Raja Soga dan Ratu Deyena menatap wajah anaknya yang gelisah dan khawatir.
"Ada apa denganmu, Ananda?" tanya Ratu Deyena penasaran melihat anaknya gelisah.
"Bolehkah aku bertanya apa yang akan Ayahanda putuskan untuk Donela besok?" tanya Pangeran Hogan memberanikan diri untuk mengungkapkan kegelisahannya.
"Aku akan meminta pendapat seluruh pejabat negara agar bersama-sama memutuskan kasus Donela sekaligus Zelea," ujar Raja Soga bijak.
"Apakah Ayahanda akan menghukum Donela juga Mata-mata Zelea?" tanya Pangeran Hogan menyelidik.
"Aku harus menghukum keduanya karena memang sudah terlihat bersalah," ujar Raja Soga tegas.
"Mereka tidak bersalah, Ayahanda," ujar Pangeran Hogan berusaha membela Donela dan Zelea.
Raja Soga dan Ratu Deyena terkejut. Keduanya mengernyit, mempertanyakan kenapa Pangeran Hogan berkata demikian.
"Donela dan Mata-mata Zelea tidak bersalah, Ayahanda," ulangnya meyakinkan.
Raja Soga dan Ratu Deyena menatap Pangeran Hogan dengan serius.
"Apa maksudmu, Ananda?" Raja Soga bertanya dengan serius.
"Aku yakin Donela tidak bersalah dan Mata-mata Zelea hanya membela anaknya yang kena fitnah," jawab Pangeran Hogan serius.
Pangeran Hogan kukuh dengan pendiriannya. Ia merasa yakin bahwa Donela tidak bersalah. Ia juga merasa yakin bahwa pembunuhan yang terjadi adalah ulah iblis yang mengutuk Donela bukan atas dasar kemauan pribadi Donela.
"Ananda, kenapa membela orang yang sudah jelas bersalah. Kesalahannya sudah sangat fatal." Ratu Deyena menyangkal pembelaan Pangeran Hogan kepada Donela dan Zelea.
"Ini semua terjadi begitu aneh dan janggal, Ibunda Ratu. Menurutku, iblis yang melakukannya dengan meminjam tubuh Donela," ujar Pangeran Hogan melontarkan pendapatnya seperti yang selama ini terpikir olehnya.
"Tidak, Ananda! Iblis yang dimaksud adalah Donela," sanggah Ratu Deyena tegas.
Terjadi perbedaan pendapat antara Raja Soga dan Ratu Deyena dengan Pangeran Hogan. Pendapat yang berbeda 180 derajat. Raja Soga dan Ratu Deyena menganggap iblis pembunuh adalah Donela sedangkan Pangeran Hogan menganggap Iblis memperalat Donela untuk melakukan pembunuhan.
"Donela dikutuk oleh Iblis untuk melakukan pembunuhan, Ibunda," tegas Pangeran Hogan memperkokoh alasan pembelaannya.
"Tidak, Ananda! Donela adalah iblis pembunuh," tegas Ratu Deyena tak mau kalah dengan pendapatnya karena melihat fakta yang ada.
Pangeran Hogan dan Ratu Deyena menjadi berdebat.
"Tidak, Ibunda! ...." ujar Pangeran Hogan terputus.
"Cukup, Ananda! Tak perlu diperdebatkan lagi" seru Raja Soga sedikit membentak.
"Kebijakan kerajaan untuk Donela dan Zelea akan diputuskan besok setelah aku mendapatkan berbagai macam pandangan dari seluruh pejabat kerajaan," ujar Raja Soga menengahi perdebatan yang dirasa tak mendapatkan kesepakatan.
"Kakanda, sepertinya Ananda Hogan harus beristirahat. Aku mengerti keadaannya saat ini. Ananda Hogan butuh beristirahat untuk menyegarkan kembali pikirannya," ujar Ratu Deyena memberi kode kepada Raja Soga untuk meninggalkan Pangeran Hogan yang dirasakan tidak rasional saat ini.
