Angga, dan Zean keduanya berjalan di belakang pemikik kos yang kemarin mereka cari.
Orang itu membukakan pintu rumah.
"Nah ayo silahkan masuk, kalian bisa mencek satu persatu ruangannya," ujarnya memandu dan menjelaskan kepada Angga, dan Bara.
"Gimana Bara kamu suka?"
"Gimana Bara kamu suka?" ujar Angga berbisik.
"Entahlah," ucap Bara berat hati.
Angga membukakan mulutnya bingung mau menjawab apa.
"Jadi bagaimana? Apakah kalian tertarik?" tanya pemilik kos kembali.
Bara hanya diam saja, beliat Bara yang masih berat buat meninggalkan kosannya, Angga membuka suara.
"Bagaimana kalau nanti malam saya akan kabarin lagi buk," Angga dan pemilikku saling tukaran nomor hp. Untuk terus memantau perkembangan.
"Udah ayo kita pulang," menggandeng Bara.
"Aku tidak tau apakah harus benar benar pindah, atau bertahan di situ."
"Apakah seberat itu?"
"Mungkin, karena aku sudah nyaman di situ."
"Jangan hanya memikirkan nyamannya saja, kau juga harus memikirkan bagaimana kau kedepannya, kau bisa meninggalkan tempat itu kok."
Angga tidak tau betapa berharganya rumah Zean buat dirinya, apa lagi Bara belum sanggup untuk ke hilangan Zean.
"Kau harus bisa memutuskan, jika kau ingin benar benar pindah."
"Aku akan memutuskan secepatnya."
***
"Bara!" seru Zean yang tengah makan dengan Davin.
"Darimana saja kau?" lanjut Zean menanyakkan.
"Bukan urusanmu."
Bara memutarkan matanya tak melihat mereka, ia berjalan pergi ke kamar.
"Aku merasa selama aku disini Bara tidak pernah makan, apa lagi berkomunikasi kepadamu."
"Udah biarkan lah dia, mungkin moodnya tidak bagus."
Bara yang sedari tadi menunggu Zean di atas akhirnya langkah Zean mulai terlihat.
"Zean," menarik tangan Zean kedalam kamarnya.
"Ada apa Bar?"
"Aku ingin keluar dari sini!" cetus Bara tegas.
Zean membuka mulutnya sedikit. "Kamu serius?"
"Aku benar benar ingin keluar dadi sini, maaf Zean aku tidak ingin memcintaimu lagi," Bara menunduk menghindari kontak mata dengan Zean.
"Tapi," Zean menarik tangan Bara mendekati ketubuhnya.
"Lepaskan! Aku tidak ingin bersamamu sialan, kau bajingan."
Zean melepaskan tangan Bara pasrah.
"Apa kau benar benar tidak mencintaiku?" tanya Zean ragu ragu.
"Shit! Kau tidak pernah cinta denganku, bahkan kau tidak menghargaiku. Kau lebih mencintai Davinkan, kau membawa dia ke ruangan sialan itu, kau melakukan seks dengannya, kau mengabaikanku kurang ajar, apa kau tau aku menginap di rumah Angga, kau sama sekali tidak tau itu, kau bahkan tidak menghubungiku, kau tidak menanyakanku, kau juga tidak menghukumku, apa kau tau aku sengaja melakukannya, karena aku rindu kau hukum. Ternyata kau tidak menghukumku ZEAN ANJING!" emosi Bara meluap, bercampur dengan tangisannya yang menjadi jadi.
Mendengar keluhan Bara Zean ikut menangis ia memeluk ukenya.
"Aku lemah tanpamu, aku hanya melakukan seks, bukan berarti aku mencintainya, apa kau benar benar aku hukum?"
"Aku tidak mau di hukummu."
"Kau yang membilang rindu aku hukum, ayo," Zean mengambil tali di dalam kantongnya.
Bara menjauhkan tangannya dari tangan Zean.
"Aku tidak ingin kau hukum, aku tidak mencintaimu. Kalau kau mencintaiku mengapa kau menghadirkan seseorang disini."
"Aku tau kau inginku cambuk kan?"
"Aku tidaj mau sialan, kau bukan orang yang berarti. Kau tidak pernah melakukanku seperti Devankan, kau bahkan tidak pernah membawaku keruangan itu."
"Bara jangan pergi ya, aku tidak ingin harus pisah denganmu."
"Bukan urusanmu."
