"Gedung, edificce, geebod, eh geebouw. Ah susah sekali sih, padahal hanya satu kata!"
"Nad, kamu boleh belajar tapi jangan terlalu keras. Dokter bilang kamu boleh mempelajari banyak hal tapi tidak untuk menyiksa dirimu sendiri, Nad, jangan mukul kepala ya," sahut ibu sambil mengambil air mineral.
"Bu, ibu bilang dulu aku pintar, kan? Masa tidak ada satu pun yang masih kuingat? Bagaimana bisa aku melanjutkan kuliah kalau pelajaran anak sekolah dasar saja aku masih tak mampu."
"Nad, kamu juga harus bahagia ya, jangan memaksakan diri. Ibu akan bantu apa pun supaya anak ibu sembuh."
Aku merasa menjadi manusia paling bodoh di dunia ini. Tidak ada yang mampu kulakukan kecuali menangisi keadaan. Akankah semua ini selesai sebelum waktunya atau mungkin sampai akhir nanti aku akan tetap seperti ini? Lalu, harus dengan apa aku bahagia dan memberi kebahagiaan?
Setelah menangis aku memutuskan untuk istirahat dan menghidupkan ayat suci alquran dari ponselku. Ibu bilang aku akan mudah mengingat segalanya kalau di mulai dari hal ini dan untuk mencari ketenangan memang inilah cara paling ampuh.
"Nad,aku akan selalu untukmu bahkan tanpa kamu minta. Aku tidak pernah hilang dan tidak akan. Kamu berhasil menyulap segala kelabuku menjadi sinar terang yang melebihi rembulan. Nad, jangan lupakan aku dan segala kesenjaan yang sudah kita rawat. Nad, aku…"
"Allah…" untuk pertama kalinya aku memimpikan laki-laki yang tidak kukenal tapi tidak asing bagiku. Aku merasa seperti tidak ada jarak antara kami berdua dan merasakan sesak di dada bahkan tanpa kusadari air mata meleleh dengan derasnya seolah-olah tubuhku mengetahui segala kepahitan ini.
Kalimat itu terdengar seperti kesakitan yang tidak bisa kusembuhkan, suaranya, bahkan aku merasa tidak asing dengan kata yang dia ucapkan. Tapi, siapa dia? Kenapa wajahnya tidak terlihat? Mungkinkah…
Tok..tok..
"Nad, sudah bangun?" ibu langsung mengambil tempat duduk di pinggir ranjangku "Nad, kamu kenapa? Kenapa nangis?" aku langsung menyeka air matayang mengucur tanpa aba-aba "Kamu juga keringatan, ada yang sakit Nad?"
Aku menoleh ke arah ibu dan langsung memeluknya. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk menjelaskan pada ibu tentang mimpiku itu. Sakit sekali.
"Bu, Nad, takut. Takut sekali." Ibu masih terus memeluk dan menepuk pundakku dengan pelan. Dia sangat mengetahui apa yang aku rasakan. bagaimana bisa aku membuat kenangan baru ketika kenangan lama masih menyisakan tanda tanya besar untuk hidupku.
"Ibu tahu. Jangan takut ya, ibu akan selalu ada untuk kamu. Segala bentuk cerita kamu yang membahagiakan atau bahkan yang sangat menyedihkan." Ibu mengelus puncak kepalaku kemudian mengakhiri dengan mengecup keningku. Dia tahu betul cara untuk menenangkan anaknya. Sungguh, tak akan sanggup aku mengecewakanmu, bu.
"Ah, iya. Supaya mimpi buruknya hilang, Nad mau jalan-jalan?"
"Mau, bu." Ucapku semangat.
"Kamu siap-siap ya. Ibu tunggu di bawah."
Dengan semangat aku masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri. Berharap bahwa segala keburukan juga lepas dari tubuhku. Jangan ada yang menempel lagi, satu pun.
Aku memilih menggunakan kulot hitam dengan baju kaos berbelang hitam putih dan rambut yang kubiarkan terurai. Dengan segala kesederhanaan ini, aku masih berharap bisa menemukanmu meskipun aku tidak yakin bagaimana cara mengenalimu kecuali detak jantungku yang masih sama.
Kuturuni anak tangga sambil sedikit bersenandung karena pada akhirnya ibu mengajakku keluar setelah merengek berkali-kali. Namun, siapa sangka? Dokter yang sangat tidak aku harapkan itu malah sedang duduk di kursi dengan senyum simpulnya dan sudah bisa kupastikan bahwa dialah yang akan menemaniku kali ini.
"Sama nak Genta perginya ya Nad, ibu mau istirahat. Kalau sama Genta kan lebih baik, jadi kalau kenapa-kenapa langsung ada yang sigap untuk nolong. Iyakan, nak Genta?"
"Ahh, iya bu."
Mataku terbuka lebar sebab ucapan Ibu barusan. Jika aku menolak tapi kesempatan tak akan datang dua kali, meski berat hati aku tetap harus pergi. "Aku lebih suka naik kenderaan umum ketimbang membawa kenderaan pribadi."
