Untuk melengkapi kebahagiaannya, Mugayo merencanakan bulan madu ke Anyer, Banten. Ia memilih tempat wisata yang tidak terlalu jauh dengan Jakarta berhubung masa cuti mereka tersisa empat hari lagi sehingga harus mencari tempat yang tidak menyita waktu di jalan.
"Pantai Anyer ya, Sayang." Mugayo menunjukkan beberapa gambar pada istrinya yang ia peroleh dari seorang teman di Serang. Salah satu kota yang berada di Propinsi Banten.
"Bagus. Kapan berangkat?"
"Siang ini bagaimana? Supaya bisa lihat sunset."
"Boleh. Kamu istirahat dulu kalau begitu supaya nanti fresh."
"Memang sekarang tampang aku kusut, ya?" Mugayo menghadap ke cermin. Memperhatikan wajahnya.
"Kamu kan belum mandi. Wajar kusut." Ledek Nattaya.
"Memang kamu sudah mandi?"
"Sudah, dong. Ini cium." Nattaya menyodorkan punggung tangannya pada Mugayo yang disambut antusias. "Iya, wangi banget istriku."
"Kalau yang lain wangi enggak?"
"Yang mana? Jangan mulai, ya?!. Ini aku baru selesai mandi. Mau bikin sarapan." Nattaya bergegas keluar kamar demi menghindar dari gelagat kegenitan suaminya namun tangan Mugayo kuat menahan sambil memeluk.
"Sebentar temani aku dulu."
"Dari semalam loh sudah ditemani. Kamu enggak lapar, Mas?"
"Sekali lagi ya?"
"Sekali lagi apa?" Nattaya memilih pura pura tak mengerti karena memang perutnya sudah keroncongan.
"Sini aku kasih tahu." Mugayo kemudian mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke tempat tidur. Tak peduli penolakan Nattaya.
Selepas empat hari menghabiskan bulan madu di Anyer, Nattaya dan Mugayo harus bersiap siap untuk kembali bekerja. Cuti seminggu sudah habis. Mereka pulang semalam tadi dan begitu terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul 06.00WIB. Nattaya kaget bukan main. Ia kesiangan sholat Shubuh dan juga untuk persiapan ke kantor. Ia langsung membersihkan diri. Dalam hati ia bertanya tanya, kemana suaminya. Sedari ia bangun, Mugayo tak tampak. Seandainya sudah bangun terlebih dahulu, kenapa ia tidak dibangunkan. Padahal kelelahannya karena Mugayo juga yang memaksimalkan momen pengantin baru. Sudah mulai menunjukkan sifat aslinya kah yang egois? Pikiran Nattaya menari nari tak karuan. Baru kali ini ia dikejar kejar oleh waktu. Sebelum menikah, tak pernah sekacau ini.
Sampai akhirnya ia menemukan tulisan dalam secarik kertas dengan tanda cinta bertebaran ketika akan mengenakan mukena, bersiap hendak melaksanakan sholat Shubuh yang kesiangan.
'Sayang, kamu capek sekali aku lihat. Jadi kuputuskan untuk membiarkan nyenyakmu. Aku akan ajukan surat dokter ke kantor supaya kamu bisa beristirahat satu hari ini. Maaf ya sudah membuatmu letih. Kamu luar biasa sekali. Terimakasih sudah memberikan surga dunia kepadaku. Sampai kita bertemu lagi. Kangen kamu selalu'
Nattaya tersenyum senyum bahagia dengan surat romantis yang ditulis tangan Mugayo. Dugaannya salah tentang Mugayo tadi. Justru berkat ide Mugayo, ia masih bisa bersantai seharian di rumah. Ia pun segera melaksanakan sholat untuk menggugurkan kewajiban dan ketika selesai salam, gawainya berbunyi. Ardhena menelpon.
"Halloo pengantin baru. Bagaimana kabarnya?"
"Baik. Kamu Bagaimana? Kangen enggak?"
"Kangen banget. Aku kira kamu masuk hari ini, tapi Pak Mugayo bilang kamu kurang enak badan. Ngidam?"
"Mana mungkin? Aku baru seminggu menikah."
"Siapa tahu kalian khilaf melakukan proyek tanam saham sebelum menikah." Ardhena tergelak mencandai sahabatnya.
"Jangan berprasangka buruk. Dosa lho." Tolak Nattaya walaupun tahu Ardhena hanya bergurau.
"Iya aku percaya kalian pasti tidak akan serendah itu. Lalu bagaimana malam pertama? Pecah di Jakarta apa Anyer?"
