Chereads / NADIR / Chapter 4 - 4

Chapter 4 - 4

Kami sudah turun dari bus dan berdiri di sebuah jalan yang hampir sama seperti gang rumahku. Deka bilang jaraknya hampir 54 km dari rumah kami. Dan harus berjalan lagi sekitar 15 menit untuk menuju ke tempat itu. Tempat yang membuat aku semakin membesarkan tanda tanya untuknya. Kampung ini terlihat seperti perkampungan pinggir pantai dengan bau amis dan asin air laut yang masuk perlahan ke indra penciumanku. Deka tak banyak menjelaskan tentang wilayah ini, begitupun aku yang lebih senang mengamati ketimbang bertanya padanya.

Meskipun telah lama aku tinggal di Yogya, tak banyak tempat yang aku tahu. Waktuku habis hanya untuk belajar, kalaupun Ibu mengajak jalan-jalan yang kami datangi tetap tempat yang ramai dan terkenal. Sedangkan tempat yang baru saja dikenalkan Deka padaku ini terlihat seperti desa kecil yang belum terjamah banyak wisatawan.

Deka sangat akrab dengan tempat ini sebab dari tadi senyumnya tak luntur dan berjalan sambil bercakap ke penduduk yang berlalu-lalang. Masih banyak pohon yang tumbuh dengan baik di sini. Sesekali aku melihat ke arah Deka yang masih saja melekukkan bibirnya membentuk bulan sabit. Dengan senyum itu, dia terlihat lebih ramah.

Aku di bawa Deka ke sebuah tempat yang indah sekali, beberapa pohon tinggi, ilalang dan rumput tumbuh hijau di sini, tak jauh dari sini aku bisa mendengar deru ombak yang lembut.

"Kak Dekaaa,"

Suara dari beberapa anak kecil yang memanggil namanya. Mereka terlihat begitu begitu akrab. Deka dan beberapa anak tadi membawaku ke sebuah gubuk yang langsung menghadap ke pantai dengan batas rumput ilalang setinggi dengkul orang dewasa. Di gubuk ini terdapat papan tulis dengan banyak buku di sudutnya, serta gantungan origami bermacam bentuk dan warna. Ternyata dia benar, tempat ini cukup menyenangkan.

Ada yang lebih menarik perhatianku. Sebuah pohon besar yang di atasnya terdapat rumah pohon. Aku ingin sekali punya tempat bermain seperti ini tapi tidak pernah terwujud, itulah kenapa aku meminta pada ayah untuk membuat kamarku memiliki balkon, agar aku bisa melihat keindahan dari ketinggian.

Aku menaiki tangga kayu satu persatu, di dalam rumah pohon bergantung cangkang kerang dijalin serta disatukan sedemikian lucu. Bergantung figura Sultan bersama teman-temannya. Ikhlas. Itulah yang dapat kulihat dari senyum mereka. Deka membiarkan aku mengeksplor lebih banyak tempat ini, dibiarkannya aku berjalan menyusuri pantai sendirian. Sungguh ini kali pertama aku merasa begitu damai setelah kehilangan Qafka. Setelah puas memeriksa isi rumah pohon dan berkeliling aku kembali ke gubuk tempat Deka berkumpul bersama anak-anak desa ini, tawa mereka begitu menyegarkan telinga bersatu dengan debur ombak yang damai. Aku sudah duduk di samping Deka dengan senyum yang tak kalah tulus.

"Hari ini kakak bawa pacar!" sontak kucubit pinggang Deka, kemudian anak-anak itu juga tertawa melihat kelakuan kami, "Aww, sakit. Maksud kakak teman yang akan jadi pacar, namanya kak Nadir."

Aku tersenyum memandang mereka "Hai, nama aku Nadir,"

"Hai kak Nadir," ucap mereka serentak.

Kembali kupandangi Deka yang terlihat sangat dekat dengan mereka, ia terlihat berbeda dari sosoknya yang kukenal selama ini, hari ini sisi lain dirinya telah muncul dengan begitu gemilang. Deru ombak dan angin pantai ini membuatku perasaanku lebih tenang. Mereka bersemangat mendengar cerita yang Deka bacakan.

"Namaku Sultan kak." Aku tersenyum menyambut uluran tangan bocah laki-laki di hadapanku ini. "Aku kapten mereka. Dan kak Deka selalu mengamanahkan mereka padaku."

"Wah kamu hebat, berarti kakak panggil kamu kapten Sultan, iya?" aku menaruh dua jempol kepadanya karena semangat yang ia tunjukkan.

"Iya kak. Kak Deka bilang sekarang Sultan dapat tugas baru, bukan hanya menjaga teman-teman tapi juga menjaga kak Nadir," senyum merekah pada bibirku mendengar penjelasan dari anak yang terlihat seperti berumur 10 tahun ini.

"Beruntung sekali kalau aku bisa dijaga oleh kapten Sultan yang gagah ini." ungkapku sambil menepuk pelan pundaknya, dia juga tersenyum hangat. Hari ini Deka berhasil membuatkan dunia baru untukku, dunia yang lebih aman dan damai, jauh dari rasa sesak dan tertekan.

