"Pak Mugayo! Tunggu!" Ardhena mengejar langkah pria di depannya yang sedang berjalan menuju lift. Ia lalu menyalami santun sambil menanyakan kabar. Kemudian Ardhena meminta waktu Mugayo sebentar dan mengajaknya ke kantin. Pria tampan kharismatik itu pun menerima hangat ajakan Ardhena untuk 'coffee break'
"Kita ngobrol sambil ngopi biar fresh." Ardhena lalu sigap menghampiri penjaga kantin untuk memesan beberapa menu.
"Mau ngobrol apa, sih?" tanya Mugayo ketika Ardhena datang menghampiri sambil menghidangkan pesanan. Mugayo pun menyambut kopi yang disodorkan Ardhena lalu menikmatinya.
"Kemarin bagaimana? Ada prospek enggak kira-kira?" Langsung saja Ardhena tanpa basa basi mengajukan pertanyaan, seolah sudah mengenal lama Mugayo.
"Prospek apa?"
"Hubungan lah."
"Kamu terlalu dini."
"Iya memang terlalu dini. Tapi kalau ada yang ekpres kenapa enggak?" tekan Ardhena sambil tersenyum lebar. Dalam pikir wanita periang itu, sudah bukan waktunya berbasa basi. Ia harus dalam posisi mengendalikan dua insan yang sedang mengalami 'kekosongan'.
"Kesan pertama dulu aja, deh. Kira-kira Nattaya itu bagaimana?" lanjut Ardhena
"Baik."
"Apalagi?" kejar Nattaya
"Cantik."
"Terus?"
"Mandiri."
"Ada lagi?"
"Ada di sini berbaris. Kelihatan enggak?" Mugayo menunjuk dadanya. Mengajak Ardhena bermain supaya tak mendiktenya terus.
"Wah! Saya cuma lihat gambar hati dengan bidikan panah ke huruf N." Tanggap Ardhena bersemangat mengikuti permainan Mugayo. Tiba tiba gawai Mugayo berbunyi. Nomer yang menghubungi adalah atasan Mugayo. Ia segera menerima telpon dan tak lama setelah itu, langkahnya beranjak meninggalkan kantin. Melalui lambaian tangan, Mugayo izin meninggalkan Ardhena. Pertemuan singkat di pagi yang cerah antara Mugayo dan Ardhena pun berakhir namun bukan berarti selesai di rumus Ardhena. Ia lalu mengeluarkan gawainya dan berniat menghubungi nomer Nattaya. Dari kemarin ia memang sengaja memblok nomer Nattaya supaya tidak menghubunginya agar konsentrasi dengan Mugayo. Hari ini ia mengira kemungkinan besar sahabatnya itu tidak akan masuk kerja. Namun ternyata dugaan Ardhena salah. Kala ia menunggu Nattaya menerima panggilannya, wanita berparas cantik itu lewat tak jauh dari tempatnya duduk di kantin. Kontan saja Ardhena bergegas menyusul langkah Nattaya.
"Nat! Tunggu! Nat!"
Seketika Ardhena memeluk tubuh sahabatnya dan meluapkan kegembiraan karena Nattaya sudah bisa beraktivitas kembali meskipun kesan dingin masih menyelimuti. Kedatangan Nattaya di pagi yang cerah dengan style yang paripurna dan tak sedikitpun menunjukkan orang yang habis sakit, mematahkan perkiraan Ardhena jika Nattaya tidak akan masuk kerja hari ini.
"Kamu masih marah, Nat?"
"Perlu dijelaskan?"
"Please. Jangan lama lama. Aku mengaku salah. Mending kamu marah daripada banyak diam." Rajuk Ardhena. Nattaya tak menanggapi dan terus melangkahkan kaki menuju ruangannya.
"Tapi kenapa juga harus marah, Nat? Apa beliau melakukan hal kriminal? Pelecehan? Atau.... " kejar Ardhena tak bergeming dengan sikap acuh Nattaya.
"Cukup, Dhena! Bisa kan kita kerja tanpa harus membahas hal lain?" sungut Nattaya. Dibukanya laptop dan mulai mengecek file kantor yang sempat terbengkalai kemarin.
"Tapi aku penasaran, Nat."
"Sampai kamu lupa perasaan aku?" Nattaya mencoba berbagi konsentrasi. Antara bagaimana meluapkan emosi dan menyelesaikan pekerjaan.
