Para tamu undangan sudah meninggalkan rumah pasangan Nattaya dan Mugayo. Keduanya baru saja merayakan ulang tahun pernikahan yang ketiga. Suasana riang dan ramai selepas Magrib, menjadi sepi di kisaran pukul 10.00 WIB malam. Ada beberapa keluarga yang memilih menginap dan membantu membereskan rumah, termasuk orangtua Mugayo.
"Nattaya, Bapak dan Ibu mau bicara sebentar. Sini duduk dekat Ibu." Wanita paruh baya dengan kerudung dan gaun bernuansa krem keemasan, meminta menantu kesayangannya mendekat.
"Tidak menunggu Mas Mugayo, Bu. Beliau sedang sholat Isya." Ada perasaan cemas menghinggapi sehingga Nattaya butuh Mugayo di sisinya. Pasti akan membahas lagi masalah keturunan. Pembahasan yang membuat nya bosan dan hampir putus asa. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun hingga usia perkawinan yang ketiga, tanda tanda itu belum juga muncul. Hanya Mugayo yang membuat nya bisa kuat menghadapi kenyataan pahit ini.
"Bapak dan Ibu ingin bicara sama kamu saja. Mumpung tidak ada Muga. Dia tidak perlu tahu."
"Tentang apa ya, Bu?"
Ibu mertua lalu mengeluarkan botol berisi cairan hitam pekat dari tasnya lalu menyuruh suaminya untuk mengambil gelas.
"Sebentar Ibu kasih kamu ramuan. Semoga dengan rutin meminumnya, tidak lama lagi kamu bisa hamil dan kasih Bapak dan Ibu cucu." Ujar Ibu mertua sambil menunggu gelas datang. Ketika Bapak mertua menyodorkan gelas kosong, ramuan itu pun pelan-pelan dituangkan hingga terisi penuh. "Ini cepat minum! Jangan dirasakan pahitnya!"
Tak ada yang bisa Nattaya lakukan kecuali menuruti perintah mertuanya. Ia pun cepat meneguknya sampai habis.
"Alhamdulillah. Semoga berhasil, ya?" harap penuh Ibu mertua seraya memberikan permen pada menantunya untuk menghilangkan rasa pahit di mulut Nattaya.
"Ini sisanya minum lagi tiga hari kemudian. Simpan di tempat Muga tak tahu." Pesan Bapak mertua. Ia mengamati sekitar. Berharap tak menemukan sosok Mugayo di ruang tamu.
"Cepat sembunyikan!"
"Baik, Pak." Nattaya menyambut bungkusan yang berisi ramuan entah apa namanya, Nattaya tak mau banyak bertanya. Lalu membawanya ke dapur. Di lemari paling bawah ia simpan botol itu.
Karena sudah merasa aman, Nattaya bergegas ke arah mushola. Ia hendak menyusul suaminya. Tadi sebenarnya Nattaya ingin sholat berjamaah namun karena harus menemani bapak dan Ibu mertua, Mugayo memintanya bergantian saja.
"Lho, Kok sudah menyusul? Bapak dan Ibu sama siapa?" Mugayo yang baru keluar mushola mendapati istrinya yang sedang melangkah mendekati.
"Maaf, Mas. Aku sudah mengantuk. Mau cepat istirahat. Boleh Mas yang temani mereka?"
"Oke. Nanti aku sampaikan ke mereka. Kamu selesai sholat, langsung ke kamar saja. Selamat istirahat, Sayang, " Mugayo mengecup lembut kening istrinya.
"Jangan ketiduran di mushola, ya?" Pesan Mugayo menyentuh gemas hidung istrinya kemudian melangkah pergi meninggalkan Nattaya.
Langkah Mugayo menuju orangtuanya yang sedang santai di ruang tamu.
"Lho istrimu mana? Kok, kamu yang muncul?" sambut Ibunya Mugayo.
"Tadi dia izin sholat Isya, Bu. Bapak dan Ibu sudah sholat?"
"Sudah pas kalian pesta tadi."
"Berarti tinggal istirahat, dong. Kamar sudah disiapkan. Mari Muga antar."
"Ayo, Pak! Kita istirahat. Kasihan Muga harus temani kita ngobrol kalau masih duduk di sini."
Orangtua Mugayo beriringan menuju kamar ditemani Mugayo.
"Nanti kamu juga langsung ajak istrimu tidur. Satu Kamar kan?"
"Memang selama ini kita tidur beda kamar? Ibu ada-ada saja."
"Tidur suami istri kan? Bukan saling membelakangi? Atau kalau tengah malam, kamu pindah ke sofa? Istrimu tidur sendirian?" cecar sang Ibu.
"Tidak pernah begitu, Ibuku Sayang. Kami ini selalu romantis. Marah juga paling kuat satu jam. Ibu sebenarnya ada apa sih, Kok kayak curiga kalau hubungan kami tidak baik-baik saja?"
