Chereads / TIGA CINCIN PERKAWINAN / Chapter 12 - Berbahagialah Sayang

Chapter 12 - Berbahagialah Sayang

Jumat, tepat pukul 09.00 WIB, akad nikah berlangsung khidmat di sebuah kamar hotel. Dalam satu tarikan nafas, Brindan berhasil mengucapkan ijab kabul di depan wali hakim dan dua orang saksi. Tanpa ada tamu undangan. Tanpa ada rangkaian bunga indah layaknya sebuah pernikahan. Tanpa ada riasan dan pakaian mewah layaknya Ratu dan Raja sehari. Brindan dan Nattaya hanya mengenakan baju kerja putih senada. Satu set perhiasan berlian diberikan Brindan sebagai mas kawin. Setelah acara sakral ini, keduanya bergegas menuju tempat kerja masing-masing. Sementara di ruang perawatan, Mugayo tampak gelisah. Pikirannya selalu tertuju pada sang istri yang hari ini izin berangkat lebih pagi dari biasanya dengan alasan menjadi panitia pameran di kantor. Diliriknya jam dinding, masih terhitung jam kerja. Sehingga Mugayo membatalkan niatnya menghubungi Nattaya. Ia menganggap Nattaya tengah bersibuk ria dengan pekerjaannya di kantor. Hanya saja sergapan perasaan tak enak, membuatnya ingin sekali tahu kabar istrinya. Mugayo kemudian memutuskan menghubungi Brindan. Berharap bisa menemaninya mengusir gelisah hati. Namun harapan Itu sirna. Gawai Brindan tidak aktif.

"Kemana dia? Biasanya sudah datang kunjungan." Mugayo kemudian memencet bel yang terhubung ke ruang suster jaga.

"Selamat pagi," sapa Mugayo

"Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa kami bantu?"

"Dokter Brindan kemana ya, Sus? Ini sudah masuk jam kunjungan."

"Sebentar lagi datang, Pak. Maaf sedikit terlambat karena beliau hari ini kebetulan tidak menginap di rumah sakit."

"Oke. Terimakasih informasinya, Sus."

"Baik, Pak. Apakah ada keluhan dengan kondisi Bapak?"

"Nanti saja langsung ke Dokter Brindan."

"Keluhannya bisa disampaikan dari sekarang, Pak. Supaya kami bisa memberikan pertolongan pertama."

"Tidak usah. Jantung saya hanya berdebar tiba-tiba. Tapi tidak sesak."

"Kami segera ke kamar Bapak. Mohon ditunggu."

Suster menghentikan percakapan lalu bergegas menuju kamar Mugayo untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Tak lama kemudian, datanglah Brindan.

"Ada kondisi darurat, Sus?"

"Hanya mengecek kondisi jantung saja, Dok."

"Aman?" Brindan lalu menempelkan stetoskopnya ke dada Mugayo. Meneruskan pekerjaan Suster.

"Detak jantung saya terasa kurang beraturan. Entah kenapa. Semalam sudah diolesi minyak angin oleh istri saya. Sekarang semakin berdebar." Keluh Mugayo sambil mengusap-usap dadanya. Tiba-tiba saja matanya tertuju pada cincin di jari kanan Brindan. Rasanya kemarin-kemarin Brindan tak mengenakan cincin. Pikiran Mugayo berkelana sesaat tanpa ingin bertanya langsung pada Brindan.

"Obat sudah diminum semua?" tanya Brindan

"Sudah. Tadi dibantu istri saya sebelum berangkat kerja." Mugayo menjawab cepat

"Mungkin Pak Mugayo sedang memikirkan sesuatu. Atau bisa jadi karena Pak Mugayo berpikiran macam-macam karena saya terlambat." Brindan mencoba mencandai Mugayo dengan perasaan was-was.

"Bisa jadi, Dok. Memang Dokter dari mana? Suster bilang hari ini tidak menginap di rumah sakit. Apakah pulang karena ada acara yang saya tidak boleh tahu?" pertanyaan Mugayo membuat Brindan harus berhati hati menjawab.

*Iya, saya ada keperluan sebentar. Maaf tidak mengabarkan karena mendadak. Oh, ya! Bagaimana untuk menebus keterlambatan, kita jalan2 sambil menemani saya keliling mengunjungi pasien?"

"Boleh." Sambut Mugayo senang.

Brindan langsung membungkukkan badannya membelakangi Mugayo agar bisa memeluknya dan berpindah duduk di kursi roda. Dekat dengan tubuh Brindan, Mugayo mencium parfum yang biasa ia pakai. "Dokter wangi sekali. Saya jadi ingat masa-masa sehat dulu. Berjas rapi, pakai dasi, sepatu mengkilat dan gaya rambut yang kekinian. Tidak seperti sekarang, lusuh dan rambut mulai banyak yang rontok. Jangan-jangan umur saya tidak lama lagi."

"Pak Mugayo harus optimis! Semangat!"

"Kalau tidak ada Nattaya, saya ingin cepat mati saja, Dok. Atau mungkin lebih baik saya mati supaya istri saya bisa menikah lagi."

Brindan jadi salah tingkah mendengar perkataan Mugayo. Untung saja posisinya tidak saling berhadapan. Didorongnya kursi roda menyusuri koridor rumah sakit. Ia pun meminta suster untuk berjalan terlebih dahulu agar tak mendengar pembicaraan mereka. Kali ini Brindan yang didera perasaan tak karuan.

"Pak Mugayo, ucapan adalah doa. Tidak boleh mendoakan yang tidak baik untuk diri sendiri."

"Saya sepertinya ada dalam posisi sedang putus asa, Dok. Apalagi melihat Nattaya, kasihan dia."

"Tetap optimis ya, Pak." Brindan menepuk nepuk punggung Mugayo memberikan semangat.

"Dokter kapan menikah?" seketika pertanyaan Mugayo membuat lidah Brindan kelu. Dia baru sadar dengan cincin yang masih melingkar di jarinya. Pasti Mugayo sudah melihat! Panik Brindan.

