Chereads / TIGA CINCIN PERKAWINAN / Chapter 11 - Godaan Perkawinan

Chapter 11 - Godaan Perkawinan

Pagi pukul 06.00 WIB di sekitar Rumah Sakit Metropolitan di bilangan Jakarta, masih terselimuti hujan semalaman yang juga belum reda. Di dalam ruang rawat inapnya Mugayo termenung seorang diri di atas pembaringan menatap kosong keluar jendela yang masih gelap karena cuaca. Tak ada Nattaya menemani seperti biasanya karena wanita itu memilih pulang tadi malam dengan alasan ingin mempersiapkan kepulangan Mugayo yang rencananya akan menjalani rawat jalan. Padahal sebenarnya Nattaya kesal dengan keputusan Mugayo yang tak mau mendengar pendapatnya. Demi menghindari pertengkaran, Nattaya memilih pulang dengan alasan yang bisa diterima Mugayo. Besok ruang rawat ini akan Mugayo tinggalkan selama dua minggu namun ternyata rencana tersebut diketahui oleh Brindan.

"Selamat pagi, Pak Mugayo. Maaf mengganggu pagi-pagi. Ada hal penting yang harus saya sampaikan." Brindan masuk ke ruang rawat inap tanpa dampingan seorang suster karena memang bukan jadwal kunjungan.

"Oh, selamat pagi, Dok. Baru kali ini saya didatangi Dokter pagi pagi buta." Jujur Mugayo melepaskan keterkejutannya.

"Maaf, saya terjebak hujan tadi malam sehingga menginap di rumah sakit. Kebetulan pagi ini sedang cari sarapan lewat kamar Bapak, sekalian saja saya mampir." Brindan beralasan agar tak membuat Mugayo curiga. Matanya sesekali berkeliling mencari sosok Nattaya. Kemana dia? Batin Brindan menyimpan tanya.

"Ada hal penting apa ya, Dok?"

"Berhubung semalam saya menginap di rumah sakit, saya coba cek satu per satu data pasien yang akan saya tangani. Saat saya lihat catatan Pak Mugayo, ada permintaan rawat jalan."

"Dokter Nuhad membolehkan."

"Karena ada permintaan pasien."

"Jadi salah permintaan saya?"

"Saya bukan mencari kesalahan pasien, hanya ingin menyampaikan pendapat bahwa sebaiknya meneruskan rawat inap supaya pertemuan kita insentif. Ini semua demi kesembuhan Pak Mugayo. Saya punya target tidak sampai satu tahun. Kalau rawat jalan itu capek di perjalanan, Pak."

"Rencana hanya dua minggu, Dok. Cari suasana baru biar tidak membosankan. Sekalian mau memanjakan istri." Mugayo tersenyum meminta pengertian. Sesama dewasa tentu sudah paham kebutuhan khusus suami istri meskipun selama sakit Mugayo tak berhasil memenuhi. Mugayo tertantang ketika mendengar Ardhena hamil anak ketiga sehingga memutuskan untuk rawat jalan. Dia berharap ada keajaiban.

"Saya kira kamar rawat Bapak cukup mendukung untuk memanjakan istri. Asal jangan lupa kunci pintu dan jadwal kunjung dokter." Brindan menangkap arah pembicaraan Mugayo. Walaupun sebenarnya melalui rekam medis ia sudah tahu kemampuan vital Mugayo mengalami gangguan.

"Istri saya sudah bersiap siap di rumah. Saya khawatir dia marah lagi jika rencana rawat jalan dibatalkan. Hanya dua minggu, Dok."

"Bagaimana kalau kamar kosong ini terisi?"

"Saya cari kamar lain, Dok. Atau mengikuti saran istri untuk pindah rumah sakit jika memang tidak ada kamar kosong di rumah sakit ini."

"Jangan berpikiran untuk pindah rumah sakit, Pak. Supaya tidak memutus rangkaian pengobatan yang menurut saya sudah masuk tahap penuntasan. Saya sangat antusias ingin menyembuhkan Pak Mugayo seperti pasien saya yang lain."

"Kalau boleh tahu, kenapa Dokter pindah ke Indonesia? Bukankah karir Dokter cemerlang di Singapura?" Mugayo tetiba ingat riwayat hidup yang dibacanya tentang Brindan.

"Singapura rasa Indonesia. Rata-rata pasien saya orang Indonesia. Sehingga saya terdorong untuk pulang. Untung saja tidak dipersulit. Malah saya dijadikan dokter terbang. Ada dalam satu bulan saya seminggu di Singapura."

