Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB saat suasana jalan raya di hampir semua kawasan ibukota masih memadat oleh volume kendaraan yang lalu lalang dengan tujuan rata rata pulang menuju rumah masing masing. Rumah memang salah satu tempat ternyaman untuk melepas lelah setelah hampir seharian bekerja. Namun tidak berlaku bagi Nattaya hari ini, dalam kondisinya yang masih lemah, Nattaya tidak bisa segera pulang. Di samping menunggu Ardhena yang entah dimana sekarang. Nattaya juga masih menunggu cairan infus yang disalurkan ke tubuhnya habis.
"Bu Nattaya, sekitar 5 menit lagi selang infusnya akan kami cabut dan Ibu boleh pulang. Apa sudah ada teman yang akan mengantar kepulangan Bu Nattaya? "
"Teman saya dari tadi susah dihubungi. Hpnya tidak aktif. Apa di luar ada yang masih lembur, Dok?" raut cemas dan harap terpancar di wajah Nattaya yang sedikit pucat namun tetap tak bisa menyembunyikan rona kecantikannya.
"Saya juga lembur, Bu. Apa mau bareng saya saja?" penawaran dokter jaga tak serta merta menghapus kecemasan Nattaya. Ia sebenarnya masih berharap kedatangan Ardhena untuk menjemputnya pulang.
"Dokter pulang arah mana? "
"Selatan."
"Saya utara."
"Biar saya antar Bu Nattaya. "
"Jangan, Dok! Dokter sudah lembur gara gara saya, masa saya harus buat Dokter pulang lebih telat lagi Saya pesan mobil via aplikasi saja."
"Baiklah, Bu. Nanti turun naik kursi roda saja sampai lobi. Saya siap siap dulu." Dokter jaga berlalu ke ruangannya yang hanya dibatasi tirai. Kepada perawat, ia mengingatkan kapan waktu untuk melepas selang infus Nattaya dan menyuruh mempersiapkan kursi roda. Sementara dalam diamnya, Nattaya berpikir keras dengan ketidakmunculan Ardhena. Kemana dia gerangan? Marahkah ia karena ditinggal tidur?Lembur atau lupakah ia sehingga meninggalkannya di klinik kantor? Banyak tanya bermunculan di benak Nattaya hingga akhirnya ia dikejutkan oleh kedatangan Mugayo.
"Selamat sore. " sapa Mugayo sambil tersenyum manis. Tampak justru dokter jaga yang menyambut gembira. "Syukurlah Bapak datang lagi sebagai dewa penolong. "
"Jangan berlebihan, Dok. Saya kebetulan satu arah dengam Bu Nattaya." Kilah Mugayo atas kesediaannya mengantar Nattaya pulang.
"Bapak tahu darimana kalau rumah kita searah?" selidik Nattaya.
"Dari siapa lagi coba?" balik tanya Mugayo ringan tanpa bermaksud menjelaskan lebih detail lagi pada Nattaya. Ia lalu menyambut kursi roda dan memegang plastik kecil berisi obat obatan yang diserahkan perawat klinik.
"Ayo kita siap-siap pulang. Mau berdiri sendiri atau aku bantu? " Sopan Mugayo pada Nattaya setelah perawat melepas jarum infus yang melekat di pergelangan tangannya
"Saya sendiri saja, " tolak halus Nattaya lalu perlahan berdiri agar tubuh lemahnya mampu beralih ke kursi roda tanpa bantuan namun usaha Nattaya gagal, ia hampir saja terjatuh jika Mugayo tidak segera menahan tubuhnya dan membimbingnya ke kursi roda.
"Terimakasih," Nattaya tersipu. Untung saja kini posisi tubuhnya membelakangi Mugayo. Ada jeda untuk tidak berlama lama berhadapan dengan Mugayo, pria asing yang tiba tiba saja hadir sebagai penolong. Lalu kemana Ardhena? Mengapa ia menghilang begitu saja? Seolah sengaja membiarkan kondisi ini terjadi. Nattaya meyakini, Ardhena lah sutradara yang memaksanya bermain dalam drama lanjutan seorang mak comblang. Agak gila memang ide sahabatnya itu. Mencuri kesempatan dalam kesempitan. Manalah mungkin seorang Mugayo yang nyaris sempurna sebagai seorang lelaki tidak memiliki pasangan. Lelaki biasa saja mampu memiliki banyak pasangan jika ia mau, apalagi sekelas Mugayo. Lagipula trauma cinta Nattaya belum hilang kenapa program mak comblang dengan mudahnya Ardhena gulirkan. Nattaya memendam kesal sendiri.