"Aku tahu. Dokter sepertimu pasti sudah mempertimbangkan banyak hal untuk kelangsungan hidup di masa depan."
Percakapan pembuka yang sangat emosional. Aku dengan sifat sok tahu malah mendahuluinya padahal aku juga tidak punya ilmu apapun yang tersisa, bahkan aku tetap arogan saat hilang ingatan.
Kami terus menyusuri jalanan kota Amsterdam. Berada di Dam Square sambil menyesap es krim hal sederhana di tempat baru terasa menyegarkan. Tak ada lelah sedikit pun karena Genta yang terus saja menceritakan bagaimana dia bisa memilih Amsterdam menjadi tempatnya untuk melanjutkan studi, bagaimana dia mencoba memahami budaya dan sifat orang-orang Belanda. Ternyata, Genta bukanlah orang yang mudah bergaul dan dia sempat merasakan home sick pada awal-awal kepindahannya.
"Hampir satu bulan aku nangis, saking rindu rumah. Wajahku memang laki banget tapi bisa berubah jadi lembut kalau yang dibahas tentang rumah."
"Yang kaya kamu ternyata mudah tersentuh, ya."
"Kalau ada yang bilang, lebih enak di rumah sendiri. Gak bisa bohong, emang bener."
Kami melanjutkan perjalanan. Kami sudah duduk di sebuah sampan. Sudah tak asing lagi bahwa Kanal adalah wisata wajib bagi turis lokal maupun mancanegara untuk mengelilingi Amsterdam. Tapi, anehnya di sampan ini hanya ada aku dan Genta serta satu nakhoda.
"Sampan ini punya kamu?"
"Punya Mas-mas itu," ujarnya sambil menunjuk laki-laki yang sedang berada di atas jembatan. "Dia temanku. Masih ada darah Indonesianya. Kakeknya orang Belanda lalu neneknya orang Maluku. Dia pernah tinggal di Indonesia tapi hanya dua tahun itu juga karena neneknya sakit. Setelah neneknya meninggal, kakeknya menetap di Indonesia. Waktu dia menceritakan kisah cinta kakek dan neneknya, aku malah jadi sedih. Kakeknya ingin menyatu dengan tanah Indonesia. Hebat, kan? Dia bukan hanya jatuh cinta pada warga Indonesia tapi juga negaranya."
Aku terdiam mendengar cerita Genta. Mungkin aku satu-satunya orang yang tak ingin kembali ke Indonesia, padahal banyak orang yang mencintainya dengan sungguh-sungguh. Tapi, bukankah kakek itu bertekuk lutut karena sedari awal memang ada orang yang memperjuangkannya? Tak sepertiku yang merasa terbuang bahkan jauh sebelum aku berjuang.
"Kamu diajak jalan-jalan bukan untuk jadi pendengar ceritaku, tapi aku juga mau dengar cerita tentangmu. Harusnya kamu bersyukur bisa jalan sama dokter tampan, biasanya jadwalku padat loh."
"Idih. Aku gak pernah minta, kan? Kamu yang menawarkan diri. Harusnya kamu butuh yang seperti ini, lihat matahari, langit dan awannya."
"Hahaha." Laki-laki ini malah menertawakan jawabanku, "untuk mengistirahatkan pikiran dan hati, aku lebih sering pulang ke Indonesia."
"Kenapa?"
"Karena rumah. Aku pernah kalah dalam studiku, waktu itu aku salah mendiagnosa dan hasilnya fatal. Melihat kematian pasien untuk kali pertama dan atas kesalahan diri sendiri rasanya aku ingin bunuh diri. Aku memilih untuk cuti dan pulang, menangisi segala kebodohan yang sudah kuperbuat. Sebulan menjelajah Indonesia. Gunung Semeru, Bandung, Banyuwangi hingga merasa tenang di Pulau Banda Neira." Sepertinya Genta memang mengalami banyak hal sulit. Aku lihat sorot mata yang tadinya berbinar kini berubah sendu ketika menceritakan kematian pasien. Dia cukup kuat untuk menceritakan kisah itu padaku, pasien yang belum lama ia temui.
"Kamu jangan memandangku dengan tatapan seperti itu, Nad. Kurasa setiap orang punya catatan hitam di masa lalunya. Benar bukan?"
"Aku bahkan tidak mengingat apa-apa."
"Itulah catatan hitamnya. Kamu kehilangan mereka."
"Lebih parah, bukan?" jawabku ringkas, Genta benar, aku kehilangan mereka yang tak bisa kupaksa untuk tetap tinggal.
"Yang lebih parah lagi adalah tidak mau bangkit dari lingkaran itu. Kamu bukan tidak mampu tapi tidak mau."
Aku menatap lurus ke depan sambil memikirkan tentang segala tanda tanya dalam diri. Sudah sejauh ini, aku bahkan tidak mengingat apapun. Jika ini bernama takdir, dari awal aku sudah melakukan kesalahan. "Bukankah aku hanya perlu membuat kenangan bukan mengingat kenangan."