"Dok, kenapa diam saja?" Kejar Mugayo.

"Oh, ya?! Tadi tanya apa ya?Saya sedang melihat ke arah IGD. Sepertinya ada korban kecelakaan," kilah Brindan memanfaatkan situasi yang memang ramai di bagian IGD.

"Dokter sudah menikah?"

"Lho kok pertanyaannya dalam sekali, Pak. Saya jadi ingin pulang untuk bulan madu."

"Dokter kenapa menikah diam-diam? Padahal saya dan istri sudah ngobrol masalah kado seandainya Dokter menikah."

"Bukan diam-diam. Kebetulan masih akad. Belum resepsi. Nantilah saya kabari kalau memang waktunya memungkinkan. Pihak rumah sakit juga belum ada yang tahu tentang pernikahan saya. Memang Pak Mugayo tahu darimana?" selidik Brindan

"Dari cincin Dokter. Saya pastikan menikah karena posisinya di sebelah kanan. Seperti saya." Mugayo menunjukkan jarinya yang memakai cincin perkawinan.

"Pak Mugayo bisa jaga rahasia? Istri Bapak juga jangan diberitahu. Ini rahasia kita berdua."

"Kenapa harus dirahasiakan? Mau nakal?"

"Bukan begitu. Kami kurang restu orangtua."

"Wah! Istri Dokter beruntung sekali. Beda dengan nasib istri saya yang ditinggal calon suaminya karena tidak mendapat restu orangtua. Untunglah saya datang di saat yang tepat."

"Pak Mugayo memang suami idaman. Beruntung Bu Nattaya memiliki suami seperti Pak Mugayo."

"Itu dulu sebelum saya sakit. Saya tidak yakin masih masuk kategori suami idaman."

"Buktinya Bu Nattaya masih setia mendampingi Pak Mugayo sampai sekarang."

"Kalau saja dia laki-laki, mungkin saja sudah menikah lagi atau memilih bercerai." Kalimat Mugayo seperti tamparan bagi Brindan. Akan tetapi pria yang tidak kalah tampan dengan Mugayo itu, hanya mampu mengucapkan beribu maaf pada Mugayo dalam hati yang paling dalam.

"Dokter Brindan," panggil Mugayo ingin mengingatkan sesuatu.

"Iya Pak Mugayo. Ada apa?"

"Supaya rahasia kita terjaga. Tolong lepaskan dulu cincin kawinnya. Nanti kalau ada yang lihat dan bertanya seperti saya, bukan lagi rahasia. Tapi berita."

Brindan bergegas mengikuti saran Mugayo yang harusnya ia lakukan sebelum Mugayo tahu. Sesal Brindan tak berguna. Bubur tak mungkin berubah menjadi nasi kembali.

"Awas jangan sampai hilang. Pakai lagi kalau sudah sampai di rumah."

"Terimakasih atas sarannya, Pak Mugayo."

"Ada lagi saran saya. Dokter harus coba. Biasanya trik ini bisa meluluhkan hati yang keras."

"Apa itu?"

"Segera punya anak dan bawa ke kakek neneknya."

"Akan saya pertimbangkan," sambut Brindan tak begitu semangat sambil mendorong kursi roda Mugayo masuk ke kamar pasien.

'Sayang, pulang jam berapa? Aku sudah di hotel tempat akad kita' pesan Brindan masuk di kala Nattaya tengah duduk santai di lobi, menunggu jam 16.00 WIB tiba sebagai tanda waktu pulang kantor. Biasanya ada Ardhena menemani tapi ibu menyusui itu pulang cepat karena babynya sedang sakit.

'Selamat tidur sendiri pengantin baru' balas Nattaya santai namun sebenarnya hati kacau.

'Bisa sebentar ketemu di hotel?'

'Ingat perjanjian awal kita' balas Nattaya cepat

'Iya. Hanya sedikit pelukan saja. Boleh?'

'Mas Mugayo sudah menunggu. Maafkan istri palsumu ya?'

'Tapi aku bukan suami palsu. Kapanpun siap memenuhi kewajiban sebagai seorang suami yang sesungguhnya'

Mengamati chat yang sudah menjurus ke hal yang sangat privasi, Nattaya mematikan data selulernya. Tak mau terjebak ke dalam rayuan Brindan yang telah menjadi suami sirinya. Nattaya merasa aneh sendiri bisa menjalani dua bahtera perkawinan. Bahtera yang sedang dijaganya dipimpin oleh suami yang sakit. Sedangkan bahtera yang baru dibina, dipimpin oleh suami yang sehat. Nattaya seolah berada pada jalan labirin yang membingungkan.

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh menit perjalanan, Nattaya tiba di rumah sakit. Ia sejenak menoleh hotel tempat ia dan Brindan berada dalam satu kamar untuk melakukan pernikahan siri. Terbetik rasa kasihan membiarkan Brindan sendiran di malam pertama mereka nanti. Ah! Untuk apa memikirkan dia! Suruh siapa juga memaksa menikah! Sudah tahu aku masih terikat pernikahan dengan Mas Mugayo, akhirnya pernikahan yang seharusnya indah menjadi sebatas fatamorgana. Nattaya membawa kegalauannya berjalan menuju kamar inap suaminya.

"Assalamualaikum," Nattaya tersenyum lebar membuka pintu disambut senyuman bahagia Mugayo.

"Kamu baik-baik saja kan, Sayang?"

"Baik. Memang kenapa, Mas?" tanya Nattaya sambil mencium punggung tangan suaminya.

"Tadi perasaan Mas tidak enak. Untung saja Dokter Brindan menemani Mas sampai jam tiga."

"Seharian?"

"Iya. Sehabis mengunjungi pasiennya, dia di kamar ini sambil tiduran di tempat biasa kamu tidur. Mas juga sempat ikut berkeliling mengunjungi pasien lainnya tapi hanya lima orang saja, setelah itu Mas minta diantar ke kamar oleh perawat. Kalau semuanya Mas ikutin, kasihan Dokter Brindan harus mendorong kursi roda ke sana kemari. Energinya bisa terkuras."