"Luar biasa kalau begitu. Saya jadi ingin cepat-cepat ditangani oleh Dokter Brindan Hudais. Saya kangen sehat, Dok." Mata Mugayo berbinar menyimpan harapan besar.

"Bagaimana kalau rencana rawat jalannya ditunda? Sebab saya mulai hari ini akan mengumpulkan semua pasien stroke dalam satu ruangan. Kita ngobrol santai sambil memberi dukungan satu sama lain. Lalu kita akan adakan permainan dan latihan ringan yang membuat hati senang tanpa beban. Hati yang senang dan pikiran yang tenang akan mempermudah proses penyembuhan."

"Tiap pasien kan beda kondisinya, Dok."

"Tapi semuanya sama-sama ingin sembuh. Jadi bukan kondisinya yang saya jadikan sasaran tapi tujuan dan semangat sembuhnya yang coba saya pacu."

"Saya coba diskusikan dengan istri."

"Bila perlu, saya yang menjelaskan secara langsung dengan bu Nattaya karena dukungan dari keluarga menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan."

"Maaf, Dokter tahu nama istri saya darimana?" heran Mugayo. membuat Brindan jadi sedikit gugup. Untunglah ia bisa segera menjawab, "Mohon maaf, Pak. Dalam dokumen yang saya pelajari semalam, tercantum nama penanggung jawab pasien. Kalau tidak salah membaca, penanggung jawab Pak Mugayo adalah Bu Nattaya."

"Ingatan Dokter tajam sekali. Berarti semua nama penanggung jawab pasien stroke di rumah sakit ini, Dokter hapal?"

"Jangankan penanggung jawab pasien stroke, nama pedagang di area rumah sakit, saya hapal juga." Canda Brindan mengalihkan kecurigaan Mugayo, lalu katanya lagi: "Oh, ya! Bagaimana kalau kita sarapan bareng? Saya kebetulan kangen dengan kuliner Indonesia."

"Saya menunggu istri." Jawab tegas Mugayo. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Padahal janji akan datang jam setengah tujuh.

"Pak Mugayo tidak usah sungkan. Saya bisa bantu Bapak ke kursi roda. Kita sambut istri Bapak di depan. Belum pernah kan menyambut kedatangan istri? Selama ini hanya diam menunggu?"

"Betul sekali, Dok."

"Pak Mugayo mulai ubah kebiasaan pasif. Harus lakukan kebiasaan aktif. Nanti saya pelan pelan akan ajarkan bagaimana turun dari kasur menuju kursi roda sendiri, ke kamar mandi sendiri, dan sebagainya. Otot Pak Mugayo harus banyak dilatih supaya ada kekuatan. Mari kita coba buktikan sekarang!"

"Maksud Dokter?"

"Coba perlahan bangun sendiri dengan mengalungkan kedua tangan Bapak ke leher saya."

Brindan membungkukkan badannya agar Mugayo dapat meletakkan tangan sesuai arahannya. Mugayo pun berhasil duduk. Kemudian Brindan meminta Mugayo menurunkan kakinya satu per satu.

"Bagaimana? Ada yang dirasa sakit?"

Mugayo menggeleng sambil berkata, "Dari daerah pinggang ke bawah, masih mati rasa, Dok. Susah digerakkan."

"Coba peluk pinggang saya. Lalu peluk erat-erat."

Brindan memasang badannya sambil membelakangi Mugayo yang melingkarkan tangannya lalu bertumpu pada tubuh Brindan.

"Pelan-pelan coba berdiri. Jangan takut jatuh. Saya pegang tangan Bapak." Brindan perlahan berjalan menopang tubuh Mugayo yang memeluknya dari belakang lalu mengarahkan ke kursi roda.

"Saya butuh perawat kekar seperti Dokter untuk bisa latihan tiap hari. Istri saya tidak akan sanggup menopang tubuh saya."

"Tidak usah sibuk cari perawat selama saya masih di rumah sakit ini. Tinggal telpon." Ucap Brindan seraya mendorong kursi roda yang diduduki Mugayo keluar ruangan.

"Sebentar! Handphone saya ketinggalan. Takut istri telpon."

"Biar saya ambilkan," Brindan bergegas ke dalam kamar untuk mengambil benda yang dimaksud Mugayo lalu menyerahkannya.

"Terimakasih, Dok. Jadi merepotkan."