"Bu Nattaya, mau duduk di depan apa kursi tengah? " Mugayo memecah lamunan Nattaya. Ternyata sudah sampai lobi. Mobil sedan hitam pun sudah menunggu tepat di hadapan keduanya.
"Boleh dimana saja. Bagaimana yang punya mobil," gugup Nattaya.
"Aku sengaja tawarkan supaya Bu Nattaya bisa nyaman sepanjang perjalanan."
"Depan saja boleh?" pinta Nattaya akhirnya. Memilih duduk berdampingan dengan sopir. Jika memilih di jok tengah, Nattaya mengira akan satu bangku dengan Mugayo. Ia jujur masih canggung.
"Baiklah. Mari aku bantu, " Mugayo membimbing tubuh Nattaya hingga memastikan posisi duduk Nattaya dalam kondisi yang benar benar nyaman baru kemudian memasangkan seat belt. Setelah itu, Mugayo masuk ke mobilnya di posisi jok tengah. Mobil pun melaju.
"Kamu jadi ke rumah sakit menengok saudara? " tanya Mugayo pada sopirnya di dalam mobil.
"Iya, Pak. Saya izin turun nanti, " jawab santun sang sopir.
"Oke. Tolong bangunkan kalau tertidur ya?"
"Baik, Pak."
Pembicaraan pun berakhir. Sang sopir konsentrasi mengemudi. Mugayo memilih melepas lelah dengan sebentar tidur sambil bersandar. Dan Nattaya duduk terdiam tak berani memejamkan matanya. Seketika muncul was was saat mendengar sopir akan turun. Berarti dia akan berdua di dalam mobil bersama Mugayo. Entah berapa lama perjalanan ini. Keadaan normal biasanya menghabiskan waktu satu jam untuk bisa sampai ke rumah Nattaya. Akan tetapi melihat kondisi jalan raya yang masih macet, kemungkinan bisa lebih panjang lagi untuk bisa sampai. Nattaya hanya mampu pasrah. Dan entah kenapa ketika sopir turun di parkiran sebuah rumah sakit dan membangunkan Mugayo untuk berpamitan dan mengantikan posisi kemudi, jantung Nattaya berdegup tak karuan. Kali ini, Ia harus duduk sejajar dengan Mugayo.
"Kamu enggak tidur? Tenang, aku sejak usia 17 tahun sudah punya SIM A, C dan bahkan SIM B1 B2 juga aku punya." Mugayo mencoba mencairkan suasana ketika bepindah posisi sambil mengelap wajahnya dengan tissue basah non alkohol supaya memberi kesegaran pada wajahnya yang tadi sempat tertidur. Diam diam Mugayo perhatikan, gadis yang menumpang di mobilnya seperti memendam kecemasan.
"Saya rasa Pak Mugayo butuh penunjuk jalan supaya tidak salah alamat, " jawab Nattaya memberi alasan meskipun sebenarnya rasa kantuk sesekali hinggap.
"Takut salah alamat atau takut enggak sampai alamat?" timpal Mugayo. Ia pun mulai melajukan mobil keluar area parkir rumah sakit.
"Kalau dua duanya bagaimana?" Nattaya sekilas melirik pria di sebelahnya. Lalu kembali melepas pandang ke depan.
"Kalau kita sampai salah alamat dan enggak sampai alamat, kira kira ada yang marah enggak?" Mugayo membalikkan tanya yang membuat Nattaya bingung untuk menjawab. Ia terdiam tak tahu harus menjawab apa.
"Kok diam?" heran Mugayo atas sikap Nattaya.
"Saya bingung dengan maksud pertanyaan Bapak."
"Bingung kenapa?"
"Bingung saja. Enggak ada alasan untuk saya jelaskan pada Bapak. "
Tiba tiba Mugayo tersenyum lebar dengan penjelasan Nattaya.
"Apa ada yang lucu?" heran Nattaya
"Lucu sih enggak. Cuma dari tadi kok rasanya kita kaku ya? Panggil Bapak dan Ibu. Apa tidak sebaiknya panggil nama saja supaya lebih akrab? Abaikan jika kita tidak seumuran."
"Mungkin saya lebih tua daripada Pak Mugayo."