"Baiklah, Ananda. Beristirahatlah yang cukup," ujar Raja Soga pamit kepada Pangeran Hogan.
"Ibunda akan meminta pelayan istana untuk membuatkan jamu herbal untuk kesehatan dan staminamu," ujar Ratu Deyena kemudian mengelus wajah Pangeran Hogan tanda sayang.
"Baiklah, Ayahanda dan Ibunda. Semoga kemuliaan selalu melimpah kepada Ayahanda dan Ibunda," ujar Pangeran Hogan tersenyum manis mengantar kepergian ayah dan ibunya.
Raja Soga dan Ratu Deyena membalas senyum dan segera meninggalkan kediaman Pangeran Hogan untuk kembali menuju kediamannya.
Sepeninggalan Raja Soga dan Ratu Deyena, Pangeran Hogan tidak bergegas beristirahat. Ia malah duduk termenung di kursi yang masih ia tempati di ruang penjamuan. Ia kini hanya ditemani oleh obor-obor yang menyala dengan terang di setiap sisi ruangan penjamuan yang megah dengan hiasan-hiasan berupa lukisan dari kayu. Air jahe yang dituangkan dalam gelas bambu sejak kedua orang tuanya berkunjung belum sempat ia minum bahkan disentuh pun tidak.
Hatinya kalut karena memikirkan nasib Donela, gadis yang dicintainya bersama ibunya, Zelea. Ia berpikir keras mencari solusi apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan keduanya dari nasib yang bisa saja buruk esok hari.
Ia kemudian ingat bahwa ia pernah berencana untuk menemui Tetua-tetua Adat Kerajaan Sondan untuk bercerita tentang fenomena-fenomena aneh ketika ia tengah berada di Bukit Naga.
"Benar! Aku harus menemui Tetua-tetua Adat Kerajaan Sondan. Semoga saja mereka bisa menolong," gumam Pangeran Hogan lirih.
Ia berharap Tetua-tetua Adat bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih belum terpecahkan terkait itu semua. Tetua-tetua Adat diyakini dapat membaca makna dari kaca mata adat.
Beberapa saat kemudian, pelayan istana mengunjungi kediaman Pangeran Hogan. Ia membuka rumah kediaman Pangeran Hogan dengan membawa jamu herbal untuk diminum Pangeran Hogan yang dipesan oleh Ratu Deyena.
Kedua pelayan wanita berusia dua puluhan meletakkannya di meja penjamuan lalu memanggil Pangeran Hogan.
"Permisi, Tuanku Pangeran Hogan. Aku membawakan tuan jamu herbal seperti yang dipesan Yang Mulia Ratu," seru salah seorang pelayan. Namun, mereka tidak mendengar ada tanggapan dari Pangeran Hogan.
"Tuanku Pangeran Hogan ...." panggil keduanya bersamaan.
Mereka tak mendapatkan tanggapan juga. Keduanya mencari ke seluruh ruangan hingga kamar dengan santun. Namun, Pangeran Hogan tak ditemukan.
"Kemana Pangeran Hogan pergi?"
"Pangeran Hogan mungkin keluar sebentar sebelum kita sampai di sini,"
"Kita bisa sampaikan amanat kepada Penjaga istana di sini agar menyampaikannya kepada Pangeran Hogan," ujar pelayan istana dalam perbincangannya.
Keduanya menyampaikan amanat kepada penjaga agar Pangeran Hogan bisa meminum jamu herbal setelah kembali. Penjaga akhirnya menjelaskan kalau Pangeran Hogan memang tengah keluar, hanya saja mereka tak diberi tahu keperluan Pangeran Hogan.
Pangeran Hogan keluar dari Istana Sondan secara diam-diam hingga hanya Penjaga gerbang istana yang tahu.
Pangeran Hogan berkuda ke arah utara meninggalkan Alun-alun Kota yang sangat luas melewati Kota Sondan menuju kampung kuno di utara.