Bara mengambil tas, dan koper yang sudah ia susunin.
"Bara," Zean mencoba menghalangi jalan Bara.
"Bar!" ia menggeleng kecil.
"Sialan," Bara pergi meninggalakn barang barangnya.
Tempat Bara satu satunya hanyalah rumah Angga, sore itu Bara kembali ke rumah Angga bermaksut untuk menginap lagi.
"Sini, duduklah ada apa lagi denganmu."
"Entahlah kepalaku sakit tiba tiba, aku takut pingsan seperti yang waktu waktu, jadi aku memutuskan ke tempatmu, tidak apa apakan Angga."
"Tidak kok, tidak masalah kalau kau kemari aku akan senantiasa menyambutmu."
"Terimakasih ya, maaf ya Angga kalau aku ngerepotinmu."
"Kau, sama sekali tidak merepotkan. Istirahatlah ke kamar, aku akan membuatkanmu teh angat," ujar Angga yang sudah bangkit ingin pergi.
"Baiklah."
***
"Ini tehmu, di minum dulu."
Bara meminum teh itu pelan pelan.
"Apa kepalamu masih sakit?"
"Lumayan," Bara kembali menidurkan badannya.
"Kalau begitu biar aku membantumu," Angga mengambil minyak angin, lalu ia menuangkan ke tangannya, dan menyapukan ke atas kepala Bara. Angga juga memiciti kepala Bara yang sakit sampai Bara tertidur.
"Selamat tidur ganteng," Angga mencium kening Bara, ia tersenyum meninggalkan laki laki bertumuh mungil itu di kasurnya.
***
"Ehh Bara," Zean, menaikkan alisnya bingung.
"Ikut aku sebenatar," Bara berjalan di depan Zean, ia membawa Zean ke ruang membaca tempat khus Zean.
Di luar dugaan Bara, ternyata Devan membuntuti ke duanya, depan menguping semua pembicaraan mereka.
"Ada apa Bar?"
"Zean aku sudah menemukan kosan baru, jadi apakah kau ingin mempertahankanku disini atau tidak?"
"Tentu, aku ingin kau disini, hidup bersamaku."
"Kalau begitu kau bisakan menyuruh Davin kembali, aku tidak ingin berbagi dengan siapa pun, aku juga tidak ingin ada orang lain di rumah ini," tegas Bara serius.
Zean hanya diam, ia ke bingungan harus bagaimana mempertimbangkan apa yang di inginkan Bara.
"Kenapa? Kau berat untuk menyuruhnya kembali ya?"
"Ti... tidak kok!"
"Trus apa? Kau lebih sayangkan dengan dia, sampai sampai kau tidak bisa menyuruh dia pulang."
"Bukan begitu Bara, aku hanya-" Zean belum sempat menjelaskan, omongannya di potong oleh Bara.
"Bukan begitu apa? Padahal sudah jelas kalau kau tidak akan bisa melakukan itu, udah deh lebih baik dia kau pertahankan dari pada aku."
"Kau benar benar ke kanak kanakan ya Bara seperti itu," cetus Zean tak mau kalah dari bacotan Bara.
"Emang ia, karena aku memperjuangkanmu, tetapi kau seperti bajingan, jadi aku menyimpulkan buat apa aku mencintaimu lagi, kau saja tidak mencintai orang yang berada di dekatmu."
"Oke Bara," Aku keluar deluan mencari Davin, yang duduk di ruang tengah.
"Davin."
"Ouh, Zean. Sudah selesai?"
"Aku ngerti kok," ujar Davin to the point.
"Apanya?"
"Bara nyuruh aku keluarkan dari sini, karena dia tidak ingin aku berada disini, makanya sikap dia seperti itu. Dengar dengar Bara juga ingin pindah kalau aku masih disini, dengar ya Zean, aku bakalan pergi kok sekarang. Lagiankan aku juga harus sekolah, aku sudah lama libur loh. Jadi lebih baik aku pulang sekarang."
"Davin kamu ga marahkan?"
"Sama sekali engga, wajar Bara seperti itu, karena dia memang benar benar mencintaimu, kalau kau di posisi Bara juga tindakanmu akan sama seperti dia, kita sudah bertemu, semoga rindu kita terobati ya," Davin menyapu bahu Zean.
Ia pun bersiap siap mengemasi barang barangnya, setelah itu Zean menghantarkan Davin ke stasiun kreta api.
***