"Ibumu sudah kangen dengan kehadiran cucu dari anak pertamanya, " timpal sang Ayah menjawab keheranan Mugayo. Ditepuk tepuknya pundak sang anak. Memberi kekuatan dan pengharapan. "Keluarga kita ini tidak ada yang mandul. Jadi coba istrimu diperiksa dan di obati yang benar."
"Sudah, Pak! Jangan buat anak kita pusing." Ibu Mugayo kemudian meminta suaminya untuk segera masuk kamar, khawatir keceplosan tentang ikhtiar mereka memberi ramuan penyubur pada Nattaya tanpa sepengetahuan Mugayo. Mereka beranggapan bahwa yang bermasalah adalah menantu mereka.
"Bapak dan Ibu istirahat dulu. Ingat pesan yang tadi Ibu bilang, tidur suami istri!"
"Iya, Ibu. Kami selalu berpelukan kalau tidur, " jujur Mugayo.
"Hanya pelukan?"
"Masa harus diceritakan, Bu?"
"Ya, sudah! Tidur sana!"
"Enggak cium kening anaknya?"
"Oh, iya. Selamat istirahat, anakku."
Mugayo berlalu meninggalkan kamar orangtuanya lalu menuju kamar. Di tempat tidur, tak didapati Nattaya. Mugayo langsung berbalik keluar menuju mushola. Benar saja, Nattaya sudah terpulas di atas sajadah lengkap dengan mukena. Ia hati hati sekali melepas atasan mukena agar Nattaya tak terbangun kemudian mengangkat tubuh istrinya ke kamar. Sesampainya di pembaringan, Mugayo memandangi wajah Nattaya dengan penuh kemesraan.
"Kamu sempurna sekali, Sayang. Tidur pun kamu cantik. Banyak orang mengira, kamu yang tidak bisa memberikan aku keturunan tapi pada kenyataannya, aku yang bermasalah. Jangan tinggalkan aku ya, Sayang. Apapun yang terjadi, Aku ingin selalu bersamamu."
Dikecupnya kening sang istri lalu tidur di sisi sambil memeluk. Nattaya terbangun. Setengah sadar ia berujar manja sambil mempererat pelukan. "Kamu angkat aku lagi, ya?"
"Tadinya mau aku biarkan."
"Beneran ngantuk, Mas Maaf."
"Ya sudah tidur lagi, " diusapnya kepala Nattaya penuh kelembutan. Selama tiga tahun perkawinan mereka, entah sudah berapa kali Mugayo memindahkan tubuh istrinya dari mushola ke kamar pribadi mereka. Tapi tak pernah ada perasaan bosan.
"Mas?"
"Hmm'
"Belum ngantuk?"
"Belum."
"Melamun?'
"Merenung."
"Merenungi apa?" Nattaya kemudian membalikkan tubuhnya sehingga posisi mereka saling berhadapan. Senyum manis Mugayo menyambut.
"Kamu mau menggoda aku, ya?'
'Mas enggak suka?'
"Suka sekali."
"Enggak terasa sudah tiga tahun ya Mas perkawinan kita."
"Iya. Aku minta maaf sama kamu. Belum jadi yang sempurna."
'Kamu sempurna, Mas. Kamu baik, perhatian, romantis, ganteng, wangi, tidak pelit, tidak sombong, sholeh, rajin menabung, " canda Nattaya membuat Mugayo terpingkal. Tiba-tiba pria tampan itu teringat sesuatu dan membuatnya terdiam sesaat.
"Kenapa, Mas?"
"Aku merasa bersalah sama kamu, Sayang. Tiga tahun upaya kita untuk memperoleh keturunan belum terwujud. Aku minta maaf. Aku minta maaf." Mugayo tercekat menahan tangis.
"Tuhan pasti mendengar doa doa kita. Jangan putus asa ya, Mas. Kita sama-sama hadapi."
Nattaya mendekap erat tubuh suaminya yang tak kuasa menahan kesedihan.
"Kamu suami terbaik, Mas."
"Kamu istri sempurna, Sayang."
Malam itu mereka saling menguatkan. Meyakini satu sama lain untuk menerima ujian dalam perkawinan mereka. Kehadiran seorang anak bukanlah satu satunya penentu kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga. Kesyahduan malam menjadi saksi, betapa kuat ikatan cinta mereka.
Suara teriakan Mugayo dari kamar mandi membuat Nattaya terjelingkat bangun. Ia langsung mendobrak pintu kamar mandi dan mendapati suaminya sudah tergeletak. Nattaya histeris melihat kondisi suaminya yang sudah tak sadarkan diri. Suasana kepanikan di rumah Mugayo, memecah kesunyian malam. Tak berapa lama, sebuah ambulans datang menjemput Mugayo untuk dibawa ke rumah sakit terdekat. Nattaya menguatkan hati dan dirinya untuk selalu berada di dekat Mugayo. Betapapun banyak permintaan keluarga yang khawatir dengan kondisinya, menyarankan Nattaya untuk sementara di rumah menunggu kabar. Nattaya menolak dan tetap memilih mendampingi suaminya.