"Aku justru sangat memahami perasaan kamu. Aku ingin kamu lepas dari bayangan orang yang sudah membuatmu terpuruk. Aku ingin kamu menatap masa depan, bukan meratapi masa lalu."
"Dengan cara meninggalkan aku bersama orang asing?"
"Tapi dia orang baik. Dia berjasa menolong kamu. Bayangkan seandainya dia enggak ada?"
"Kamu terlalu memaksa. Bagaimana kalau dia terpaksa?"
"Maksudnya apa memaksa? Dia tiba tiba datang saat kamu jatuh pingsan, dia tiba tiba ingin ikut menjenguk kamu sehabis rapat, dia sendiri yang berinisiatif membelikan makanan dan dia tidak keberatan mengantar kamu pulang. Itu namanya terpaksa? Bukan, Nat. Ini namanya jalan Tuhan. Aku hanya perantara yang melihat peluang emas buat sahabatnya tersayang. Aku mau kamu mendapatkan yang terbaik setelah dicampakkan oleh lelaki tak bertanggungjawab."
"Bukan dia yang salah. Tapi keluarganya, " Nattaya masih mencoba berbaik hati meluruskan bahwa kegagalan pernikahannya bukan karena mantan kekasih.
"Harusnya sebagai lelaki yang punya komitmen, dia bisa membela calon istrinya." Kesal Ardhena pada sosok yang sedang dalam pembelaan Nattaya.
"Sudahlah, jangan bahas bahas dia lagi. Tidak akan ada ujungnya selain menyalahkan. Kerja sana! " kesal Nattaya pada Ardhena.
"Oke aku kerja." Sambut Ardhena enteng seraya mengambil beberapa file di lemari lalu diletakkan ke mejanya. Ia periksa dengan teliti, menandatangani berkas yang sudah final, kemudian menyerahkan kepada Nattaya: "Ini inputan kemarin."
"Terimakasih."
"Sama-sama." Ardhena kembali ke tempat duduk nya dan memeriksa email yang masuk dari laptop lalu mengisi beberapa berkas. Sesekali pandangan Ardhena menuju Nattaya, memperhatikan dengan seksama sambil sesekali tersenyum sendiri. Ulah diam diam Ardhena ternyata dirasakan oleh Nattaya, "Ada yang aneh dari aku?"
"Enggaaak, kamu hari ini cantiknya beda. Auranya memancar seperti sinar matahari. " Puji Ardhena dibalik candanya.
"Memang kemarin kemarin kemana sampai kamu baru sadar aku cantik?"
"Cantik kamu hari ini beda banget, Nat! Berkelas! Apa jangan jangan kamu sengaja dandan khusus ya buat seseorang?" pancing Ardhena.
*Maksud kamu apa? Jangan buat mood aku tambah marah ya sama kamu."
"Kok marahnya enggak habis-habis? Cepat tua, lho."
Nattaya tak menanggapi gurauan Ardhena. Dia masih asyik menyelesaikan pekerjaannya. Namun tiba tiba Ardhena berteriak kegirangan ketika androidnya yang berbunyi menampilkan nomer Mugayo. "Calon pangeranmu telpon, Nat! Pasti mau tanya tentang kondisi Tuan Puterinya. Aku loudspeaker ya? Supaya kamu bisa kerja sambil nguping."
"Terserah!" ujar Nattaya tak mau ambil pusing dengan segala polah Ardhena.
"Halo Pak Mugayo? Ada yang bisa saya bantu?"
"Kamu lagi di ruangan?" tanya suara di balik android.
"Betul, Pak. Saya kebetulan sedang bersama rekan kerja plus sahabat saya juga menyelesaikan beberapa pekerjaan. Ada apa ya, Pak?"
"Nattaya sudah masuk kerja?" suara Mugayo terdengar antusias sekali dan tak megubris pertanyaan Ardhena tentang maksudnya menelpon karena sudah terjawab otomatis.
"Saya boleh ke ruangan?" tanya Mugayo penuh harap.
"Boleh, Pak. Silakan!" sambut Ardhena tak kalah antusias. Dilihatnya Nattaya untuk melihat reaksi. Tapi gadis di depannya masih sok jual mahal. Ayo dong, Nat! Sambut dengan tangan terbuka. Apa kurangnya Mugayo? Batin Ardhena bergejolak ingin sekali mengungkapkan segala bentuk dukungan pada sahabat nya itu. Kesempatan emas harus di ambil karena tak mungkin datang kembali.