Hari semakin sore dan anak-anak juga sudah pulang. Sambil menyalami tanganku Sultan mengatakan hal yang membuat tubuhku membeku "Kak Nad, Sultan akan terus menjaga kakak karena ini amanah dari kak Deka, katanya kak Nad jangan pernah menangis apalagi tidak bersyukur. Dan kakak tidak boleh kurus."

Aku memang harus lebih banyak menikmati hidup dan berhenti memikirkan hal yang bukan milikku. Aku tak boleh menyalahkan Qafka atas semua ini dan benar kata Deka, ini bukan salahnya karena semua orang berhak memutuskan hal apa yang membahagiakan untuk diri sendiri. Tapi, bagaimana jika untukku, mencintai Qafka adalah kebahagiaan?

Aku tersadar dengan tarikan dari tangan Deka yang mengajak semakin dekat dengan bibir pantai "Daripada kamu sibuk memikirkan hal yang tidak penting harusnya kamu nikmati saja pemandangan gratis ini. Kamu kuajak sejauh ini untuk membuang kesedihan, lemparkan perasaan sakit dan patah itu ke laut sana biar dia dimakan ikan-disengat ubur-ubur dan menjadi karang." Untuk kali pertama aku melepaskan senyum untuk Deka dan senja sedang menyapa wajahku, semburat merah saga hampir berpulang ke peraduannya.

Selama ini aku hanya berkutat dengan buku dan perasaan sedih tak berkesudahan. Tuhan sudah beri segala keindahan yang bisa kunikmati secara gratis tapi malah kusia-siakan.

"Nad, sekarang kamu tahu tempat yang paling kusukai. Kamu perempuan pertama yang aku ajak ke sini,"

"Kenapa aku?"

"Karena dari awal aku ketemu kamu, aku sudah tahu kamulah yang kucari. Ada banyak perempuan yang hilir mudik ke hidupku tapi hanya kamu yang saat pertama kujumpa rasanya ingin sekali menjagamu, entah kenapa. Aku mencintaimu." Dengan mudahnya dia mengatakan hal yang tidak masuk akal. Karena ia tak akan mudah berjalan denganku yang masih memikul jutaan rasa cinta pada Qafka. Tapi kalimatnya tadi membuatku tertegun, dia ingin menjagaku untuk tetap betahan bukan membutuhkanku untuk bertahan.

"Deka, kumohon berhenti membuat bingung, karena aku tak akan bisa memulai dengan orang lain."

"Aku tahu, aku tidak akan memaksa. Kalau caraku menjagamu membuat risih, aku sudah tiitpkan amanah pada Sultan untuk bergantian, karena aku tahu kamu pasti menolak setiap hal yang berkaitan denganku tapi tidak jika Sultan yang melakukannya."

"Bisa kita pulang sekarang, aku lelah."

Tanpa meminta persetujuan dari Deka aku terus saja berjalan dengan cepat untuk membuat jarak. Aku memilih untuk menaiki ojek dan meninggalkan Deka sendirian, harusnya dia sadar, sedari awal aku memang menolak kehadirannya karena itu semua akan sia-sia, hatiku terlalu dini untuk berubah.

Tidak mudah untuk mengakhiri perasaan yang sudah sedalam ini dan kenapa semesta seolah-olah mengerti apa yang sedang kurasakan, mereka sedang memberiku lelucon yang tidak lucu sama sekali.

***

"Nad, dari mana saja nak? Qafka udah nungguin dari tadi loh,"

Aku melihat sekeliling, ternyata kaki ini berhasil pulang ke rumah dengan selamat. Selama di perjalanan tadi aku hanya melamun dengan wajah bingung dan detak jantung tak beratur. Aku telah menolak laki-laki dan mengharapkan laki-laki lain.

Di halaman depan rumah terlihat ada sepeda motor Qafka, kenapa dia ke sini di situasi yang aku tidak tahu lagi apa namanya, hatiku hancur, lebam atau sedikit bersinar?

"Nad, kamu dari mana? Kamu kok jarang datang kalau aku bertanding atau latihan." Qafka, kembali dengan pertanyaan yang menguntungkan dirinya sendiri, ia tak pernah sedikit pun bertanya perihal aku—selalu saja memikirkan dirinya sendiri. Sementara itu sudah jelas aku tak mau melakukan hal bodoh itu lagi apalagi kehadiranku bukan hal yang kau harapkan.

"Nadir lelah sekali bu, Nad masuk ke kamar saja ya. Dan Qafka, kamu pulang saja."

Aku berjalan ke kamar tanpa peduli yang ibu dan ayah katakan, malam ini aku sedang ingin pergi ke luar angkasa menemui bintang dan mengatakan jadikan aku anaknya saja sebab dunia terlalu berbahaya. Tuhan, jika masih kauberi aku waktu untuk hidup besok pagi, jangan beri aku perasaan ini lagi ya.