Ia telah sampai di kampung yang dituju yaitu Kampung Gundo. Kampung Gundo terletak di pinggiran Kota Sondan berbatasan langsung dengan lahan pertanian sawah padi yang luas hingga ke pantai utara. Kampung ini unik karena begitu kuno, hijau dan asri.
Kampung Gundo sangat hijau dan sejuk karena dipenuhi oleh Pohon-pohon Trembesi yang tumbuh sangat besar. Pohon Trembesi bentuknya seperti payung yang meneduhi area di bawahnya. Diameter batang pohon hampir berukuran sepuluh meter. Pohon ini memiliki cabang yang cukup banyak dan kuat. Bentuk daunnya majemuk dan setiap helainya berbentuk bulat. Pohon Trembesi berbuah hampir menyerupai buah asam.
Sondande-sondande, rumah-rumah adat yang dibangun di Kampung Gundo tidak di atas tanah melainkan berupa rumah pohon. Sondande-sondande berada di cabang-cabang batang Pohon Trembesi. Setiap satu Pohon Trembesi terdapat satu sondande yang ditempati oleh satu keluarga Tetua-tetua Adat.
Ada satu sondande yang letaknya di tengah-tengah Pepohonan Trembesi. Sondande paling besar dan luas yang menempel di Pohon Trembesi yang tumbuh raksasa, sangat besar hampir tiga kali lipat dari pohon-pohon Trembesi lainnya. Sondande itu diberi nama Sondanta. Sondanta digunakan sebagai tempat berkumpul dan bercengkerama antar Tetua-tetua Adat maupun dengan penduduk yang berkunjung.
Antara sondande dihubungkan dengan jalan melayang, jalan di pohon yang dibuat dengan kayu-kayu pohon jati yang diikat dan dihubungkan dengan tali-tali dari batang rotan. Jalan-jalan melayang sangat kuat dan kokoh, aman untuk dilewati. Jalan melayang terpusat pada Sondanta seolah menjadi terminal. Dari Sondanta terdapat dua tangga yang dibuat dengan bahan yang sama dengan jalan melayang. Dua tangga ini terhubung ke tanah untuk naik dan turun.
Tetua-tetua Adat yang tinggal di sana sangat unik. Mereka seperti penghuni langit yang tak pernah menginjak tanah. Mereka hanya mau menginjak tanah untuk keperluan penting seperti memandu hari-hari perayaan kepercayaan atau keperluan penting.
Mereka hidup dengan membatik, membuat pola dan mewarnai kain batik di halaman-halaman Sondande yang teduh. Mereka adalah sentra penghasil batik tulis terkenal di seluruh Negeri-negeri Adogema. Penduduk membeli langsung di tempat. Mereka mendapatkan uang koin untuk membeli keperluan hidup mereka.
Pedagang mengantarkan barangnya ke sana. Bahkan air Danau Dua Warna juga dipasok oleh pedagang ke sana. Para Tetua-tetua Adat dan keluarganya termasuk sehat dan sejahtera karena hanya makan makanan yang berasal dari tumbuhan dan minum air bersih Danau Dua Warna selain itu mereka juga melakukan yoga dan bertapa untuk kesehatan.
Anak-anak mereka mendapatkan pengajaran membaca dan menulis dari guru-guru sastra yang didatangkan dari Kota Sondan. Ketika besar, anak-anak mereka diberikan pilihan untuk menjadi warga biasa hidup normal di Kota Sondan atau pun tetap di tempat untuk meneruskan adat turun-temurun.
Mereka sangat menjaga adat-istiadat tanah Negeri Adogema turun-temurun baik prilaku, kepercayaan maupun adat kebiasaan hidup. Mereka juga sangat menjaga tata krama dan sopan santun dalam pergaulan. Sungguh! Kehidupan Tetua-tetua Adat di Kampung kuno Gundo sangat unik dan mengesankan.
****
Bersambung ....