"Lalu Ngobrolin apa sama dokter kesayanganmu itu, Mas?" tanya Nattaya sambil meneguk segelas air. Dari kejauhan, Mugayo melihat ada yang lain di jemari istrinya. Seperti cincin baru yang tidak pernah ia beli. Hal itu lebih menarik perhatian Mugayo daripada menjawab pertanyaan Nattaya.

"Beli cincin baru? Atau hadiah seseorang?"

Untung saja gelas di tangan Nattaya tidak jatuh.

"Oh, maaf Mas. Aku lupa bilang kalau tadi dapat arisan di kantor berupa cincin berlian. Mas tidak marah kan aku ikut arisan barang? Tidak sampai mengganggu uang pengobatan, kok. Aku sisihkan satu juta dari gaji aku."

"Jangan ketakutan begitu dong, Sayang. Sini Mas lihat. Palsu atau bukan?"

"Asli dong, Mas," Nattaya mendekati suaminya . Membiarkan Mugayo melihat cincin baru yang melingkar di jari manisnya. Tampak terpasang berjejer dengan cincin perkawinannya dengan Mugayo. Kecerobohan terbesar yang hampir saja membongkar sebuah rahasia. Nattaya benar-benar lupa sehabis akad tadi pagi tak melepas mas kawin Brindan. Sama halnya dengan lupa Brindan yang juga nyaris membuka tabir yang pasti akan membuat Mugayo sangat terpukul dan marah besar.

"Bagus, Sayang." Puji Mugayo sesaat memperhatikan cincin Nattaya. Namun dia tak mau membahas lebih lanjut meskipun sempat teringat dengan cincin Brindan. Kenapa waktunya bisa bersamaan.

"Sini Mas pijitin. Kamu pasti capek."

"Nanti saja, Mas. Aku mau mandi dulu. Biar segar." Nattaya berlalu mengambil handuk lalu menuju ke kamar mandi berbarengan dengan suara ketukan pintu.

"Masuk!" Mugayo mempersilakan

"Permisi Pak Mugayo. Selamat sore." Seorang Suster muncul dari balik pintu.

"Iya, ada apa?"

"Besok jadwal kemoterapi. Dokter akan memeriksa kondisi Bapak secara keseluruhan jam tujuh nanti."

"Tidak usah dilanjutkan saja Sus, kemoterapinya. Saya sudah capek."

"Kalau putus harus diulang dari awal. Sayang sekali, Pak. Bapak harus semangat."

"Saya sudah hilang semangat. Biarkan saja mau seberapa lama tubuh saya kuat tanpa kemoterapi."

"Istri Bapak setuju?"

"Saya yang putuskan."

"Baiklah, Pak. Tapi mungkin ada berkas yang harus Bapak tanda tangani."

"Bawa saja kemari."

"Baik, Pak." Suster kemudian meninggalkan kamar. Setibanya di luar, Suster bertemu dengan Dokter Brindan yang hendak mengunjungi kamar inap Mugayo. Pria ini sebenarnya ingin bertemu dengan Nattaya. Ada rindu yang tak tertahankan sepanjang ia menghabiskan waktu sendiri di kamar hotel.

"Kebetulan sekali, Dok. Baru saja Pak Mugayo menolak untuk kemoterapi besok."

"Kenapa?"

"Katanya sudah tidak semangat."

"Baik. Saya coba tanyakan lagi." Brindan membawa langkahnya menuju kamar nomer 123. Di depan pintu, ia sempat mendengar suara Nattaya dan Mugayo tengah bertengkar. Ia pun mengurungkan niat untuk masuk lalu memilih duduk di ruang tunggu yang tidak begitu jauh dari kamar 123 agar ia bisa memantau, apakah Nattaya keluar atau tidak karena biasanya dalam pertengkaran, ada saja yang memilih keluar untuk menenangkan diri. Ternyata dugaan Brindan terbukti, tak lama ia duduk, Nattaya keluar dengan berlinang air mata. Langsung saja Brindan berlari menyusul langkah cepat Nattaya.

"Mau kemana, Sayang?"

Nattaya menengok sebentar tapi tak mau berhenti.

"Ayo aku antar! Jangan pergi jauh-jauh kalau sedang kesal."

"Aku mau ke hotel. Kenapa kamu sudah ada di belakangku?"

"Jalan pelan-pelan saja kalau begitu."

"Aku sedang kesal, Brindan!"

"Apa kekesalanmu hilang dengan jalan cepat seperti ini?"

"Aku mau cepat sampai. Aku mau tidur! Cape menghadapi laki-laki egois!"

*Tenang sedikit, Sayang. Sini aku pegang tanganmu biar kesalnya berkurang." Brindan mengimbangi langkah Nattaya dan cepat menggenggam tangan istri sirinya.

"Kalian sebenarnya bertengkar apa?"

"Kamu menguping?" pandangan Nattaya mulai tidak bersahabat.

"Maaf tidak sengaja. Kebetulan aku dapat kabar dari Suster kalau Pak Mugayo meminta berhenti kemoterapi. Jadi aku mau coba menanyakan kebenarannya." Brindan mencoba mendinginkan suasana hati Nattaya.

"Aku tidak habis pikir dengan keputusannya. Apa dipikirnya cuma dia yang capek? Cuma dia yang putus asa? Aku lebih dari itu sehingga aku menjadi wanita tidak normal punya suami dua!"

"Hush! Jangan keras-keras! Nanti ada yang dengar bisa kacau."

"Biar saja kacau sekalian. Atau kalau perlu adukan saja pada Mas Mugayo biar dia menceraikan aku! Untuk apa bertahan dengan orang yang sudah tidak mau berjuang!"

"Sayang, penderita sakit berkepanjangan butuh dukungan yang ekstra. Kita tidak bisa mengikuti emosi mereka dengan emosi juga. Harus pelan-pelan."