"Tidak usah sungkan sama saya."

Lalu keduanya menyusuri lorong rumah sakit. Dari kejauhan, tampak Nattaya berjalan tergesa gesa. Ia tak menyadari jika suaminya sedang bersama Brindan.

"Mas?!" Nattaya tercekat begitu berpapasan dengan Mugayo bersama Brindan.

"Sayang. Alhamdulillah kamu datang. Mas pikir kamu ke sini sehabis pulang kantor."

"Macet, Mas. Banjir dimana mana. Ini Mas mau kemana?"

"Mau cari sarapan. Menemani Dokter Brindan. Ayo sekalian saja, Sayang."

Tatapan tajam Nattaya membuat Brindan tertunduk sesaat dan salah tingkah. Tapi bukan Brindan jika tak segera mengatasi keadaan.

"Sebenarnya ini adalah bagian terapi awal saya terhadap pasien. Saya ngin mengarahkan pemikiran pak Mugayo untuk lebih aktif melakukan sesuatu sehingga saya mengajak beliau untuk menyambut Ibu Nattaya daripada menunggu di kamar. Ajakan sarapan hanya tambahan saja supaya ada tujuan lain ketika misal Bu Nattaya tidak datang."

"Saya sudah datang membawakan sarapan. Jadi terimakasih atas terapi hari ini." Nattaya kemudian meminta Brindan untuk melepaskan pegangannya pada kursi roda Mugayo dan berbalik arah meninggalkan Brindan.

"Kenapa tidak diajak sekalian Dokter Brindan sarapan dengan kita, Sayang?" Mugayo merasa tidak enak hati.

"Sarapannya cuma cukup untuk dua orang, Mas. Lagipula ngapain pagi-pagi Dokter sudah ada di ruang pasien. Dia itu sebenarnya Dokter apa penjaga rumah sakit?"

"Jangan beranggapan negatif, Sayang. Dia terjebak hujan semalam. Jadi akhirnya menginap di rumah sakit."

"Terjebak hujan? Memang sekelas Dokter tidak punya mobil? Atau pesan melalui aplikasi apa susahnya?"

"Kamu kok sinis begitu, Sayang? Padahal dia Dokter yang baik sekali. Tadi dia setengah menggendong Mas supaya bisa berjalan ke kursi roda. Mas malah ingin membatalkan rencana rawat jalan supaya bisa setiap hari mengikuti terapi dari Dokter Brindan."

"Serius, Mas?!" Nattaya kaget campur kesal. Sebelum tahu keberadaan Brindan, ia memang lebih setuju Mugayo menjalani rawat inap. Tapi kehadiran Brindan membuat segalanya menjadi kacau. Rawat jalanpun ia enggan. Nattaya ingin membawa suaminya ke rumah sakit dimana tidak ada sosok Brindan.

"Tapi Mas terserah kamu saja, Sayang. Bagaimana baiknya."

"Baiknya kita cari rumah sakit lain saja, Mas."

"Kenapa? Secara kualitas, Dokter Brindan tidak kalah bagus dengan Dokter Nurhad. Malah mungkin lebih bagus."

"Mas jangan mudah percaya."

"Jadi menurutmu pihak rumah sakit berbohong?"

"Aku bingung untuk menjelaskannya secara detail, Mas."

"Ini yang Mas kurang paham, Sayang. Kamu sebenarnya ada masalah apa dengan Dokter Brindan?" Pertanyaan Mugayo membuat Nattaya tersudut dan memilih untuk tidak menjelaskan.

"Ya, sudah, Mas. Lanjutkan saja kalau begitu. Tidak usah berpikir macam-macam." Nattaya lalu membuka pintu kamar dan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Percuma melawan arus meskipun mengikuti arus, Nattaya tak tahu harus bagaimana.

"Sayang, pulang dari kantor, kamu ke salon ya? Ajak Ardhena untuk menemani. Manjakan tubuh kamu. Uang tabungan masih cukup kan?" Mugayo mengamati wajah istrinya yang murung.

"Uang tabungan khusus untuk pengobatan Mas saja."

"Pakailah beberapa untuk kamu ke salon, belanja atau apa saja."

"Apa aku terlihat tidak terawat sehingga harus ke salon, Mas? Belanja juga buat apa kalau sendiri?" Ucapan Nattaya justru membuat Mugayo sedih dan menghentikan sarapannya.

"Aku memang suami tak berguna."

