Chereads / TIGA CINCIN PERKAWINAN / Chapter 10 - Kembalinya Sang Mantan

Chapter 10 - Kembalinya Sang Mantan

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, hingga memasuki tahun pertama, Mugayo masih harus bersabar mengharapkan kesembuhan maksimal. Di satu sisi, banyak perkembangan yang ia rasakan. Tapi di sisi lain, syaraf otot kakinya masih belum kuat untuk berjalan normal seperti biasa. Ia perlu bantuan kursi roda.

"Sayang, kamu enggak bosan ngurus suami sakit? Ada pikiran buat meninggalkan aku?"

"Mulai kan? Ini sudah yang ke 1001 Mas tanyakan. Mas mau aku marah? Atau bilang iya??" Sungut Nattaya sambil terus mendorong kursi roda menyusuri lorong rumah sakit menuju taman. Pakaiannya masih pakaian kantor karena sudah rutinitasnya pulang kerja langsung menuju rumah sakit, rumah keduanya selama Mugayo insentif dirawat. Nanti selesai menemani Mugayo di taman, ia membersihkan diri dan berganti pakaian sehari-hari. Lalu menghabiskan aktivitas di ruang pasien bersama Mugayo. Keduanya memilih pulang ke rumah ketika masa akhir pekan tiba, saat dimana Nattaya libur bekerja dan dokter yang merawat Mugayo pun sedang tidak bertugas di rumah sakit. Kebetulan sekali jarak rumah sakit lebih dekat ke kantor daripada rumah sehingga diputuskan untuk tidak pulang selama hari kerja.

"Memang kamu menghitung sebanyak itu, Sayang?" tanggap Mugayo dengan senyum kecil.

"Mungkin kalau pakai penghitung kalimat, bisa terhitung sesuai tahun 2022," seloroh Nattaya sambil berhenti di kursi taman. Kali ini posisinya sudah berhadapan dengan Mugayo sehingga jelas terlihat oleh Mugayo keletihan yang disembunyikan dibalik wajah cantik yang hanya terpoles kosmetik tipis tipis.

"Kasihan sekali istri Mas. Pulang kerja bukan

istirahat malah sibuk ngurus suami lumpuh.

Maafkan suamimu, Sayang. Aku sudah

berusaha. Tapi entah kenapa dengan kaki ini."

Demi melihat rona kesedihan di wajah Mugayo, Nattaya lekas mengalihkan perhatian. Dia tidak mau membahas hal hal yang berujung kesedihan di depan suaminya. Betapapun sebenarnya ia juga rapuh.

"Mas, aku bawa puding. Aku suapin ya?"

"Jangan, Sayang. Biar Mas makan sendiri. Sambil melatih otot tangan supaya makin kuat dan stabil," tolak halus Mugayo seraya menerima sekotak puding dari Nattaya. Ia tak mau membiarkan Nattaya memanjakannya. Wanita kesayangannya itu sudah terlalu banyak berkorban dan sendirian memenuhi kebutuhan hidupnya sejak Mugayo didera sakit berkepanjangan. Ketika uang pesangon dari kantor sudah menipis, rumah Mugayo dijual lalu tinggal di rumah sederhana Nattaya. Sesekali terbersit oleh Mugayo untuk melepaskan Nattaya dari segala beban dan membiarkannya mendapatkan pengganti dirinya yang jauh lebih baik, yang bisa bertanggungjawab lahir batin. Namun membayangkan Nattaya dimiliki oleh orang lain, rasanya Mugayo tak sanggup. Selalu saja akhirnya berakhir dilema yang tak berkesudahan.

"Mas, melamun?" Nattaya membuat Mugayo terkejut.

"Ah, cuma terlalu menikmati puding pemberianmu, Sayang. Enak sekali, coba cicipin. . Kamu sudah makan?" Mugayo menyodorkan sendok berisi sepotong puding ke mulut istrinya dan disambut oleh Nattaya.

"Sudah, Mas. Aku sudah makan."