Nattaya tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Pergilah temui Mas Mugayo! Bujuk dia supaya mau melanjutkan kemoterapinya. Aku butuh istirahat. Bisa pinjam kunci kamar?"

Brindan merogoh saku celananya dan memberikan kunci yang diminta Nattaya.

"Malam ini, tolong temani Mas Mugayo. Aku butuh sendiri." Nattaya meninggalkan Brindan yang masih terpana di tempatnya namun tak berlangsung lama. Brindan berbalik langkah menuju rumah sakit, mengikuti permintaan Nattaya. Biarlah Nattaya menenangkan diri.

Selepas shubuh Nattaya berniat hendak kembali ke rumah sakit. Ia tidak membawa baju kantor dan perlengkapannya. Suasana hati Nattaya juga sudah mulai tenang. Ia ingin tahu apakah Brindan berhasil membujuk Mugayo atau tidak. Diintipnya suasana di luar melalui jendela kamar hotel,apakah sudah mulai terang ataukah masih gelap gulita. Ternyata jalanan sudah mulai ramai meskipun belum terlalu terang. Nattaya memutuskan untuk keluar. Tak disangka, justru Brindan sudah berada di depan pintu kamar hotel.

"Selamat pagi, Sayang." Sambut Brindan sambil menenteng plastik berisi baju kerja Nattaya dan lain-lain. Brindan mempersiapkan sendiri ketika Mugayo tengah berada di kamar mandi lalu menitipkan sebentar ke ruang jaga suster sehingga Mugayo tidak tahu barang-barang Nattaya yang dibawa oleh Brindan.

"Kamu bikin kaget saja. Sudah lama di sini?"

"Belum. Baru saja sampai. Ini aku bawakan perlengkapan kantor kamu. Ada beberapa baju tidur juga. Siapa tahu kamu masih mau menginap di sini. Kalau ada yang kurang, nanti aku belikan saja." Harapan Brindan ada pujian kecil atau sambutan hangat dari istri sirinya tapi Nattaya ternyata lebih memikirkan suami pertamanya.

"Mas Mugayo bagaimana? Berhasil kamu bujuk untuk lanjut kemoterapi?"

"Apa tidak sebaiknya kita ngobrol di dalam? Supaya enak. Lagi pula kita sudah menikah. Apa yang dikhawatirkan?"

"Oh iya, silakan pak suami siriku yang bikin aku jadi wanita tidak normal." Nattaya membuat Brindan tergelak padahal tidak bermaksud bercanda. "Aku kembali ke rumah sakit saja, ya?'

" Sayang, aku juga suamimu. Jangan sia-siakan perjuangan aku membawakan keperluanmu hari ini."

"Siapa yang suruh?" protes Nattaya tak nyaman.

"Sudah jangan berdebat! Tutup pintunya! Kita bicara santai sambil menunggu sarapan tiba. Aku sudah pesan tadi."

"Kamu masih ingat kan dengan perjanjian kita?"

"Masih. Memang aku terlihat bagaimana sehingga harus bertanya soal perjanjian?"

Nattaya perlahan menutup pintu kamar dengan perasaan masih tidak nyaman.

"Mau melanjutkan pembicaraan atau hanya berdiri ketakutan di situ? Apa aku seperti hantu atau mungkin om-om nakal?" Brindan memperhatikan Nattaya masih ragu untuk mendekatinya.

"Kedua duanya." Jawab Nattaya tanpa sungkan.

"Sudahlah jangan seperti anak kecil. Sekeras apapun kamu menolak hubungan kita, aku sudah memilihmu sebagai istri."

"Lalu?" Nattaya masih memilih berdiri.

"Kamu santai saja.'

"Aku mau siap-siap ke kantor. Permisi." Nattaya bergegas ke kamar mandi. Berkali kali ia pastikan kondisi pintu sudah terkunci. Baru setelah dirasa aman, ia melepaskan pakaiannya untuk membersihkan diri. Di sela gemericik air yang mengalir, terdengar suara Brindan dari luar. Nattaya mematikan kran untuk mendengar apa yang dikatakannya.

"Pakaian dalam dan pakaian kerjamu masih tertinggal di luar. Kamu jangan keluar pakai handuk!"

"Astagaaa!" Nattaya kaget bukan main dengan kecerobohannya. Bagaimana nanti ia keluar? Harus mengenakan lagi pakaian yang tadi dipakainya semalaman? Aku harus minta Brindan untuk keluar kamar.

"Tolong kamu keluar dulu ketika aku sudah selesai!"

Tak ada sahutan dari luar. Nattaya semakin panik dan mempercepat mandinya.

"Brindan! Brindan?!" panggil Nattaya. "Kamu sudah keluar belum? Aku sudah selesai. Tolong taruh tas pakaianku depan pintu kamar mandi."

"Suaramu tidak jelas, Sayang. Keluar saja pakai baju semalam," Brindan memilih tiduran sambil menonton televisi. Volume agak ia keraskan supaya tidak mendengar jelas suara Nattaya. Ia ingin memancing emosi Nattaya. Biasanya kalau sudah emosi, ia akan menangis. Saat ia menangis, sangat mudah bagi Brindan untuk memeluknya. Tiba-tiba terdengar suara teriakan Nattaya dari dalam kamar mandi dan wanita itu keluar ketakutan sambil mengenakan handuk. Sejenak Brindan terkesima dengan apa yang dilihatnya. Seperti mendapatkan rejeki tak terduga melihat Nattaya hanya mengenakan handuk.

"Ada kecoa, Mas! Cepat usir!"

"Dimana?!" Brindan terlonjak bangun dan memeriksa kamar mandi. Imajinasinya buyar seketika. Di saat Brindan sudah masuk kamar mandi, Nattaya segera mengunci dari luar.

"Kamu mandi saja, Brindan! Sambil menunggu aku selesai!" Suara Nattaya menyadarkan Brindan bahwa ia dijebak! Apa harus dikata, daripada menunggu tak jelas di ruang sempit ini, Brindan akhirnya memutuskan untuk mandi dan menyempatkan untuk memuji sekaligus menyindir siasat istri sirinya.