"Mas jangan berkata seperti itu dong. Ayo habiskan." Bujuk Nattaya menyuapi suaminya.

"Habis sarapan minum obat, istirahat, tidur, lalu tunggu aku pulang. Mungkin terlambat, Mas."

"Lembur?"

"Tuh kan lupa. Katanya tadi suruh ke salon?" Nattaya mencandai suaminya sambil mencolek lembut hidung Mugayo. Di saat keduanya sedang bersenda gurau, datanglah Brindan dengan terlebih dahulu mengetuk pintu.

"Maaf mengganggu."

"Ada apa, ya?" tanya Nattaya dengan wajah keheranan.

"Nanti jam sembilan semua pasien stroke berkumpul di aula tengah. Melanjutkan apa yang tadi sudah kami bicarakan. Bagaimana Pak Mugayo? Siap?!"

"Siap, Dok! Tapi istri saya tidak bisa ikut karena harus masuk kerja."

"Tidak apa-apa. Nanti bisa saya bantu Pak Mugayo ke aula, Itu saja mungkin informasi yang ingin saya sampaikan. Permisi." Brindan beranjak keluar diiringi tatapan tanya Nattaya. Apakah mungkin Brindan menyambangi satu per satu pasiennya hanya untuk menginformasikan sesuatu yang bisa ia wakilkan pada suster. Nattaya tak mau ambil pusing. Diambilnya tas lalu berpamitan dengan Mugayo. Setiba di lorong panjang rumah sakit, Brindan menyusul langkahnya.

"Nat! Aku antar kamu! Ada hal penting yang ingin aku bicarakan tentang suaminu. Tolong jangan menolak! Santai saja seperti biasa seorang dokter dengan keluarga pasiennya."

"Kenapa kamu jadi mendikte aku?" sinis Nattaya.

"Aku butuh ruang untuk bicara empat mata."

"Sampaikan saja pada suamiku bila ada kaitannya dengan pengobatan yang akan kamu terapkan. Dia sepertinya tertarik dan berharap banyak kamu bisa menyembuhkannya."

"Iya, aku janji! Tapi tolong kamu bisa diajak kerja sama."

"Kerja sama apa?"

"Kamu jangan benci sama aku. Bersikaplah biasa. Aku selama ini merasa bersalah. Dan ingin menebus segala kesalahanku. Boleh kan, Nat?"

"Menebus kesalahan dalam bentuk apa, Brindan? Masa lalu kita sudah selesai."

"Tapi bukan berarti harus berhenti kan?"

"Aku tidak paham arah pembicaraan kamu."

"Sepulang kerja, izinkan aku mengajak makan."

"Aku terbiasa menghabiskan waktu dengan suami."

"Hanya sekedar ingin melepas rasa kangen."

"Gila kamu kangen sama istri orang!" Nattaya tak mampu membendung emosnya. "Kenapa kamu tidak menghabiskan waktu dengan istrimu saja!"

"Aku belum beristri, Nat! Aku mengunci hati dari semua wanita sejak kita gagal menikah. Aku pikir kamu tidak secepat ini menikah."

"Kenapa kamu jadi mau mengatur hidup aku?! Suka-suka aku mau menikah kapan." Ketus Nattaya. Gara-gara Brindan, perjalanan hari ini menuju kantor sungguh terasa lama.

"Oke. Aku terima kenyataan kamu sudah menikah. Aku hargai itu. Tapi tolong kasih aku kesempatan untuk bicara. Tolong, Nat!" Brindan memohon sambil memegangi tangan Nattaya yang langsung ditampik oleh Nattaya.

"Saya teriak kalau kamu masih mengikuti aku. Cepat pergi!" usir Nattaya dengan ancaman yang serius. Brindan akhirnya tak bisa berkutik. Dia biarkan Nattaya meninggalkannya.

Setibanya di kantor, nafas Nattaya masih tak beraturan. Melihat sahabatnya datang dalam kondisi yang tak biasa, mengundang rasa penasaran Ardhena yang sudah berada di ruangan sedari tadi.

"Kenapa, Nat? Seperti habis dikejar sesuatu."

"Ada Brindan!"

"Dimana?!" Ardhena setengah tidak percaya.

"Dia bertugas di rumah sakit tempat Mas Mugayo dirawat. Jadi dokternya juga."

"Serius?"

"Aku bingung sekali, Dhena! Aku harus bagaimana?"

"Kenapa jadi begini jalan ceritanya, Nat? Suamimu tahu?"

