"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam. Kamu pulang sore terus ya Nad. Lihat pertandingan Qafka?" harus kembali kutelan pil pahit, ibu malah menyebut nama laki-laki yang ingin sekali kuhapus dalam banyak memori di kepala.
"Bu, Qafka sudah punya pacar dan mana mungkin Nadir lagi yang menemani dia dalam banyak urusan." Jawabku ketus dan memutuskan untuk langsung masuk ke kamar. Maaf bu, aku juga ingin mengakhiri semua rasa sakit ini, agar ibu juga paham untuk tidak lagi menanyakan perihal Qafka.
Kalau saja waktu bisa kuputar kembali, akan kupilih untuk tidak bertemu denganmu dan takkan kubiarkan dia masuk ke duniaku dengan semena-mena. Kenapa juga semesta merestui kami kala itu. Aku mulai menyesali setiap pertemuan, semangat dan tawa yang kami bagi, kesal dan resah yang memilukan, semua ingin kupulangkan padanya.
***
"Bu, Nadir keluar dulu ya."
"Ke mana? Jangan lama-lama Nad, ayah pulang hari ini loh." Aku tersenyum menanti kepulangan ayah. Pekerjaan yang ayah jalani menjadikan ia jarang ada di rumah. Pekerjaan yang sangat menenangkan sekaligus mendebarkan. Pekerjaan yang membawanya ke mana saja, melewati awan, melihat gunung, sunrise dan sunset tetapi berhadapan dengan maut yang datang dari banyak arah.
Kubiarkan kaki ini melangkah ke mana saja. Hati tidak akan pernah salah, bukan? Dan akhirnya aku berhenti di sini. Di sebuah taman dekat rumahku. Masih ada orang yang berjualan walau pengunjung taman sudah tidak banyak lagi.
Aku membeli es krim walau malam terasa begitu gigil. Sambil terus menyantap es krim, aku masih saja memikirkan Qafka, ingin rasanya sekadar bertukar kabar. Tapi bukankah ketika menanyakan kabar malah terkesan aneh. Ah, aku lupa. Aku sudah menjadi orang asing untuknya. Aku hanya manusia yang pernah ke rumahmu, kemudian saat aku datang lagi ternyata rumahmu telah ditempati orang lain dan kau lebih mengistimewakan dia.
Udara semakin dingin pedagang juga tinggal satu orang, sambil membereskan barang-barang kemudian ia bergerak meninggalkan taman. Semua orang sudah pergi, tinggallah aku yang temenung dan sesekali merekatkan jaket ke tubuh. Jangkrik. Katak, dan suara kenderaan berlalu-lalang terdengar tumpang tindih di dalam telinga tapi ini menyenangkan untukku. Sesaat membuatku lupa akan patah hati yang selama ini menyewa dalam jiwa. Hal-hal seperti harusnya lebih banyak dinikmati. Di dunia yang fana kita harus pintar-pintar, setidaknya kita tahu apa yang harus dinikmati.
"Ayah kamu sudah di rumah, kenapa masih di sini?"
Sontak aku menoleh, ternyata dia lagi "Kamu kenapa bisa di sini?"
"Angin yang membawaku." Sambil menjawab kemudian dia mengambil sebagian tempat di sisi kiri dan melanjutkan kalimatnya "Kamu tidak punya kisah dengannya jadi jangan salahkan dia jika pergi. Setiap orang berhak untuk membahagiakan dirinya sendiri."
Aku memutuskan untuk berjalan meninggalkan lelaki paling sok tahu yang entah sampai kapan, dia selalu ikut campur atas kerumitan perasaanku. Dia mengikuti lagi dan lagi "Pantas saja aku tidak tahu kita satu sekolah, kau selalu ikut campur urusan orang lain, manusia zaman sekarang tidak suka pada sikap orang yang selalu ikut berkomentar."
"Hahaha, aku punya banyak teman di sekolah bahkan kau tahu sendiri bagaimana reputasi ketenaranku. Lagipula, yang terlihat mampu berkomunikasi dengan banyak orang adalah orang yang tidak mampu berkomunikasi dengan perasaannya sendiri."
Kalimat yang baru saja dia selesaikan memang benar, dan sudah jelas yang terlintas di kepalaku hanya Qafka. Tuhan, kenapa waktuku habis hanya untuk memikirkannya? Udara malam ini malah semakin membuatku sesak napas. Entah sejak kapan kami berjalan berdampingan, dia sampingku dan tidak ada percakapan yang terjadi di antara kami. Entah apa yang dia pikirkan sedangkan kepalaku, ah jangan ditanya lagi, jawabannya sudah sangat jelas tanpa harus diungkap lewat kata-kata. Terkadang diam memang cara paling baik untuk berkomunikasi.
"Titip salam sama ayah dan ibumu ya,"
"Hmm."
Laki-laki itu memberi seutas senyum yang sebenarnya tidak bisa dikatakan jelek, semakin lama aku dengan dia dunia terasa lebih menyegarkan buatku, meski kedatangannya kadang tak kuharapkan dan sikap sok tahu yang setinggi pohon kelapa. Mungkinkah tuhan sengaja mengirim dia untuk menenangkan hatiku? Pikiran semacam itu lansung kutepis meski ia memang menarik tapi tak bisa melampaui indahnya Qafka.
***
"Nad?"
"Ayahh,"
Aku memeluk pria yang menjadi cinta pertama anak perempuannya, semua perempuan di muka bumi pasti setuju bahwa ayah adalah lelaki paling baik dan tak pernah sekali pun menyakiti. Ayah menjadi sangat melankoli ketika di rumah, ia menangis sambil memelukku. Aku iri dengan bentuk cinta yang selalu ibu dan ayah perlihatkan maupun yang tidak terlihat.