"Masa iya? Aku rasa kamu lebih muda."
"Saya 28. Pak Mugayo paling 25." tebak Nattaya
"Salah. Aku sudah 35 tahun. Perjaka tua yang selalu gagal menikah. "
"Serius, Pak?! "
"Masa aku ada tampang pembohong?" Mugayo memperlambat laju kendaraan ketika bertemu dengan perempatan yang lampu lalu lintasnya sudah menyala warna merah. Kemudian bertanya lagi pada Nattaya, "Kamu kenapa gagal menikah? Oh, maaf kalau saya lancang."
"Ardhena cerita apa saja ke Bapak?" Nattaya tak lagi mampu membendung kecurigaannya. Entah informasi apa yang sudah Mugayo rekam dari sahabatnya, Si mak comblang karbitan!
"Enggak cerita banyak, kok. Cuma bilang kamu sedang mengalami fase yang traumatik."
"Pasti dia cerita juga dong alasannya? Jadi Pak Mugayo tidak usah lagi dengar cerita dari mulut saya." Nattaya berdiplomasi.
"Kamu marah, ya?" pancing Mugayo atas sikap Nattaya yang cenderung memilih diam.
"Marah kenapa? "
"Karena rahasia kecilmu diketahui orang asing yang mungkin bermimpi pun kamu tidak."
"Bukan salah Bapak. Ini salah teman saya."
"Salah berapa?" sambut Mugayo bercanda. Memancing Nattaya untuk tidak berkutat dengan kesedihan dan kekesalan. Tetapi Nattaya masih saja tampak belum lepas. Banyak hal yang ia pendam.
"Kamu mau enggak dengar cerita aku yang gagal menikah lima kali? "
"Lima kali?! " seru Nattaya "Sebanyak itu?!"
"Iya, sebanyak itu. Dan aku masih tegar. Jadi kamu jangan merasa orang paling sedih sedunia."
"Mungkin cara pandang kita memaknai suatu peristiwa beda, Pak." Nattaya membela diri.
"Tapi rasanya sama, Nattaya. Sakit. "
"Kalau saya rasanya sakit banget! Kalau Pak Mugayo yang sudah selevel Pancasila, mungkin bukan sakit lagi." Kali ini Nattaya sudah berani untuk mengimbangi guyonan Mugayo sehingga mengundang gelak tawa pria kharismatik dan awet muda di umur yang menginjak 35 tahun.
"Jadi kalau bukan sakit, apa dong? "
"Hobi kali ya, " canda Nattaya menambah panjang tawa Mugayo. Perjalanan di tengah kemacetan Jakarta menjadi terasa menyenangkan setelah keduanya saling mengimbangi komunikasi.
"Oh iya, kenapa kamu masih panggil saya Bapak? Apa karena usia aku sudah kepala tiga?" Mugayo kembali mempermasalahkan panggilan formal Nattaya.
"Maaf, saya masih canggung, Pak. Eh, Mas?" ralat Nattaya bingung.
"Nha! Aku lebih cocok kamu panggil, Mas. Saya kan orang Jawa. Kalau kamu orang mana?"
Seketika pertanyaan Mugayo tentang asal usul membuat nyali Nattaya ciut. Ia hanya seorang anak panti asuhan yang entah siapa orangtuanya. Entah bagaimana ceritanya ketika ia ditemukan seorang pengasuh panti di halaman dengan kondisi ari ari masih menempel tanpa sehelai benangpun dalam sebuah kardus. Tangisan bayi merah yang keras, memecah kesunyian malam. Dan kini, bayi itu sudah menginjak usia 28 tahun.
"Saya anak dari orangtua yang tidak bertanggungjawab. Bisa saja hasil hubungan gelap, " getir Nattaya. Sontak Mugayo dihinggapi perasaan bersalah telah melontarkan pertanyaan tentang asal usul.
"Maafkan, aku. Bukan bermaksud apa-apa. Lupakan saja ya? Bagaimana kalau kita bicara tentang hobi mungkin? "
"Saya orang rumahan, Mas. Hobi saya ya di rumah kalau enggak kerja."
"Sesekali nonton?" cecar Mugayo semangat. Dan dijawab oleh gelengan kepala Nattaya.
"Enggak bosan di rumah terus?"
"Mungkin didikan panti, jadi harus cinta rumah, " simpul Nattaya dengan senyum tipisnya.