"Kamu memang lebih cerdik dari kancil, Sayang."

"Dan kancil selalu berhasil memperdaya buaya," sahut Nattaya tersenyum menang. Setelah selesai berpakaian dan berhias diri, Nattaya membuka kunci kamar mandi lalu mengetuknya sambil berucap, "Aku berangkat suami siriku. Maafkan aku tidak bisa menemani sarapan."

Pagi itu, pasangan siri Nattaya dan Brindan memulai dramanya sendiri.

Selesai mengerjakan pekerjaan di kantor, Nattaya izin untuk menemani Mugayo menjalani kemoterapi. Sebenarnya ia terlambat karena proses kemoterapi sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Kesiapan Brindan untuk menemani Mugayo, sangat membantu Nattaya. Lelaki yang sudah mengikatnya dengan sebuah akad suci di depan wali hakim itu tengah menunggu setia di Pusat Pelayanan Radioterapi dan Kemoterapi Terpadu. Sesekali pandangannya menuju ke lorong rumah sakit, tempat biasa orang lalu lalang lewat. Ia menunggu kehadiran Nattaya. Tiba-tiba gawainya berdering.

"Brindan," suara Nattaya terdengar merintih kesakitan.

"Kamu kenapa, Sayang?"

"Aku terkilir. Sakit sekali. Bisa jemput aku?"

"Dimana?"

"Di lobi kantor."

*Aku jemput pakai mobil ya? Tunggu sebentar!"

Brindan lalu mampir menghampiri suster jaga untuk menitipkan Mugayo jika sudah selesai kemoterapi untuk dibawa ke kamarnya.

"Tolong jaga sampai saya datang. Ini tipsnya.* Brindan memberi beberapa lembar uang berwarna merah dari sakunya. Kecemasan tampak tergambar di wajah tampannya. Ingin sekali cepat sampai lalu mengolesi kaki Nattaya yang terkilir. Mungkin nanti harus diberikan saran untuk tidak memakai sepatu ber hak tinggi, pikir Brindan sambil merencanakan membawa Nattaya ke toko sepatu setelah sakitnya sembuh.

"Pak, saya ingin bertemu dengan Bu Nattaya." Brindan yang datang membawa kursi roda, menghadap satpam kantor agar mendapat izin masuk.

"Oh ya silakan. Bu Nattaya ada di lobi. Baru saja kakinya terkilir."

"Sudah diberi pertolongan pertama?"

"Sepertinya sudah Pak. Silakan masuk."

"Terima kasih." Brindan melangkah masuk dan mendapati Nattaya tengah ditemani Ardhena.

"Selamat siang. Bagaimana keadaannya?"

"Sepertinya harus dipijit. Minta diantar ke alamat ini saja." Ardhena memberikan secarik kertas berisi alamat dan nama tukang pijit yang sudah ia persiapkan. Brindan menerima sambil memberikan sesuatu.

"Ini saya bawakan obat pereda nyeri. Ada roti dan minumnya. Tolong diminum dulu sebelum ke tukang urut. Barangkali sakitnya reda dan tidak perlu dipijat. Cukup ganti sepatu yang tidak ada hak nya."

Perhatian sekali, ujar Ardhena membatin. Ini jangan-jangan mereka ada hubungan khusus. Dari cara Brindan memandang dan Nattaya membalas tatapan sang mantan, jelas ada yang mereka sembunyikan. Ah! Aku kenapa jadi berpiikiran jauh. Kalaupun terjadi, mereka sama-sama dewasa. Nattaya butuh seseorang yang menguatkannya karena bukan pekerjaan mudah mengurus suami yang sakit menahun. Semoga saja hubungan mereka masih di garis kewajaran.

"Dhena, aku sudah ada Brindan. Kalau kamu mau melanjutkan pekerjaan, boleh tinggalkan aku. Terima kasih ya." kata halus Nattaya terasa pengusiran bagi Ardhena. Namun ia tidak lantas tersinggung karena memang banyak pekerjaan yang masih belum selesai.

"Baiklah. Tolong jangan lupa kabari suamimu kalau kamu pergi dengan lelaki lain."

"Mas Mugayo sudah kenal Brindan. Dia kan dokter yang melebihi saudara." Nattaya mencoba menepis nada kecurigaan sahabatnya.

"Justru itu jangan sampai kalian jatuh cinta lagi.

Ups! Maaf, aku keceplosan." Ardhena bergegas pergi menghindari komentar Nattaya ataupun mungkin Brindan. Namun keduanya tak mau ambil pusing karena pada kenyataan mereka sudah terlalu jauh mengambil keputusan, tidak hanya sekedar cinta lama bersemi kembali. Nattaya lalu meminta Brindan memindahkannya ke kursi roda.

"Kamu mau diantar kemana?" tanya Brindan

"Menurutmu sebaiknya diantar kemana istri sirimu ini suami keduaku?" Nattaya mulai membuka candanya pada Brindan

"Sepertinya kasur hotel lebih nyaman dari kasur rumah sakit. Bagaimana kalau kamu di hotel dan aku tetap jaga suami pertama?" Brindan mencoba mengimbangi candaan Nattaya

"Sudah, ah! Jangan dibiasakan sebutan itu. Ayo antar aku ke hotel. Obatmu membuat aku mengantuk."

"Siap Tuan Puteri." Brindan mempercepat dorongannya pada kursi roda yang ditumpangi Nattaya menuju mobil.

"Ayo aku bantu berdiri."

Nattaya pelan pelan bangun dari kursi roda dibantu oleh Brindan, namun ternyata bagian kakinya yang terkilir terasa nyeri. "Sakit, Mas."

"Apa? Kamu panggil apa aku tadi? Adem sekali sampai merinding kuping mas Brindan."

"Jangan tersanjung dulu, aku tadi tidak sengaja." Sungut Nattaya sambil bersandar di jok depan mobil Brindan. Pasti sepanjang perjalanan Brindan akan membahas panggilan yang biasa ia sematkan untuk Mugayo. Duga Nattaya risih sendiri.