"Makan dimana?"

"Di restoran padang langganan kita."

"Sama siapa?"

"Ardhena. Tadi dia mau ikut ke sini tapi suaminya telpon suruh cek up kandungan."

"Dia hamil lagi?!"

Nattaya mengangguk pelan lalu membersihkan mulut Mugayo dengan tisu agar tidak lengket.

"Maafkan aku, Sayang." Mugayo memegang tangan Nattaya kemudian memeluk Nattaya erat erat. "Kita coba lagi ya nanti pas di rumah. Buatkan aku jamu." Kabar kehamilan Ardhena membuat Mugayo resah sekali.

"Sudahlah, Mas. Jangan dipaksa. Aku enggak apa-apa, kok. Yang penting kamu sembuh total."

"Izinkan aku memenuhi hakmu sebagai seorang istri dan kewajiban Mas sebagai suami." Mugayo menatap dalam wajah istrinya.

"Mas yakin?" tanya Nattaya ragu. Ia langsung teringat kejadian tadi pagi ketika memandikan tubuh suaminya, Mugayo belum mampu mengembalikan keperkasaannya. Dan itu selalu terjadi selama satu tahun ini. Dimana pun tempatnya.

"Iya. Kita coba lagi ya?" Harap Mugayo penuh.

"Oke." Nattaya tak mau berdebat panjang. Diajaknya Mugayo kembali ke ruang rawat inap. Ia ingin mandi dan merebahkan tubuhnya sebentar sebelum waktu Magrib tiba.

Sebuah apotek yang direkomendasikan oleh dokter spesialis syaraf untuk menebus beberapa obat yang tak tersedia di apotek rumah sakit, sedang ramai pengunjung ketika Nattaya tiba. Wanita cantik itu lalu menyerahkan kertas resep dan berbaur duduk di kursi tunggu. Baru saja ia bersandar, nada panggilan masuk gawainya berbunyi. Mugayo memanggil.

"Iya, Mas?"

"Sudah ketemu apoteknya?"

"Sudah, Mas. Baru saja masuk antrian."

"Dibeli dua kali lipat, ya? Dua minggu ke depan, Mas mau di rumah saja. Tadi sudah dapat izin dari Dokter."

Nattaya menggaruk sedikit keningnya yang tak gatal. Ingin mengucapkan sesuatu, tapi entah apa. Ia dilanda kebingungan. Khawatir suaminya menangkap lain dengan pendapatnya lalu tersinggung.

"Kamu kok diam, Sayang? Kenapa?"

"Enggak, Mas." Nattaya menyentuh ujung matanya yang tiba-tiba berair. Ada beban tambahan yang ia rasa dengan ucapan suaminya. Bolak balik rumah sakit yang jaraknya dekat saja dengan kantor sudah menguras tenaga dan pikirannya. Apalagi nanti harus bolak balik rumah ke kantor hampir tiap hari dengan meninggalkan Mugayo sendirian di rumah. Kalau ada apa apa bagaimana? Ia tidak bisa secepatnya tiba di rumah. Harus melewati rangkaian kemacetankemacetan di sepanjang perjalanan.

"Sayang?"

"Iya, Mas."

"Ada yang mau dibicarakan?"

"Enggak ada, Mas."

"Suara kamu seperti lain, Sayang"

"Lain kenapa, Mas? Mungkin telinga Mas saja." Kilah Nattaya. Masih terus menahan tangisnya agar tidak pecah.

"Ya, sudah. Mas tutup telponnya. Jangan lupa beli vitamin ya? Suara kamu seperti mau flu."

"Iya, Mas."