"Mulai deh."
"Cerita dong, Nat. Aku butuh hiburan segar dari pengantin baru."
"Apa yang harus diceritakan coba? Kamu pasti sudah pernah mengalami."
"Seru dong, ya? Siapa yang lebih dahulu memulai permainan? Kamu pasti!" Tebak Ardhena asal.
"Sudah, Dhena! Malu! Ayo kerja sana!"
"Pokoknya kalau cerita malam pertama enggak dapet dari kamu, aku akan cari info dari Pak Mugayo."
"Astaga, Dhena! Kamu kenapa bikin kacau suasana, sih. Jangan ganggu suamiku, awas!"
"Cieee, cemburu." Guyonan Ardhena semakin menjadi. Seru juga menggoda pengantin baru.
"Udahan dulu, ya?" potong Nattaya. Lama lama ditanggapi, bisa terbongkar rahasia malam pertama mereka. Apalagi Ardhena adalah orang paling jago membuat orang lain tersudut.
"Tuh kan belum apa apa sudah sombong. Baru seminggu, lho jadi pengantin." Tahan Ardhena. Menolak Nattaya mengakhiri pembicaraan mereka di telpon. Ia merasa masih belum puas mengerjai sahabatnya.
"Aku bukan sombong. Aku mau ke belakang dulu. Mules." Bohong Nattaya supaya Ardhena mau menutup telponnya.
"Oke oke. Aku tutup telpon. Setengah jam kemudian, terima lagi telpon aku!" Klik! Ardhena menutup sambungan telponnya. Padahal Nattaya masih Mau bilang, "Biar aku yang telpon balik! "
Ups! Aku harus telpon Mas Mugayo. Akhirnya ia membuka wa untuk mengetahui apakah Mugayo bisa terima telponnya atau tidak. 'Mas' ketik Nattaya dan langsung centang biru.
'Ya, Sayang. Ada apa?'
'Sibuk?'
'Sedang'
'Kok masih bisa balas WA?'
'Buat isteri tersayang harus siaga sesibuk apapun' Mugayo mengirim stiker bunga cinta.
'Kalau begitu, telpon balik ya kalau senggang'
balas Nattaya, mengirim simbol cinta
'Ada apa? Kamu mau minta antar ke dokter?'
'Bukan'
'Apa?'
'Hati-hati sama Ardhena. Jangan sampai kepancing cerita ya? Dia itu masih penasaran dengan malam pertama kita'
Mugayo mengirim stiker tertawa.
'Pokoknya harus jaga jarak! Mas janji enggak terpancing'
'Tenang. Mas hari ini ada acara dengan klien di luar. Sudah ada jarak aman untuk menghindar dari si pencari berita''
'Klien perempuan?' selidik Nattaya mengalihkan obrolan
Mugayo mengirim stiker bunga cinta lagi.
'Aku sudah memiliki perempuan sempurna. Kamu, sayang. Perempuan lain bukan tandinganmu'
Nattaya berhenti mengetik. Mugayo langsung menelpon. Merasa ada yang kurang beres dengan istrinya.
"Iya, Mas."
"Kenapa berhenti WA nya?"
"Sudah cukup, Mas. Nanti pekerjaan kamu terganggu."
"Cemburu?"
"Enggak." Nattaya menjawab pelan. Entah kenapa jiwa posesifnya kuat sekali muncul. Sebelum menikah, Ia sudah terbiasa melihat Mugayo bertemu dengan banyak wanita. Kenapa sekarang jadi seperti ini?
"Kenapa cemburu? Kurang percaya dengan suamimu yang super setia ini?"
"Percaya, Mas. Mungkin karena aku masih capek, jadi pikirannya macam-macam."
"Nanti pulang aku pijitin biar capeknya hilang. Tapi jangan diteruskan ya cemburunya? Nanti aku disuruh tidur di sofa lagi. Padahal prediksi cuaca, malam ini akan turun hujan deras dengan banyak petir."
"Prediksi cuaca apa keinginan kamu, Mas?"
Mugayo tertawa mendengar analisa istrinya.
"Ya, sudah. Aku tutup telponnya. Kamu makan yang banyak, minum vitamin, dan istirahat yang cukup. Nanti malam mungkin ada gangguan lagi yang membuat kamu susah tidur."
"Katanya disuruh istirahat yang cukup."
"Istirahat nya sebelum aku datang. Setelah aku datang, ceritanya lain. Oke?!"
Mugayo menutup telponnya dengan wajah sumringah lalu segera menuju parkiran. Janji dengan klien sekitar pukul 10.00WIB.