"Nat! Kamu mau kemana?" Ardhena mencoba mencegah langkah Nattaya.
"Mau ke toilet. Ikut?"
"Oh, aku pikir mau pesan minuman buat tamu agung. Ingat, lho. Dia itu punya jasa. Jangan sesekali menghindar. Kamu harus welcome."
"Terserah bu sutradara." sahut Nattaya lalu membuka pintu. Alangkah terkejutnya ketika sosok Mugayo sudah berada di depan pintu.
"Halo, apa kabar, Nattaya? Sudah baikan?"
"Alhamdulillah, sudah. Silakan masuk." sambut Nattaya menyembunyikan kegugupannya. Lalu berucap, "Pak Mugayo mau minum apa? Biar saya pesan di kantin."
"Tidak usah. Biar nanti kita ke kantin saja makan siang. Bagaimana?"
"Oh, boleh. Tapi saya izin keluar dulu sebentar."
"Perlu diantar?" Mugayo menawarkan diri mengira Nattaya akan keluar kantor.
"Oh, jangan. Terimakasih." Tolak Nattaya segera beranjak pergi. Pada Ardhena, Mugayo baru tahu tujuan Nattaya sebenarnya.
"Pantes dia tidak mau diantar. Saya pikir mau keluar kemana." senyum Mugayo melebar kemudian memilih duduk setelah dipersilakan Ardhena.
"Sudah selesai pekerjaannya? Kedatangan saya tidak mengganggu kan?"
"Justru saya sangat terhormat dengan kedatangan Pak Mugayo." Senang Ardhena sembari duduk menemani Mugayo. "Memang pekerjaan Bapak sudah selesai? Jangan jangan nanti ada panggilan lagi dari Pak Bos." Seloroh Ardhena.
"Saya memang sengaja keluar untuk fresh otak. Ide saya mandek tadi di ruang presentasi."
"Kalau soall ide, Nattaya jagonya." Ardhena tak berpikir panjang lagi tentang reaksi sahabatnya nanti. Suka atau tidak urusan belakangan. Terpenting adalah mereka harus terbiasa menghabiskan waktu berdua.
"Oh ya? Berarti saya enggak salah kamar dong." sambut Mugayo senang bersamaan dengan suara ketukan pintu dari luar. Bukan Nattaya yang datang melainkan pelayan kantin mengantar dua minuman dan sepiring gorengan panas. Ini makanan yang sangat dijauhi Nattaya karena program dietnya dan merupakan makanan kesenangan Ardhena. Sepertinya Nattaya sedang merencanakan sesuatu. Ardhena tak mau kalah.
"Pak Mugayo, ini ada 2 minuman. Berarti kode dari Nattaya."
"Kode apa? " tanya Mugayo tak paham
"Kode bahwa ia ingin bicara empat mata dengan Pak Mugayo. Berarti saya harus pesan sendiri ke kantin. Saya keluar dulu ya, Pak."
"Tunggulah, barangkali minuman buat kamu sebentar lagi datang."
"Enggak mungkin. Buktinya dia belum datang juga sampai sekarang. Pasti menunggu saya keluar lalu dia diam diam masuk."
"Kita ke kantin saja kalau begitu." Mugayo tiba tiba merasa kikuk membayangkan jika hanya berdua saja dengan Nattaya. Entah kenapa. Mugayo pun merasa aneh dengan kegugupannya.
"Jangan! Pak Mugayo tunggu sampai Nattaya datang. Oke?! Nanti saya kembali setelah pesan minuman. Pak Mugayo tenang saja, jangan panik. Begitu Nattaya datang, langsung bilang bahwa Pak Mugayo sedang butuh ide. Ceritakan konsepnya supaya Nattaya bisa bantu Bapak." Ardhena meminta Mugayo agar tak keluar ruangan.
"Baiklah. Semoga Nattaya bisa bantu saya. Kebetulan Pak Bos menunggu sejam lagi."
"Oke. Tunggu ya?" Ardhena bergegas keluar. Dia tahu posisi Nattaya dimana melalui instingnya. Pasti sedang duduk manis di kantin sambil senyum merasa menang. Tak semudah itu menghindar dari rencanaku, Nattaya! Aku akan balikkan rencanamu!