"Belum. Justru dia sepertinya sangat terobsesi dengan janji Brindan untuk menyembuhkan strokenya."

"Itu Brindan sungguhan?"

"Sungguhan, dong. Masa aku mengada-ada?! Menganggap ini cuma mimpi juga, mustahil!"

"Gawat ini!" seru Ardhena. "Lalu bagaimana kalau sampai suamimu tahu?"

"Aku sudah kasih Mas Mugayo tanda-tanda untuk menjauh, tapi malah kurang peka. Aku mau jujur belum bisa, Dhena. Khawatir terjadi pertengkaran hebat."

"Ikuti alur saja kalau begitu. Apa yang terjadi, terjadilah. Bukankah ini di luar kuasa kamu, Nat?Ayo kita mulai kerja saja!"

Keduanya lalu menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing. Sementara di rumah sakit, Brindan sudah mengakrabi Mugayo dengan kata-kata motivasi. Mugayo pun tak sabar untuk segera berkumpul di aula bersama pasien stroke lainnya.

'Nat, aku menunggu di halte kantor. Tolong minta waktu sebentar saja. Ada pesan almarhumah Ibu yang ingin aku sampaikan. Semakin kamu menolak, akan semakin sempit duniamu.'

Isi WhatsApp dari nomer yang tak disimpan, muncul di layar gawai Nattaya. Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB. Berarti waktunya untuk pulang. Wanita cantik itu sudah menebak siapa pengirim pesan. Sayang sekali tak ada Ardhena untuk berbagi kekesalan. Sahabatnya jam dua tadi mendapat tugas untuk mengantarkan proposal proyek ke sebuah instansi pemerintahan.

'Tipe Bunglon memang tidak setia pada satu warna.' Nattaya membalas diplomatis

'Maksud kamu apa?'

'Alasan kamu berubah ubah dari awal ketemu. Seolah mencari celah yang membuat aku luluh.'

'Tapi aku serius. Ada pesan almarhumah Ibu yang harus aku sampaikan'

Brindan lalu mengirim foto sebuah kotak kayu dengan ukiran jepara.

'Kasih saja ke satpam. Nanti aku ambil'

'Jadi kamu masih menolak untuk bicara empat mata?'

'Iya. Aku ingin tahu cara kamu mempersempit duniaku.'

'Maafkan aku, Nat. Terlalu emosional. Aku akan titip kotak ini ke satpam. Tolong jangan dibuang! Wasiat orang yang sudah meninggal harus dijaga'

Nattaya hanya membaca chat terakhir Brindan tanpa membalas. Di samping merasa tak penting, ada video call dari Mugayo yang harus direspon.

"Sayang, kamu jangan ke salon ya? Langsung ke rumah sakit saja."

"Mas bahagia sekali kelihatannya. Ada kabar apa nyuruh istrinya cepat pulang?"

"Tadi Mas bisa ke kursi roda dan ke kamar mandi sendiri meskipun dibantu Dokter Brindan. Sepertinya Mas harus sewa dia sampai bisa berjalan sendiri."

Mendengar nama Brindan disebut, rasanya ingin cepat mengakhiri pembicaraan.

"Mas, aku tutup dulu, ya? Ini sedang jalan keluar kantor."

"Iya, Sayang. Hati-hati di jalan. Langit sudah gelap. Kamu bawa payung?"

"Nanti pinjam Pak Satpam kalau memang hujan. Dadah, Mas." Nattaya mengakhiri pembicaraan lalu mempercepat langkah. Cuaca mendung diiringi suara petir, membuat wanita cantik itu ketakutan.

"Pak, ada payung?" tanya Nattaya pada satpam di area depan

"Sudah dipinjam semua, Bu. Oh, ya. Ada titipan."

"Maaf, Pak. Saya takut kehujanan di jalan. Bisa tolong simpan di ruangan saya? Bapak pegang kunci cadangan kan?"

"Baik, Bu. Hati-hati di jalan. Banyak petir. Mending pesan taksi saja."

"Tanggung, Pak." Nattaya kemudian berlari kecil menyusuri halaman kantor. Setibanya di luar, ternyata sudah ada Brindan menunggu dengan jas hujan memegang payung. Jantung Nattaya terasa mau copot.

"Ambil payungnya. Sebentar lagi hujan."