"Pasang seatbelt, Sayang." Pinta Brindan pada Nattaya seraya menjalankan mobilnya. "Cuaca mendung sekali. Kamu yakin mau sendiri di hotel?"

"Yakinlah. Apa mau rahasia kita terbongkar?"

"Iya juga. Tapi mungkin aku agak malam saja ke rumah sakitnya. Mas Brindan seperti masuk angin, perlu dikerik."

"Yang kerik siapa?" Curiga Nattaya

"Istrilah. Siapa lagi istri Mas Brindan?"

"Jangan memulai, Brindan!" Nattaya mulai tak jenak dengan arah pembicaraan suami sirinya.

"Yang memulai siapa? Kamu kan tadi yang terlebih dulu panggil aku Mas? Aku senang, lho. Dan kesenangan yang diberikan seorang istri kepada suaminya adalah pahala. Sekecil apapun itu."

"Pernikahan kita itu hanya sebatas pura-pura."

"Pura-pura untuk apa?"

"Aku tidak tahu!" Bingung Nattaya.

"Jangan bohongi perasaanmu. Kalau bukan karena cinta, mana mungkin kamu mau menikah dengan Mas Brindan. Padahal waktu itu, kamu bisa saja biarkan Mas Brindan dibawa ombak."

"Jadi aku salah menyelamatkan nyawa kamu?!" nada Nattaya sudah mulai meninggi. "Atau kamu talak aku saja sekarang. Selesai!"

Brindan tersenyum lebar menanggapi kemarahan Nattaya. "Kenapa hanya tersenyum? Kalau rugi sudah menikahi aku tapi tidak bisa berbuat banyak layaknya pasangan suami istri, ayo talak aku!"

"Kamu tambah cantik kalau marah. Mas Brindan jadi tambah cinta."

"Mas Brindan! Mas Brindan! Tidak pantas!"

"Lalu pantasnya apa? Aa? Akang? Abang?"

"Tidak tahu!"

"Kasih dong panggilan sayang buat suami sirimu ini. Itu juga pahala."

"Cukup, Brindan! Kamu sebenarnya maunya apa?"

"Aku mau dapat panggilan sayang dari kamu. Masa sama suami panggil nama. Padahal ada panggilan papa,ayah,kanda,cinta,atau Mas! Panggilan di saat berdua saja seperti sekarang ini."

"Aku lebih senang panggil nama saja."

"Tidak mau mendapatkan pahala?"

"Pahala apa dosa?! Mungkin sebentar lagi aku akan mendapat azab karena sudah menduakan Mas Mugayo."

"Jangan asal bicara!" Brindan tak suka dengan ucapan Nattaya yang menurutnya gegabah. "Tuhan itu Maha Baik. Dia sangat memahami HambaNya. Kita menikah bukan persoalan pengkhianatan tapi lebih kepada keadaan darurat."

"Darurat perang?!" sambung Nattaya sekenanya

"Darurat cinta." Ralat Brindan tenang. " Semoga di hadapan Tuhan, kita adalah pasangan halal."

Brindan tiba- tiba menggenggam tangan Nattaya yang langsung ditepis. "Jangan memulai drama!"

"Kita sudah memasuki babak drama, Sayang. Kenapa tidak kita nikmati saja? Apa salah seorang suami menggenggam tangan istrinya?"

"Jelas salah karena takut mengganggu konsentrasi pengemudi."

Di tengah perdebatan, Brindan terdiam seolah tengah merasakan sesuatu. Ditepuk tepuknya dada yang terasa sakit tiba-tiba. Merasa kondisinya tidak baik-baik saja, Brindan menepikan mobilnya.

"Brindan? Kamu kenapa?!" Nattaya panik melihat Brindan yang langsung terkulai lemas tak sadarkan diri di balik kemudi. Hanya teriakan minta tolong yang bisa Nattaya lakukan untuk mendapatkan perhatian orang-orang di sekeliling.

"Tolong bawa ke rumah sakit terdekat, Pak!"

Beberapa orang yang datang sigap memindahkan tubuh Brindan ke jok belakang lantas satu orang bergegas mengemudikan mobil ke arah rumah sakit. Kejadian yang begitu cepat membuat Nattaya tak mampu membendung tangisnya.

"Ya Allah! Tolong selamatkan suami hamba, " lirih Nattaya dalam hati.

Mugayo yang seharian mengalami beberapa efek samping yang kurang menyenangkan pada tubuhnya setelah menjalani kemoterapi, seperti rambut rontok, rasa nyeri di sekujur tubuh, nafsu makan menurun,mual dan muntah, sesak nafas, hingga sulit tidur, merasa heran dengan ketidakmunculan istrinya begitupun dengan Brindan. Biasanya mereka selalu setia berada di dekatnya, memberi dukungan dan perawatan penuh pada kondisinya yang melemah.

"Sus, istri saya mana? Kenapa dari tadi Suster yang menemani saya? Dokter Brindan juga tidak kelihatan."

"Bapak tenang saja. Tidak usah banyak pikiran karena kondisi Bapak juga butuh perhatian khusus." Suster tak menjawab pertanyaan Mugayo.

"Kemana mereka, Sus?" desak Mugayo di balik selimutnya dengan wajah pucat. Suster jadi serba salah untuk mengabarkan berita buruk tentang Brindan dan Nattaya.

"Bapak tidur saja ya? Istirahat."

"Saya susah tidur, Sus. Biasanya istri saya yang mengusap usap rambut saya sampai tertidur. Nyeri sekali badan saya, Sus. Harus berapa kali saya menjalani ini."

"Bapak sudah menjalani 5 siklus kemoterapi. Tinggal satu kali. Semoga gejala ini tidak akan muncul lagi di kemoterapi yang terakhir. Bapak yang semangat ya?"

"Paling saya sudah mati sebelum masuk kemoterapi terakhir." Nada Mugayo putus asa. Lalu ia kembali menanyakan Nattaya dan Mugayo.