Klik! Kedua gawai mereka dinonaktifkan secara bersamaan. Nattaya lalu bergegas ke toilet apotek untuk membasuh wajahnya. Memberi sedikit polesan lipstik pada bibirnya agar terlihat fresh. Lalu setelah dirasa cukup, Nattaya keluar toilet dan kembali ke kursi antrian. Baru saja duduk, nama Mugayo dipanggil oleh pihak apotek. Resepnya sudah selesai. Nattaya segera menyelesaikan administrasi pembayaran obat dan kembali menuju rumah sakit yang berjarak kurang lebih 100 meter dengan berjalan kaki. Di saat langkahnya tepat memasuki lobi rumah sakit, ia berpapasan dengan seseorang yang dulu pernah menorehkan luka meskipun tidak secara langsung. Betapa keterkejutan Nattaya tak dapat terbenung

"Nattaya?!"

"Brindan?!"

"Ini kamu?! Apa kabar?!" Lelaki dengan jas putih dan celana jeans hitam mengulurkan tangannya. Ada rona kebahagiaan yang terpancar dipertemukan kembali oleh wanita cantik di hadapannya. Wanita yang seharusnya ia nikahi setahun yang lalu.

"Baik,." Singkat Nattaya. "Maaf, saya harus segera memberikan obat. Sudah dtunggu suami saya." Nattaya segera meninggalkan Brindan dengan perasaan tak menentu.

"Suami kamu sakit? Di ruangan mana? Aku hari ini mulai bekerja di sini." Jelas Brindan tanpa diminta. Ia mengikuti langkah Nattaya. Tak peduli dengan ketidaknyamanan yang ditampakkan oleh Nattaya.

"Oh. Pantas baru lihat."

"Saya dari pagi di sini. Kamu sejak kapan?"

"Setahun."

"Setahun? Lama sekali. Suamimu sakit apa?"

"Perlu dijawab?" balik tanya Nattaya tak mau menjawab pertanyaan Brindan.

"Siapa tahu aku bisa bantu. Apakah ada hubungannya dengan syaraf? Stroke mungkin?" tebak Brindan tepat. Namun Nattaya memilih diam. Ia sekilas melihat gelar Sp.N di belakang nama Brindan Hudais pada papan nama kecil di dada Brindan. Berarti dia sudah menyelesaikan spesialisasi di bidang Neurologis atau saraf. Ketika menjalin hubungan dengan Nattaya, Brindan memang masih menjalani PPDS atau Program Pendidikan Dokter Spesialis.

"Nat! Aku tahu kamu pasti merasa seperti sedang mimpi buruk bertemu dengan aku. Lelaki yang tidak bertanggungjawab dan menghilang begitu saja. Maafkan aku, Nat! Aku benar-benar berada dalam tekanan keluargaku."

"Sudah cukup, Brindan! Sudah saya kubur cerita kita. Jangan kamu gali lagi! Saya sudah berkeluarga, kamu juga pasti sudah memiliki kehidupan sendiri. Jaga saja keluargamu yang sekarang!" Tekan Nattaya

"Aku sekarang yatim piatu, Nat! Orangtuaku sudah meninggal. Atas nama mereka, aku minta maaf yang sedalam dalamnya jika ada kesalahan mereka yang belum kamu maafkan."

"Sudahlah, Brindan! Berhenti mengikuti saya!" Nattaya tak menggubris permintaan maaf Brindan. Ia lebih konsentrasi meminta pria itu menjauhinya segera.

"Baiklah. Maafkan jika sudah mengganggumu."

Suara Brindan pelan, lalu berbalik menjauhi Nattaya yang berdiri memastikan jika Brindan benar-benar pergi dan tidak mengikutinya lagi.

"Syukurlah kamu datang, Sayang. Mas pikir kamu mampir kemana." Suara khawatir Mugayo menyambut kedatangan Nattaya. "Ayo minum dulu. Kamu pasti capek jalan kaki."

Nattaya meneguk segelas air putih diiringi pandangan mata Mugayo yang terus memperhatikan. Nafas istrinya tak beraturan seperti habis menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan.

"Kamu baik-baik saja kan, Sayang? Apa ada yang mengganggumu di jalan tadi?"

Nattaya hanya menggelengkan kepalanya tanpa satu patah kata pun. Kehadiran Brindan di rumah sakit ini sungguh membuat kacau suasana hatinya.

