Chereads / TIGA CINCIN PERKAWINAN / Chapter 5 - Berdamai dengan trauma cinta

Chapter 5 - Berdamai dengan trauma cinta

Benar saja dugaan kuat Ardhena. Sahabatnya itu tengah duduk manis di sudut kantin. Tapi tidak sedang tersenyum. Ia tengah asyik dengan gawainya sehingga tak menyadari kedatangan Ardhena.

"Ehem! Ngapain, Nat?"

"Astagaaa! " kaget Nattaya campur kecewa rencananya gagal. Sontak Ardhena tersenyum penuh kemenangan.

"Jangan coba coba balas dendam, deh. Mending kamu balik ke ruangan, lalu bantu Pak Mugayo sebagai balas budi. Dia sedang butuh ide secepatnya. "

"Kenapa bukan kamu saja yang kasih ide. Kan sudah aku pesenin gorengan kesukaanmu."

"Apa maksudnya? Kamu mau balik jodohin aku? Ya enggak mungkin, dong. Aku sudah berkeluarga. Kamu senang rumahtanggaku berantakan? "

"Bukan itu tujuanku."

"Lantas apa?"

"Supaya kamu tahu rasanya berduaan dengan orang yang baru dikenal seperti apa."

"Baru atau lama soal hitungan waktu, Nat. Yang penting itu rasa. Rasa nyaman, rasa klop, rasa dekat, rasa peduli dan sebagainya. Pokoknya semua rasa pertemanan lama sudah muncul begitu kenal dia. Apa kamu tidak merasakan hal yang sama seharian kemarin? Kamu lupa dia dewa penolong kamu?"

"Jadi karena dia baik lalu aku harus tebar pesona? Aku harus pasrah dengan semua rencana gilamu?!"

"Gila nya dimana coba?"

"Dipikir sendiri jangan mengajukan pertanyaan." Kesal Nattaya.

"Aku juga pakai perhitungan, Nat! Tidak gegabah begitu saja menjerumuskan sahabat sendiri. Modalnya cuma satu, dia dan kamu sama sama tidak memiliki pasangan. Apa itu namanya gila? Sekali lagi aku tekankan, ini jalan Tuhan!"

"Susah memang debat sama kamu." Nattaya bangun dari duduknya merasa tersudutkan.

*Kamu mau kemana lagi?" sidik Ardhena

"Mau buat kamu bahagia." sahut Nattaya meninggalkan Ardhena dengan perasaan tak nenentu. Langkahnya menuju ruangan dimana sudah ada Mugayo menunggu dari tadi. Kasihan juga pikir Nattaya. Dia sedang butuh bantuan. Kalau hanya sekedar berteman bukanlah hal yang berat bagi Nattaya. Dia juga bukan tipe orang yang mudah melupakan kebaikan seseorang. Yang menjadi beban adalah ketika Ardhena mendikte hubungannya dengan Mugayo harus menjadi kekasih. Secepat itukah hatinya harus membuka cinta lelaki lain? Sementara Nattaya masih butuh ruang untuk sendiri. Kenapa hubungan ini tidak dibiarkan saja mengalir apa adanya?

Presentasi Mugayo siang ini disambut baik oleh atasan. Tak ada catatan kecuali segera mewujudkan ide tersebut demi kemajuan perusahaan mereka. Hal ini tentu saja membuat semangat Mugayo bertambah dan ingin segera berbagi kebahagiaan dengan partner idenya, Nattaya. Segera ia menghubungi satu nomer dan ternyata sedang tidak aktif! Lalu dihubungi satu nomer lagi. Aktif tapi tak diangkat. Masa harus turun ke ruangannya lagi? Gumam Mugayo. Tak apalah. Biar kusambangi langsung. Ia pun segera menuju lantai satu melalui lift. Di dalam lift ia mendapat pesan WhatsApp. Mugayo membalas sambil tersenyum senyum sendiri. Tak sampai lima menit ia pun tiba di ruang kerja Nattaya dan Ardhena, lalu segera mengetuk pintu ruangan.

"Masuk!" suara Nattaya terdengar jelas. Mugayo mendapati wanita cantik itu tengah duduk di balik laptop dan mengarahkan pandangan ke arah pintu.

"Pak Mugayo rupanya. Maaf ada yang bisa saya bantu lagi?" sambut Nattaya segera berdiri sebagai bentuk penghormatan.

"Tadi saya telpon tidak aktif."

"Oh iya, Pak. Kebetulan sehabis dzuhur tadi saya charge. Jadi belum saya aktifkan lagi."

"Ardhena mana?" sambung Mugayo basa basi karena sebenarnya dia sudah tahu keberadaan Ardhena

"Sedang mengantar berkas ke lantai dua, Pak. Perlu ditelpon?"

"Tidak usah. Saya kebetulan ingin mengajak makan siang sebagai bentuk terimakasih saya karena berhasil melaksanakan presentasi dengan baik. Dan itu karena beberapa ide cemerlang kamu."