Nattaya tak sempat berpikir panjang untuk menolak ketika suara petir kembali terdengar. Diambilnya payung yang disodorkan Brindan, lalu melangkah pergi diiringi air hujan yang sudah mulai berjatuhan. Brindan mengikuti dari belakang. Langkah terburu buru Nattaya di tengah deras hujan dengan pikiran was-was membuat konsentrasinya pecah lalu terjatuh. Brindan pun segera menolong.

"Hati-hati, Nat! Mana yang sakit?"

"Ini gara-gara kamu," Nattaya meringis kesakitan karena kakinya terkilir. Rasanya tak sanggup bangkit sendiri dan meneruskan perjalanan.

"Aku gendong kamu, ya? Jangan berpikir macam-macam dalam kondisi darurat." Brindan segera membopong tubuh Nattaya tanpa menunggu kesediaan Nattaya. Menerobos hujan dan kilatan petir yang lumayan ekstrim. Nattaya hanya mampu pasrah dengan tubuh basah kuyup. Tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Nattaya pun tak sadarkan diri membuat kepanikan Brindan menjadi.

"Pak, tolong bawakan kereta dorong!" teriak Brindan pada satpam begitu tiba di lobi rumah sakit. Lalu meminta beberapa suster untuk mengganti pakaian Nattaya. Setelah suster selesai melaksanakan perintahnya, Brindan memasuki ruangan IGD. Mengecek kondisi Nattaya dengan telaten. Brindan lalu mengamati dalam-dalam wajah wanita di masa lalunya. Mengusap lembut ujung rambut kepala Nattaya seraya membatin seandainya waktu bisa diputar kembali. Namun ia cepat menarik tangannya ketika suster datang dan segera memberikan perintah:

"Suster, tolong nanti carikan kamar VIP ya buat Bu Nattaya. Dia butuh istirahat supaya kondisinya segera pulih."

"Suaminya sudah dikabari, Dok?"

"Nanti saya ke kamarnya. Sekalian menemani beliau menggantikan Bu Nattaya. Suster lembur ya untuk merawat Bu Nattaya. Sekitar satu atau dua hari. Pembayaran saya yang tanggung."

"Baik, Dok."

Kepala Nattaya terasa pusing begitu siuman. Di sampingnya ada suster menemani.

"Saya dimana, Sus? Mana suami saya?"

"Ibu di kamar inap yang berbeda dengan Pak Mugayo. Tenang saja, Bu. Beliau bersama Dokter Brindan."

"Kepala saya pusing sekali, Sus." Nattaya kesakitan sambil memejamkan matanya.

"Sebentar saya panggilkan Dokter Brindan."

"Dokter lain saja, Sus!" Pinta Nattaya memohon namun Brindan tiba-tiba muncul. Ia datang bersama Mugayo yang langsung ia dekatkan posisinya ke tepi pembaringan Nattaya. Mugayo langsung mengecup kening istrinya dan mengusap lembut rambut Nattaya.

"Cepat sembuh ya, Sayang. Kamu pasti capek mengurus aku. Untung saja ada dokter sebaik Dokter Brindan. Ia yang nanti menemani Mas sampai kamu benar-benar sembuh."

"Kenapa tidak menggunakan jasa perawat pria saja, Mas?"

"Mas sudah cocok dengan Dokter Brindan dan beliau tidak keberatan. Bukan begitu, Dok?"

"Iya, betul sekali!" Brindan menjawab penuh semangat. "Oh ya, Sus. Tolong cek tekanan darah Bu Nattaya."

" Baik, Dok." Suster lalu mengecek tekanan darah Nattaya. Hasilnya 70/60.

"Masih rendah. Segera tebus obat ini ya, Sus. Sambil siapkan makanan." Brindan menulis beberapa resep obat dan menyerahkan pada suster.

"Tolong berikan yang terbaik untuk istri saya, Dok."

"Dengan senang hati Pak Mugayo."

Dalam kondisi menahan rasa sakit tak tertahankan, Nattaya tak tahu lagi menyikapi kedekatan Brindan dengan suaminya.

Berselang dua hari, kondisi Nattaya semakin membaik. Ia tengah bersiap untuk kembali ke kamar inap Mugayo ketika Brindan datang mengetuk pintu kamarnya.

"Siapa?"

"Dokter Brindan."

"Saya sudah sehat, Dokter."

"Boleh masuk?"

Nattaya mendorong tas rodanya lalu membuka pintu. Brindan masih berdiri menunggu.

"Silakan masuk, pasiennya sudah mau pindah kamar." Ujar Nattaya hendak beranjak namun Brindan menahannya.

