itu, Deka, yang aku mau hanya dijaga olehmu dan bahagia bersamamu.