"Jangan merasa berhutang budi, Pak. Jasa Bapak lebih besar daripada saya."

"Lho, kok malah bahas hutang jasa? Kita ini makhluk sosial, sudah biasa saling menolong. Anggap saja ajakan makan siang ini supaya kita bisa mengenal satu sama lain. Jadi kalau butuh ide lagi saya tidak canggung untuk menghubungi kamu. Atau kamu mau saya antar jemput juga tidak usah sungkan sungkan. Timbal balik saja tanpa beban."

"Terimakasih Pak atas penawarannya."

"Lalu? "

"Lalu apa ya, Pak? " bingung Nattaya

"Kita mau makan siang dimana?"

"Oh, ya. Tunggu teman saya datang, Pak."

"Berdua saja takut?"

"Takut kenapa, ya?" balik tanya Nattaya. Sebenarnya yang dipikir Nattaya pertama kali atas pertanyaan Mugayo bukanlah karena ketakutan tapi lebih kepada solidaritas. Walaupun ada juga rasa enggan membayangkan makan berdua dengan Mugayo. Bisa bisa bukan menikmati hidangan tapi tertekan oleh rasa canggung.

"Ayo kita berangkat! Ardhena menyusul. Kita kasih tahu saja tempatnya." Mugayo melirik arlojinya. Mengukur waktu agar tidak kehabisan waktu istirahat.

"Saya telpon dulu. Posisi dia dimana." Nattaya belum menyerah dengan harapannya bisa berangkat dengan Ardhena. Sekelebat ada prasangka bahwa sahabatnya yang merangkai 'skenario' ini ketika kembali susah dihubungi.

"Ampun!" jerit batin Nattaya kesal. Namun apalah daya. Ia harus segera mengambil keputusan agar tak membuat Mugayo menunggu terlalu lama.

"Berangkat?"

"Oke." pasrah Nattaya

"Kita jalan kaki saja ya? Cari yang dekat dekat kantor. Naik mobil takut kena macet."

"Baik, Pak. Sebentar saya ganti sepatu dulu." Nattaya mengganti alas kaki yang datar supaya nyaman sepanjang jalan. Menggunakan sepatu ber hak tinggi bukanlah ide yang baik melewati trotoar dan jalanan yang entah berapa kilometer akan ditempuh. Sedekat dekatnya bisa saja mencapai satu kilo meter.

Sebuah restoran Minang akhirnya menjadi pilihan makan siang Nattaya dan Mugayo. Sedari awal Nattaya sudah memberi informasi bahwa ia tidak begitu suka dengan makanan cepat saji atau junk food.

"Mau duduk dimana? Di situ ya? Dekat jendela." tunjuk Mugayo yang tak dibantah oleh Nattaya.

"Silakan mau makan apa? Biar saya yang tulis."

"Saya saja yang tulis, Pak."

"Kenapa? Tulisan saya masih bisa dibaca, kok. Pesan saja yang mana? Nanti kelamaan debat, jam istirahat nya habis."

Nattaya memilih mengalah dan memesan nasi setengah porsi plus dadar, sedikit sambal juga sayur. Tak lupa segelas teh manis hangat. Mugayo mengikuti.

"Biar simpel," Mugayo beralasan.

"Tambah rendang atau kepala ikan," imbuh Nattaya. "Laki laki jangan ikutan diet. Olah raga saja yang teratur."

"Siap!" Mugayo menulis menu yang disebutkan Nattaya. "Ada lagi?"

"Cukup. Terlalu banyak juga tidak bagus." Ujar Nattaya tanpa nada menggurui. Proses pemesanan menu makan siang pun selesai. Berhubung Nattaya tengah menerima telpon yang baru saja masuk, Mugayo pun membuka gawainya, mengecek pesan WhatsApp yang belum sempat dibaca. Pesan yang ingin segera ia baca adalah dari Ardhena, di lift tadi dia janji akan datang menyusul namun kenyataannya lain.

'Pak Mugayo, maaf saya belum bisa gabung makan siang. Titip bahagiakan Nattaya ya.'

'Memang apa yang buat dia bahagia?' Mugayo membalas chat Ardhena

'Jangan kasih harapan palsu.'

'Mau kasih harapan pasti takut gagal enam kali. '

balas Mugayo pada chat Ardhena.

'Optimis, dong. Kalian itu pasangan serasi. Saya

punya indera ke 9.'

'Banyak ya inderanya?'

'Memang harus banyak supaya bisa mengawal

hubungan Pak Mugayo dan Nattaya menjadi

sebuah kisah manis yang tak terlupakan'

'Yakin hubungan ini ada harapan?'

'Yakin! '

'Berapa persen?'

'1001 persen.'

Mugayo memberi simbol tertawa pada balasan chatnya. Di saat yang bersamaan, pesanan makan siang datang. Keduanya pun menikmati 'lunch time' di siang yang lumayan panas.

(