Aku mencium aroma bolu kukus yang bersumber dari wilayah tempur ibu, saat ayah pulang ibu akan menyulap rumah menjadi istana yang membuat segala jenis makanan.

"Wah enak nih," ucapku sambil mengambil satu potong dan mengunyahnya dengan semangat.

"Iya dong. Kamu juga harus belajar buat kue, Ndok." Aku hanya meringis mendengar pernyataan ibu, pasalnya aku jarang sekali masuk ke dapur kacuali saat ibu meminta bantuan sekadar memotong sayuran. Berdiam diri di kamar dengan buku dan music lebih menarik minatku ketimbang di dapur dan bersentuhan dengan minyak.

"Nad, kenapa kamu cuek banget sih sama Qafka, dia udah nungguin kamu dari sore, katanya ada yang mau dia bicarakan sama kamu." Seru ibu sambil terus melanjutkan pekerjaannya. Ini masih terlalu pagi untuk berbicara soal Qafka, aku sudah sedemikian rupa mengatur perasaanku.

"Bu, Qafka punya pacar dan Nadir harus jaga jarak. Takut nanti pacarnya cemburu kalau Nad terlalu dekat sama dia." jawabku dengan senyum yang sangat terpaksa.

"Kalian sudah berteman dari kecil, mengingat dia yang selalu ibu mintai tolong buat jaga kamu. Meskipun dia punya pacar tapi kalian tetap bisa berteman baik."

kalau aku boleh jujur, aku juga ingin melakukan itu, tapi tidak mungkin. Biar saja jarak mematahkan semuanya. "Bu ayah mana?" tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.

"Di depan, bersihin kebun. Kamu tahulah Nad, Ayah lebih kangen kebun ketimbang Ibu."

Aku tersenyum mendengar penjelasan tentang ayah, ayah yang tidak pernah berubah. Segera kususul Ayah menuju halaman depan untuk menemuinya dan memberitahukan keinginanku. Dengan senyum yang belum hilang, aku dikejutkan oleh pemandangan asing tapi dilakukan oleh manusia yang paling sering bersamaku akhir-akhir ini. Kenapa laki-laki itu sudah ada di rumahku? Ini masih terlalu pagi untuknya bertamu ke rumah orang, bukan?

"Hai, Nad." Sapanya dengan tangan yang sudah belepotan dengan tanah gembur, aku hanya diam membeku di depan pintu melihat ia bercakap-cakap dengan Ayah. Apa mungkin dia melamar pekerjaan untuk menjadi tukang kebun di rumahku? Atau dia pengganti pak Karyo satpam kompleks yang sering bercengkrama dengan ayah?

"Nad, kamu kenapa di depan pintu begitu? Melongo pula."

"Ehh, iya yah. Sebentar ya." sontak kutarik tangan Deka yang kotor karena tanah dan membawanya menjauh sebentar dari ayah. Ayah melihat kami dengan tatapan aneh tapi tetap melanjutkan kegiatannya.

"Kamu kenapa ke sini? ini masih pagi,"

"Memangnya di depan rumahmu ada tulisan tidak boleh berkunjung saat pagi hari? Tidak kan? Wong, ayahmu saja menerima kehadiranku dengan baik!" segampang itu dia menjawab tanpa memikirkan efek yang akan ditimbulkan dari kecerobohan tingkah lakunya. Ayah dan ibu akan meminta penjelasan atas kejadian pagi ini. Aku yakin itu.

Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan laki-laki setengah gila ini. Ada saja hal tak terduga yang selalu dia lakukan, terlepas dari segala hal itu. Bukankah kemarin aku sudah memberi penolakan sangat keras kepada dia dan perasaannya?

"Yah, Nad, sarapan sudah siap nih, Deka juga makan di sini aja ya," di seberang sana ibu sedang meneriaki kami dan membuat aku dan Deka tersadar untuk ikut masuk ke dalam. Deka dengan wajahnya masih saja tersenyum jahil karena berhasil membuatku marah sepagi ini.

Belum ada yang berkomentar lebih lanjut, kami sedang dalam pikiran masing-masing dan mengunyah perlahan. Apalagi aku yang sengaja banyak diam dan mengurungkan niat untuk berbicara dengan Ayah perihal keinginanku kuliah di Belanda, nanti saja aku meminta izin Ayah Ibu kalau laki-laki aneh ini sudah pulang, atau mungkin dia tidak akan pulang? Ahhh…

Deka bisa dengan mudah untuk dekat dengan keluargaku, dia menceritakan banyak hal begitu dekat dengan ayah yang sebenarnya juga bukan orang yang ramah tapi Deka mampu mencairkan suasana pagi.

"Deka kalau di rumah tidak ada makanan kamu bisa ke sini ya, ibu selalu masak kok,"

"Siap bu bos, berarti setiap hari boleh ke sini kan?"

"Engga! Enak aja, masakan ibu mahal. Beli di luar sana, kamu kan punya banyak uang! Lagian kamu kok bisa manggil ibu aku dengan sebutan ibu juga?" aku dengan cepat menyambar apa yang ia bicarakan bersama ibu.