"Mas Mugayo belum tuntas loh ceritanya. Bagaimana bisa tegar dengan lima kali kegagalan?" Nattaya mengalihkan pembicaraan agar tidak dalam posisi yang selalu ditanya lalu menjelaskan.
"Oh iya ya! Aku sampai lupa kasih tutorial bagaimana jadi orang tegar ketika dilanda badai cinta. Jadi pertama, aku gagal menikah karena uang lamaran kurang. Waktu itu usiaku masih 18 tahun, pekerjaan montir di sebuah bengkel ternama setelah lepas SMK. Jatuh cinta sama mahasiswi kedokteran. Begitu nekat melamar, orangtuanya minta 100juta. Aku lalu mundur sambil bertekad menabung. Umur 25 tahun, aku naik jabatan dari montir jadi kepala bengkel, jatuh cinta sama anak lulusan SMA, aku lamar ditolak juga. Padahal aku sudah siapkan uang 50 juta plus jaminan kuliah untuk anak gadisnya. Tiga bulan kemudian, aku pacaran sama anak bos bengkel. Belum sempat dilamar, dia keburu dilamar konglomerat. Setahun kemudian, aku dijodohkan dengan gadis di desaku, sudah rencana ini itu, calonku meninggal. Dan yang kelima, itu terjadi lima tahun yang lalu. Berarti umur 30 tahun. Aku kenalan dengan janda anak dua. Dia kerja sebagai pemandu karaoke. Awalnya kasihan, lama lama aku jatuh cinta. Lantas berniat menikahinya supaya keluar dari pekerjaan yang 'full risk' tapi apa yang terjadi, tiba tiba aku dikeroyok orang orang tak dikenal dan mengancamku untuk menjauhinya. Ternyata mantan suaminya mau ngajak rujuk. Begitulah kisahku, " cerita Mugayo seraya menghela nafas.
"Lalu setelah drama pengeroyokan, Mas Mugayo berhenti berpetualang?"
"Bukan berhenti tapi istirahat, " kilah Mugayo.
"Istirahat nya lama ya sampai lima tahun?"
"Itu dia. Mungkin karena gila kerja sampai sampai lupa untuk berkeluarga."
Sekira pukul 18.15 WIB, bertepatan dengan adzan Magrib, mobil yang dikemudikan Mugayo memasuki sebuah komplek sederhana dengan tipe rata rata 36/60. Di perumahan yang jauh dari kata mewah inilah Nattaya hampir lima tahun memilih hidup mandiri dan tidak lagi tinggal di panti asuhan tanpa maksud melupakan jasa jasa pengasuh panti yang sudah merawat dan membesarkannya. Tiap gajian tiba, Nattaya selalu menyempatkan diri ke panti asuhan untuk berbagi.
"Kak Nattaya kenapa?" suara cemas dari dalam rumah menyambut kedatangan Nattaya. Mugayo masih telaten membimbing langkah Nattaya hingga ke ruang tamu.
"Kakak tadi pingsan di kantor. Dan Mas ini yang bantu Kakak. Namanya Mas Mugayo. Kenalkan Mas, ini adik saya Afiza," Nattaya memperkenalkan adik angkatnya yang dulu satu panti dengannya.
"Tolong buatkan minum ya, Dik?" Nattaya meminta gadis belia di depannya yang biasa ia panggil adik untuk menjamu Mugayo.
"Alhamdulillah kamu ada teman. Saya kira kamu tinggal sendiri."
"Seandainya tinggal sendiri kenapa?" pancing Nattaya dengan perhatian Mugayo.
"Siapa yang merawat kamu?"
"Memang pikiran orang dewasa itu bijaksana sekali, ya? Sama seperti pemikiran orangtua asuh saya ketika hendak keluar dari panti lima tahun yang lalu. Mereka tidak mengijinkan saya ambil rumah kalau saya tidak mengajak salah satu anak panti untuk menemani karena khawatir kalau ada apa apa bagaimana."
"Berarti dewasa dan tua satu level dong, ya?" timpal Mugayo menanggapi pernyataan Nattaya.
"Dewasa, Mas. Kamu belum tua. " polos Nattaya tergelak. Lalu mempersilakan Mugayo menikmati hidangan yang tersedia. Tak lama kemudian Mugayo pamit pulang sambil menanyakan letak mushola komplek. Ia menolak halus penawaran Nattaya untuk sholat di rumahnya karena tak mau merepotkan.