Selama tujuh tahun di negeri asing ini, Genta sudah merasa banyak rasa senang dan sedih. Tapi dia bilang bahwa mimpilah satu-satunya alasan manusia untuk bertahan hidup. Dari cara bicara saja bisa dipastikan bahwa dia telah berjumpa dengan banyak orang dan banyak pengalaman, juga berjumpa dengan banyak pasien yang sepertiku.
***
Langit semakin gelap, aku dan Genta menyusuri jalanan Amsterdam tanpa bicara, dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Ia akan kembali ke rumah sakit. Hari ini aku sudah mengetahui banyal hal dari darinya, dia bercerita banyak hal tentang pekerjaan, pola hidup, dan mimpi-mimpinya yang tak jarang mengundang tawa.
"Nad, kamu harus mulai terbuka dan menceritakan banyak hal padaku."
"Hm? Semua hal?"
"Iya. Jangan lari lagi. Selama ini bukan ingatanmu yang hilang tapi kamu yang tak menginginkannya. Kita usahakan pelan-pelan ya." Suaranya terdengar lirih dan aku melihat harapan di matanya. Sambil terdiam mendengar ucapan Genta, dia benar, aku tidak boleh lari lagi. Karena hatiku tahu segala hal tapi menolak ajakan otak untuk berdamai. Sekarang, Genta, kamu akan tahu banyak hal tentang aku.
Berdiri di depan jendela dan menghadap ke kota dengan deretan lampu bak kunang-kunang menjadi pemandangan paling sempurna sebelum menutup mata. Kembali teringat ucapan Genta, memang akulah yang tak pernah berusaha untuk mengingat. Aku takut ketika semua ingatan itu kembali ada hal menyakitkan yang harus aku terima. Tubuhku tahu bahwa ingatan itu bisa kembali tapi ada seseorang yang tak bisa kukembalikan.
"Cekrek." dengan cepat aku berbalik ke belakang dan mendapati mas Aga sedang memegang kamera. Entah apa yang dipotretnya, yang jelas lensanya sedang mengarah padaku.
"Langit Belanda memang terlihat lebih pekat daripada langit di Indonesia. Apalagi kalau kita sedang rindu."
"Sok tahu."
"Mas gak bilang kamu sedang rindu, Mas mengatakan sesuatu berdasarkan pengalaman."
"Mas baru pulang?"
"Nad, kamu sedang mencari pertanggungjawaban dari seseorang, bukan? Seseorang yang berhasil memperbaiki keadaanmu namun pergi dan membuat hatimu semakin porak poranda. Ini bukan pertama kali kamu kehilangan tapi rasanya tetap berat dan menyedihkan." Lidahku kelu tak mampu memberi pernyataan atau pun jawaban. Mas Aga yang selama ini sangat jauh dariku tapi tahu betul bagaimana perasaan yang sedang dirasakan oleh adik satu-satunya.
"Kamu bingung dengan cara apa menemukan dia, bermodalkan perasaan yang begitu dalam. Seseorang yang ketika dia datang, pintu hatimu tak akan pernah terkunci untuknya. Bahkan setelah semua rasa sakit yang kamu rasakan, dia tetap boleh datang. Seperti itu, kan?"
"Mas, aku sudah berusaha sangat keras mengingat semuanya. Tapi tidak ada sama sekali! Jangankan wajahnya, namanya saja aku lupa! Tapi kenapa semua orang berusaha mengingatkan aku padanya, padahal Ibu, Ayah bahkan Mas Aga aku juga gak ingat apa pun tentang kalian?!"
"Karena dari sanalah semua kesakitan kamu, Nad. Ada yang kamu ingat. Iya, suara. Hatimu bahkan bergetar sangat hebat ketika membayangkan suaranya, entah sebuah tanda bahagia atau mungkin kesedihan yang mendalam. Nad, kalau nanti kamu ingat semuanya, jangan pernah bohongi dirimu sendiri bahwa hanya dia yang mengisi dirimu saat semuanya kosong." Aku meremas ujung baju mencoba menahan air mata. Namun, kenyataannya salah. Air mata jatuh tanpa aba-aba. Apa yang dikatakan mas Aga benar.
"Mas gak bisa bantu apapun itu. Jika kamu tak mengingat apa-apa tentang keluargamu atau teman-teman, kami tetap baik-baik saja karena kamu cuma kehilangan kenangannya bukan orang-orangnya. Sangat jauh berbeda dengan lelaki itu, iya dia, kamu kehilangan semuanya, tubuh dan kenangan. Kamulah yang menghidup dan matikan kenangan itu. Nad, jika semuanya pulih, mas yakin kamu akan pulang. Entah ke rumah lama atau mungkin rumah baru yang lebih menyenangkan."
Aku hanya terduduk lemas di atas kursi sambil terus memegang kamera yang diberikan mas Aga. Kamera yang selama ini membantu untuk mengingat segala hal tentangmu. Dia hanya benda mati yang tidak kuketahui kapan bisa menghidupkan kenangan kami.