Setelah kami membicarakan banyak hal, dan ayah mengakhiri perbincangan dengan pertanyaan yang sangat menohok batinku,
"Nad, Qafka masih sering main sama kamu?"
"Qafka sibuk akhir-akhir ini yah, maklum dia atlet."
Aku menjawab dengan cepat agar percakapan ini terhenti. Rasanya begitu rumit, sulit untuk dijelaskan. Aku akan kesulitan untuk melupakan atau bahkan membiarkan Qafka bersama perempuan itu, sebab seluruh keluargaku hanya mengenal dia sebagai seseorang yang bisa diandalkan. Cepat atau lambat aku harus mencari cara menjelaskan pada Ayah dan Ibu bahwa lelaki yang mereka kenal itu sudah damai dengan perempuan pilihannya dan itu bukan aku. Untuk tetap menjalin pertemanan saja rasanya rumit apalagi meminta ia kembali seperti dulu. Kedewasaan memang melumpuhkan banyak hal salah satunya kenangan masa kecil.
***
Hari ini aku harus berangkat lebih pagi karena harus menyampaikan pidato tentang literasi sekolah. Sekolah memiliki beragam ekstrakurikuler tapi pilihan untukku hanya satu, Pojok Literasi. Aku suka membaca sedari kecil dan kegiatan ekskul juga tak begitu rumit. Anggota hanya perlu berkumpul seminggu sekali sambil membahas buku-buku yang dibaca dan direkomendasikan. Menghidupkan mading serta mengkampanyekan "Rajin Membaca" adalah satu di antara visi dan misi kami. Tujuan paling dasar agar siswa lebih sering mengunjungi perpustakaan, sebab ada banyak rahasia dunia yang hanya diungkapkan lewat buku.
Kembali lagi, di dalam bus. Aku bertemu laki-laki sok tahu "Selamat pagi perempuan yang suka dengan aroma buku,"
"Jangan bicara denganku."
"Nad, lebih baik kauikut aku saja!"
"Apa? Untuk apa aku menuruti perkataanmu!"
"Aku tidak menerima penolakan! Sepulang sekolah aku tunggu di halaman belakang."
Dia pikir aku akan mengikuti perkataannya? Tidak!
*
Lega rasanya telah mengakhiri pidatoku dengan baik. Pembina literasi sekolah juga merasa senang dengan pidato yang kusampaikan. Semua siswa mendengarkan dan semoga mereka bisa lebih sering datang ke perpustakaan.
Kelasku jarang sekali ricuh karena isinya juga orang-orang pintar yang semua mirip denganku, irit bicara dan banyak baca, itu sebabnya anggota pojok literasi sebenarnya hanya berisi teman-teman sekelasku dan beberapa dari kelas lain. Bisa dibayangkan bagaimana suasana kelas, dingin dan hanya bicara untuk memecahkan soal-soal. Anehnya, suasana seperti itu tak pernah menggangguku.
"Na, isi pidato kamu bagus,"
"Makasih ya Wi,"
"Oh iya, tadi Deka ke sini dan dia nitip surat ini buat kamu," Kuambil surat yang disodorkan Wila tapi belum ada niatan untuk membacanya. Buang-buang waktu saja. Meskipun aku senang membaca, hal itu tak mengharuskan untuk membuang waktu belajar demi selembar surat yang luarnya saja berantakan. Manusia jangkung yang aneh.
Bel berbunyi pertanda sudah berakhir pelajaran hari ini. Aku tidak pulang dengan Wila karena dia akan latihan menari untuk persiapan perpisahan kelas XII yang akan digelar sebulan lagi. Koridor yang sudah mulai sunyi namun sangat ramai di gerbang sekolah, siswa-siswi yang menunggu jemputan atau bus yang akan membawa mereka pulang.
"Aku sudah tahu kamu pasti tidak membuka surat itu,"
"Kalau sudah tahu kenapa masih mengirimkan surat dan berharap?" sambil menunjukkan wajah terkejut aku membalas dengan nada ketus dan berjalan mendahuluinya.
"Semakin kamu jutek, semakin kuat niatku untuk mendekatimu."
"Aku mau pulang."
"Padahal kamu sedang tidak ingin pulang, kan? Kalau begitu ikut denganku saja ya?"
"Kalau aku bilang tidak,"
"Aku culik kamu untuk hari ini dan hari-hari berikutnya."
"Terserahmu saja."
Laki-laki ini terus mengikuti dan aku harus menerima tatapan sinis dari beberapa perempuan yang seolah-olah ingin sekali memakan tubuhku yang kurus ini. Laki-laki ini baru masuk sekolah tapi banyak sekali pawangnya?
"Jangan pedulikan mereka."
"Jauh sebelum kauada, aku memang tidak pernah peduli dengan mereka."
Kami menaiki bus yang berbeda dari biasanya, kali ini aku mengikuti perintah tanpa banyak tanya, sebab jika aku banyak bicara dengannya siswa sekolah yang melihat kami akan semakin menyebarkan rumor dan bergosip, sungguh itu bukan hal yang menyenangkan untuk manusia pendiam dan susah bergaul seperti aku.
"Kau mau bawa aku ke mana?"
"Ke tempat yang semoga bisa membuatmu lebih banyak bersyukur."
Aku ingin tahu tempat seperti apa yang dimaksud laki-laki ini, ia terlihat seperti laki-laki 'bad boy' yang mengikuti zaman dan suka berbuat onar. Mulai dari rambutnya yang lebih panjang dari kebanyakan siswa dan kemeja yang jarang dikancing. Dia tampak seperti laki-laki yang "nakal alias preman sekolah".