"Syukurlah. Sini saya bantu barang bawaannya."

"Terimakasih. Aku bisa sendiri."

"Tidak baik menolak orang yang sudah berniat membantu."

"Aku sedang tidak perlu bantuan," ketus Nattaya tak peduli melanjutkan langkah.

"Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan tentang kondisi suamimu." Brindan berjalan mengiringi.

"Kenapa tidak langsung ke suamiku supaya dia tahu seberapa dekat janji kamu untuk menyembuhkannya."

"Rupanya aku terlalu cepat berjanji."

Nattaya tak membalas ucapan Brindan. Ia lebih memilih diam membiarkan pria tampan di sebelahnya menjelaskan lebih lanjut.

"Mungkin lebih baik kamu masuk ke ruanganku. Ada hasil scan pak Mugayo yang menunjukkan sel kanker aktif."

"Sel kanker?!" Nattaya terperanjat dan menghentikan langkahnya.

"Maaf sekali aku harus mengatakan ini. Tapi itulah kenyataannya. Aku belum bisa menjelaskan secara langsung pada suamimu. Ayo ke ruanganku untuk penjelasan detail."

Nattaya mengikuti langkah Brindan memasuki ruangan. Perasaannya campur aduk demi mendengar penyakit kanker menyerang Mugayo di tengah strokenya. Seperti mimpi buruk sepanjang hari.

"Kamu tidak usah sedih berkepanjangan. Jalani takdirmu. Aku akan bantu semaksimal mungkin walaupun bukan berwujud kesembuhan." Brindan berbicara penuh empati pada Nattaya yang menangis tersedu. Penjelasan Brindan tentang kanker yang sudah menyerang syaraf dan tulang Mugayo, sungguh membuatnya benar-benar terpukul.

"Sebenarnya kesabaran model apa yang Tuhan inginkan dari aku? Apa belum cukup segala pengorbanan aku sebagai seorang istri? Aku cuma manusia biasa, manusia lemah. Kenapa harus seberat ini beban yang harus aku tanggung?"

"Jangan mempertanyakan kehendak Tuhan, Nattaya. Pasrahkan semuanya dan jangan putus asa." Brindan tak tega melihat kesedihan mendalam Nattaya. Dipeluknya tubuh yang sedang terpuruk. Lalu ia biarkan menangis panjang hingga air matanya membasahi sebagian kemeja Brindan.

Tak terasa waktu berjalan menuju tahun kedua bagi Nattaya merawat suami yang sakit. Pasang surut ia lalui, termasuk kesetiaan yang terlilit oleh godaan cinta yang tak kunjung mereda. Kebaikan demi kebaikan serta perhatian Brindan membuat Nattaya tak mampu menggunakan logika kecuali perasaan semakin tergantung dan membutuhkan. Terakhir ini saja biaya operasi Mugayo ditanggung sepenuhnya oleh Brindan walaupun pada awalnya Nattaya hendak menjual mobil kepada Brindan. Belum lagi urusan lain yang membuat Nattaya akhirnya pasrah masuk dalam genggaman rasa mantan kekasihnya. Ia tak punya pilihan untuk menolak. Terlebih Mugayo pun susah berpaling pada dokter lain.

"Nat, aku mau ngomong hal yang mungkin bagi kamu gila. Sama halnya ketika aku memintamu untuk menjalin kembali kisah cinta kita padahal kamu masih bersuami. Maafkan aku membuatmu jadi istri yang tidak setia. Aku pikir bisa hanya sekedarnya tanpa tujuan ke arah yang lebih serius lagi." Brindan menggenggam tangan Nattaya sambil menatap deburan ombak pantai.

"Aku sudah terlanjur gila menghadapi kenyataan pahit ini."

"Jadi kamu sudah paham maksud pembicaraanku?"

Nattaya menggeleng. "Memang apa?"

"Bagaimana kalau kita menikah siri?"

Nattaya langsung menarik genggaman tangannya dari Brindan lalu beranjak pergi.

"Tunggu, Nat! Jangan marah dulu. Mungkin menikah siri lebih baik daripada kita hanya sekedar menjalin hubungan seperti ini. Aku bisa sementara menggantikan posisi suamimu yang sakit berkepanjangan. Aku janji! Jika Mugayo mendapat mukzizat kesembuhan, aku akan pergi sejauh jauhnya dari kehidupan kalian berdua."