"Lantas kenapa diam saja? Marah dengan suamimu yang lumpuh ini? Capek?"

"Mas, mohon maaf. Aku capek bukan karena kamu. Tolong jangan ulang-ulang terus kata itu. Aku risih," Nattaya setengah tak terima dengan prasangka suaminya.

"Kalau bukan marah sama Mas, lantas sama siapa?" selidik Mugayo menyudutkan Nattaya.

"Bukan siapa-siapa." Singkat Nattaya seraya membuka plastik obat untuk diminum Mugayo. Hanya ini pelarian sesaat yang bisa ia lakukan. Selebihnya mungkin ia akan berlama lama di kamar mandi. Jangan sampai ia kemudian bercerita pada suaminya bahwa ia telah bertemu sang mantan yang menjadi salah satu dokter di rumah sakit ini. Hufht! Harus punya banyak cara untuk menghindari. Dan di saat pikiran Nattaya tengah sibuk mencari cara, tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari luar.

"Masuk!" Nattaya mempersilakan. Tak disangka sama sekali, justru yang datang adalah Brindan bersama suster yang biasa mendampingi dokter Nuhad, dokter spesialis syaraf yang menangani Mugayo dari awal sakit. Rasanya lemas persendian tubuh Nattaya namun ia berupaya tegar.

"Maaf, Bu. Pengobatan suami Ibu dialihkan ke Dokter Brindan mulai hari ini." Penjelasan Suster membuat Nattaya terpancing emosi. Meskipun dengan nada yang tidak meledak ledak.

"Memang seperti ini mekanisme pergantian dokter di rumah sakit ternama? Tanpa ada konfirmasi terlebih dahulu ke pasien? Apa pertimbangannya?"

"Dokter Nuhad memberikan surat kuasa bermaterai atas penunjukan Dokter Brindan. Ini Ibu bisa lihat alasannya. Pak Direktur juga mengundang Ibu untuk duduk satu meja." Suster hendak menyerahkan map berisi surat kuasa dokter Nuhad dan jejak rekam Dokter Brindan yang terbilang sukses menangani pasien stroke namun Nattaya menolak untuk membaca yang menurutnya buang waktu.

"Saya mau dokter lain atau pindah saja kalau memang tidak ada lagi dokter yang sanggup menangani suami saya."

"Sebentar bisa saya jelaskan." Brindan menengahi. "

"Saya tidak butuh penjelasan!" Nattaya bersikeras hingga Mugayo yang sedari tadi hanya memperhatikan dari tempat tidurnya ikut berbicara. "Bisa saya lihat isi berkasnya, Sus?"

"Mas, kita pindah rumah sakit saja! Rumah sakit ini tidak profesional!" Nada permohonan Nattaya tak membuat Mugayo luluh begitu saja.

"Sebentar, Sayang. Mas mau pelajari berkas ini."

Ingin rasanya Nattaya berteriak atas keadaan yang membuatnya benar benar dilematis.

"Kami mohon maaf jika cara kami menginformasikan pergantian dokter ini tidak melalui proses diskusi terlebih dahulu, tapi percayalah, kami sangat mengutamakan pelayanan terbaik terhadap semua pasien tanpa terkecuali." Suara Brindan mengalir tenang diantara tumpukan perasaan yang tertuju pada Nattaya. Tak lama kemudian, mantan wanita kesayangannya itu tiba-tiba saja melangkah pergi tanpa permisi, menunjukkan ketidaksukaan.

"Baiklah, Dok. Saya ikuti pergantian dokter yang menangani pengobatan saya. Dari jejak rekam Dokter Brindan, saya punya harapan besar bisa kembali normal dan sehat. Semoga bukan untuk kelinci percobaan ya, Dok. Nanti istri saya bisa semakin marah," tekan Mugayo disambut rasa bahagia Brindan yang tidak disadari oleh Mugayo yang menyimpulkan kemarahan istrinya karena kekuatiran kualitas Dokter Brindan tidak sama dengan Dokter Nurhad.