"Kemana istri saya dan Dokter Brindan? Suster seperti menutupi sesuatu. Cerita saja!"

"Saya akan cerita setelah kondisi Pak Mugayo stabil."

"Ceritakan sekarang, Sus!"

"Saya baru dapat kabar tapi belum melihat secara langsung karena harus menunggui Bapak." Tutur Suster berhati-hati.

"Kabar apa?"

"Mereka kecelakaan."

Deg! Jantung Mugayo bereaksi cepat. Nafasnya tersengal-sengal parah membuat Suster panik dan berlari keluar meminta bantuan. Segera tim medis memberikan pertolongan pacu jantung. Ada sekitar lima belas menit Mugayo berada di masa kritis hingga akhirnya bisa terlewati. Selang oksigen pun dipasang tim medis agar kondisi Mugayo semakin stabil.

"Segera kabari keluarganya!" Perintah dokter.

"Kebetulan istrinya yang bersama Dokter Brindan di ruang ICU, Dok. Sementara masih menunggu kedatangan pihak keluarga lainnya."

"Baiklah kalau begitu. Tolong bantu pantau sampai keluarganya datang. Saya kebetulan hendak kesana juga mengecek kondisi pasien yang ada di ICU."

"Baik, Dok."

"Tiga korban yang bersama Dokter Brindan sudah dipulangkan?"

"Dua sudah, satu masih harus dirawat intensif, Dok."

Kecelakaan tunggal yang terjadi kemarin siang, membuat Brindan dan Nattaya harus mendapatkan perawatan khusus di ruang ICU. Kondisi mereka kritis setelah mobil yang dikendarai seseorang yang berniat membantu mereka membawa ke rumah sakit, menghantam trotoar dan hilang keseimbangan. Sebenarnya lebih kritis Brindan karena ia terlebih dahulu terkena serangan jantung sebelum kecelakaan terjadi.

"Suster, " suara lirih Mugayo memanggil.

"Alhamdulillah Bapak akhirnya siuman. Bagaimana? Apakah masih terasa sesak?"

Mugayo menggeleng pelan sambil menahan rasa sakit. "Bagaimana keadaan istri saya dan Dokter Brindan? Mereka tertolong kan?"

"Iya, Pak. Mereka mendapatkan perawatan terbaik di rumah sakit. Bapak konsentrasi pada kesehatan sendiri dulu saja, ya? "

"Saya ingin menengok istri saya."

"Nanti saya antar Bapak kalau sudah masuk ruang rawat. Bapak yang tenang ya? Supaya kondisi Bapak tidak menurun lagi."

"Istri saya pasti selamat kan, Sus? Ambil jantung saya kalau dia kenapa-kenapa. Lebih baik saya yang mati."

"Doakan yang terbaik untuk istri Bapak. Jangan berpikir macam-macam."

"Mereka kenapa bisa kecelakaan, Sus?"

"Menurut penumpang selamat yang satu mobil dengan istri Bapak, mereka awalnya berniat menolong Dokter Brindan yang terkena serangan jantung. Bu Nattaya kondisi kakinya terkilir sehingga meminta pertolongan warga untuk membawa mobil ke rumah sakit. Kabarnya orang yang mengemudi belum begitu mahir menyetir sehingga terjadilah kecelakaan tunggal. Kebetulan pengemudi mobil Dokter Brindan juga cukup parah lukanya."

"Istri saya apa yang terluka?"

"Kepalanya kena benturan keras."

"Kalau Dokter Brindan?"

"Dokter Brindan keadaannya cukup mengkhawatirkan. Kita sama-sama doakan semoga mereka bisa melewati masa kritis."

"Saya boleh minta tolong, Sus?"

"Apa itu Pak Mugayo?"

"Ambilkan saya tasbih dan kopiah di laci. Saya mau sholat."

"Wudhunya tayamum saja ya, Pak."

Mugayo mengangguk. Rasa nyeri yang muncul sehabis kemoterapi masih saja mengusik namun apapun kondisinya saat ini, ia lebih mengkhawatirkan kondisi Nattaya. Andai saja raganya kuat, ingin sekali berlari melihat kondisi istrinya. Ia ingin berada di samping Nattaya melewati masa kritis. Selepas sholat, Mugayo khusu' memanjatkan doa:

"Ya Allah! Selamatkanlah wanita yang paling hamba sayangi. Bertahun tahun lamanya dia sabar mengurus hamba. Padahal dia punya kuasa untuk meninggalkan hamba." Mugayo menangis tersedu membayangkan Nattaya. Takut sekali rasanya ditinggalkan oleh sang istri. "Andaikan ia melakukan kesalahan, maafkanlah. Hamba pun memaafkan kesalahannya, apapun itu. Hamba sebagai suami punya banyak kekurangan. Banyak hak yang tidak hamba berikan sementara kewajibannya tunai hamba terima. Hamba mohon kesembuhan untuk Nattaya. Tolong sadarkan ia, tolong Ya Allah! Lepaskan ia dari masa kritisnya. Juga lelaki baik yang sudah hamba anggap saudara, Dokter Brindan Hudais."

Mugayo terus mengayuh doanya. Berulang dan berulang hingga ia tertidur letih memeluk tasbihnya.

Mugayo akhirnya berhasil mendapatkan izin untuk masuk ruang ICU di tengah kondisi tubuhnya yang masih lemah. Diantar sang adik, Mugayo menguatkan hati untuk melihat dari dekat keadaan keduanya. Betapa terpukul Mugayo setibanya di ruang isolasi melihat peralatan medis yang menempel di tubuh Nattaya juga Brindan. Keduanya tergeletak koma. Tanda vital yang tertera dalam alat monitor berupa tekanan darah, suhu tubuh, saturasi oksigen, detak jantung, serta frekuensi pernapasan, terpantau dengan grafik garis warna-warni yang berbunyi setiap saat.

"Tolong bilang suster untuk melepas cincin Nattaya dan Dokter Brindan." bisik Mugayo pelan pada adiknya.