"Kalau suamiku seumur hidup sakit, berarti aku akan seumur hidup mempunyai dua suami?! Kamu benar-benar membuatku semakin gila!"

"Nat, aku tahu poliandri tidak ada aturannya dalam ajaran kita. Tapi posisi kamu, punya alasan khusus untuk melakukan itu. Aku hanya ingin menyelamatkan hubungan kita dari dosa yang lebih besar."

"Apa tidak semakin besar jika aku menikah lagi? Selama ini, aku hanya membagi perasaanku, bukan tubuhku buat kamu juga!"

"Tubuh dan jiwamu butuh suami yang sehat, Nat! Aku siap menanggung dosa jika pernikahan siri kita salah."

"Aku memang wanita murahan! " tangis Nattaya pecah seketika seraya berlari ke arah laut, Brindan segera menahan dan memeluk erat wanita yang sangat dicintainya itu sehingga Nattaya kesulitan untuk melepaskan diri.

"Tolong, Sayang. Jangan lakukan itu. Aku mohon, Jangan!"

"Lepaskan aku! Biarkan aku pergi bersama ombak. Aku istri yang tidak setia. Aku berdosa pada suamiku, " isak Nattaya sambil berontak namun tenaga Brindan terlalu kuat hingga akhirnya untuk kesekian kalinya Nattaya luluh dalam pelukan Brindan.

"Kamu wanita baik, Sayang. Aku yang kurang ajar berada di tengah perkawinan kalian. Tapi aku lakukan ini karena ingin menguatkan kamu. Aku ingin menjaga kehormatanmu di atas tali pernikahan."

"Cari wanita lain yang tidak bersuami, Brindan. Bukan memanfaatkan kondisi aku."

"Aku cukup kamu, Sayang. Bukan wanita lain." Brindan kembali menenangkan Nattaya yang masih berusaha melepaskan diri. "

"Jangan buat aku terjerumus lebih dalam, Brindan. Aku memang butuh bahu yang kuat untuk bersandar. Aku butuh tangan yang kuat untuk menopang langkahku. Aku memang butuh kasih sayang, tapi..... " Nattaya tak sanggup melanjutkan kalimatnya membayangkan wajah Mugayo. Ia merasa berdosa tapi keadaan yang terjadi selalu tak bisa ia kendalikan.

"Percayalah Sayang,menikah adalah pilihan terbaik diantara pilihan yang tidak baik."

"Kita putus saja, Brindan! Aku akan paksa Mas Mugayo untuk pindah rumah sakit sehingga kita tidak lagi bertemu."

"Bagaimana dengan biaya pengobatan Mugayo?"

"Aku akan jual rumah. Ambil mobilku supaya aku tidak berutang budi! "

"Tolong Sayang! Beri aku kesempatan untuk menebus kesalahan masa laluku. Di hadapan semesta alam, aku janji sekali lagi, aku akan pergi jika Mugayo sembuh. Tanpa kamu minta."

"Lepaskan aku, Brindan! Kita putus!" Nattaya berhasil melepaskan diri dan segera berlari menjauh.

"Aku tidak mau! Aku ingin kita menikah! Tuhan! Hamba mohon! restui pernikahan kami!" Brindan berteriak dan bersimpuh di tepi laut. Deburan ombak menghampiri dan membasahi tubuhnya. Ia lalu berbaring sambil menangis sekuatnya. Melihat kenekatan Brindan, Nattaya menghentikan langkahnya. Lalu berbalik mendekati Brindan. Meminta Brindan bangun agar tak terseret ombak.

"Jangan hiraukan aku, buat apa aku hidup tanpa kamu."

"Aku harus bagaimana, Brindan?"

"Menikahlah denganku. Atau tinggalkan aku di sini sambil menunggu kabar keberadaan jenazahku."

Nattaya tak berkutik dengan kenekatan Brindan. Ia akhirnya menuruti keinginan mantan kekasihnya.

"Aku menerima tawaran gilamu. Tapi dengan satu syarat lagi."

"Apapun itu aku terima."

"Kamu hanya menikahi perasaanku bukan tubuhku. Jadi lupakan malam pertama. Lupakan bulan madu."

Brindan bangun dan langsung memeluk tubuh Nattaya. "Kalau begini masih boleh kan?"

"Boleh."

"Begini?" Brindan mencium kening Nattaya.

"Boleh. Tapi tidak ada tidur bersama."

Brindan kembali memeluk Nattaya di tengah deburan ombak yang menempa tubuh keduanya.