"Kenapa harus dilepas?"

"Bagaimana kalau hilang? Mereka koma." Dalih Mugayo padahal di balik itu, ia ingin membuktikan sesuatu yang selama ini ia simpan rapat. Tak berselang lama, suster datang dan mengikuti permintaan Mugayo.

"Ini cincinnya, Pak."

"Terima kasih, Sus." sambut Mugayo dengan perasaan cemas. Diam-diam dilihatnya bagian dalam cincin, mengamati adakah inisial yang tertera. Ternyata ada! Inisial B di cincin yang dikenakan Nattaya dan inisial N di cincin Brindan. Jantung Mugayo terasa terhempas. Di helanya nafas dalam-dalam untuk menenangkan emosi, kemudian menyeka titik air di ujung matanya.

"Antar Mas kembali ke kamar!" suara Mugayo bergetar menahan rasa. Tangannya erat mengepal dua cincin.

Seminggu berada dalam kondisi koma, seminggu pula Mugayo rajin menyambangi ruang ICU tempat Nattaya dan Brindan berjuang hidup. Tak putus-putus doa Mugayo agar mereka segera diberikan kesadaran dan kesembuhan.

"Ayo bangun, Sayang. Mas kangen." Mugayo mencium lembut punggung tangan Nattaya berkali-kali sambil mengusap kening wanita yang sangat dicintainya. Meskipun ia sudah menemukan bukti telah dikhinati, namun baginya tak sebanding dengan pengorbanan Nattaya selama ini.

"Kamu berhak untuk bahagia, Sayang. Mas ikhlas dengan keputusan kamu. Ayo bangun, Sayang. Mas ingin sekali menghembuskan nafas terakhir dalam pelukanmu. Tolong jangan kamu yang pergi! Mas saja! Mas tidak sanggup harus kehilangan kamu. Ayo Sayang, bangunlah! Dengarkan restu Mas atas hubunganmu dengan Dokter Brindan. Dia orang baik. Mas yakin dia bisa menjadi pengganti Mas yang jauh lebih baik. Kamu butuh suami yang sehat jasmani dan rohani. Bukan suami sakit-sakitan. Kamu cukup lama menderita. Kamu harus bahagia, Sayang. Kamu harus bahagia!" Mugayo terisak dan memeluk tubuh istrinya. Berharap sebuah keajaiban. Berharap doa-doanya didengar dan dikabulkan oleh Sang Maha Segalanya.

Nattaya dan Brindan duduk terpekur di atas kursi roda menghadap khidmat dan penuh haru sebuah gundukan tanah merah dengan taburan bunga. Mugayo telah pergi untuk selamanya ketika keduanya masih dalam kondisi tak sadarkan diri di ruang ICU. Di atas tubuh istrinya, Mugayo menghembuskan nafas terakhir. Beberapa hari sebelum meninggal, Mugayo menuliskan kata-kata terakhirnya untuk Nattaya, istri yang sangat dicintainya. Secarik kertas putih terlipat rapi dan dimasukkan dalam satu kotak yang di dalamnya terdapat tiga cincin perkawinan. Milik Mugayo, Nattaya dan Brindan. Ia menitipkan pada Ardhena.

Jakarta, di suatu senja

Hai pengantin baru... Selamat ya atas pernikahanmu, Sayang. Semoga bahagia selalu.

Mas pada awalnya sedih, kecewa, marah dan merasa dikhinati. Namun Mas harus sadar diri bahwasanya tak penting sedihku, kecewaku, marahku dan rasa dikhinati karena sesungguhnya cinta milik siapa saja, berhak jatuh kepada siapa saja, termasuk cinta kalian.

Mungkin lain cerita jika aku dalam kondisi sehat wal afiat. Aku yakin tak akan seperti ini jalan ceritanya.

Tanpa disadari, Mas yang menciptakan keadaan ini. Kamu sudah memberikan Mas sinyal untuk menjauhi Dokter Brindan tapi Mas tidak paham.

Mas menyadarkan diri, bahwa keputusanmu sesungguhnya untuk memelihara dirimu dari hubungan yang tidak halal. Menikah adalah jalan terbaik karena menceraikan aku, kamu pasti tak sanggup melakukannya.

Kamu butuh suami yang sehat, Sayang. Dan pilihanmu sangat tepat.

Mas ikhlas dengan pernikahanmu. Andaikan saja aku masih diberi umur panjang, aku bersedia membagi kebahagiaan dengan Dokter Brindan. Dia sangat baik dan berjasa dalam kehidupan Mas akhir-akhir ini. Sempat terpikir bagaimana bisa membalas kebaikannya dan ternyata memang pernikahanlah balasan yang tepat.

Bahagia lah dengan cinta pertamamu, Sayang.

Terima kasih atas segala cinta dan perhatianmu pada suami yang tak berdaya ini.

Pesan Mas, menikahlah sekali lagi secara negara setelah masa iddahmu selesai sepeninggalku.

Entah kenapa Mas merasa tak akan lama hidup di dunia ini setiap mendatangi kalian di ruang ICU.

Mas seperti orang ketiga dalam kehidupan kalian.

Sesungguhnya kalian adalah cinta sejati yang tertunda karena Tuhan ingin menitipkan kamu sebentar ke pelukanku, lalu selamanya menitipkan pada Dokter Brindan.

Sayang... jaga diri baik-baik ya? Maafkanlah segala kekuranganku selama menjadi suamimu. Terima kasih sekali lagi atas segalanya. Kamu selalu terindah dalam kenanganku. Jika nanti kita dipertemukan di dunia yang abadi, kembali padaku ya? Jangan ajak Dokter Brindan, karena dia sudah mendapatkan bagiannya di dunia bersamamu.

Jangan lupa mengunjungi makamku. Doakan suamimu.

NB: Teruntuk Dokter Brindan, pesanku satu: jangan sakiti kesayanganku. Arwahku akan datang menghantui jika sekali saja kamu membuatnya menangis dan menderita.

Mugayo Prasetyo