Citra membeli 2 ekor kuda agar bisa dikendarai oleh Sin Liong dan Ki Galih Prawira. Mereka berdua akan berperan menjadi pengawal saudagar. Perjalanan akan dilanjutkan ke ibukota. Citra ingin memantau situasi yang berkembang karena beredar isu bahwa Galuh Pakuan sedang bersiaga perang. Majapahit hendak menyerang dengan kekuatan besar apabila Putri Dyah Pitaloka tidak bisa ditemukan sehingga perhelatan seserahan batal. Alasan harga diri Maharaja Majapahit yang akan dipakai oleh Mahapatih Gajah Mada untuk meluncurkan peperangan besar.
Citra sama sekali tidak menduga strategi ini dipakai oleh Mada justru untuk memuluskan rencananya menaklukkan Pasundan. Gadis ini yakin Mada sudah mempersiapkan penyergapan di Bubat sebulan lagi saat seserahan dilaksanakan. Tapi melihat perkembangan Citra dilarikan Raja dan belum ditemukan hingga saat ini membuat Mahapatih yang cerdik itu mempunyai alasan yang sangat kuat untuk menyerang Galuh Pakuan.
Raja dan Sin Liong memahami situasi yang pelik ini. Sedangkan Ki Galih Prawira yang tidak mengerti apa-apa hanya mengira bahwa peperangan ini adalah urusan antar kerajaan.
"Ini tidak hanya membelokkan sejarah Raja. Tapi membalik sejarah yang kelam menjadi semakin hitam. Kalau sampai pasukan besar Majapahit menyerbu Galuh Pakuan, aku tidak bisa membayangkan berapa banyak korban jatuh dari rakyat biasa yang tidak tahu apa-apa." Citra terlihat sangat cemas. Isu perang itu santer terdengar di mana-mana. Mereka kemarin berpapasan dengan ratusan prajurit Galuh Pakuan bersenjata lengkap sedang menuju perbatasan.
Sin Liong menanggapi dengan suara pelan. Tak ingin terdengar Ki Galih Prawira yang sedang memberi minum kuda di luar. Mereka tidak jauh lagi dari ibukota Galuh Pakuan.
"Putri, apakah kita tidak bisa memberikan penjelasan kepada ayahandamu tentang apa yang terjadi jika seserahan tetap dilakukan? Barangkali beliau bisa memahami dan menyampaikan penolakan kepada Baginda Raja Majapahit."
Raja menyahut cepat.
"Itu akan membuat peperangan lebih cepat terjadi. Mada punya alasan cukup untuk mengirimkan pasukan besarnya sedetik setelah penolakan itu sampai di Istana Majapahit."
Citra membenarkan.
"Pada intinya memang seperti itu. Aku hanyalah alat tukar bagi perdamaian dan peperangan. Mada hanya punya satu keinginan. Menaklukkan Kerajaan Galuh Pakuan. Jika seserahan terjadi dan kami berangkat, di Bubat kami akan dibantai sebagai tanda penaklukan. Jika sebaliknya, mereka punya alasan kuat menyerang karena sebuah penolakan berarti telah melukai harga diri Maharaja Majapahit. Jika aku tetap bersembunyi, tetap saja mereka menganggap ini sebagai penolakan. Bisa saja mereka menuduh bahwa aku disembunyikan dengan sengaja. Bukan karena melarikan diri."
"Ini namanya serba salah. Jadi apa yang mesti kita lakukan? Satu bulan bukan waktu yang lama. Sebentar saja kita akan tiba pada waktunya." Sin Liong bergumam.
Citra sedikit bersinar terang matanya ketika memikirkan ini.
"Antarkan aku ke Ujung Kulon! Aku harus menemui Resi Gunung Sagara. Beliau pasti tahu apa yang harus aku lakukan. Atau setidaknya memberikan petunjuk dan nasihat. Aku sangat percaya kepada resi sepuh yang waskita dan bijaksana itu."
Sin Liong melemparkan tatapan ke Ki Galih Prawira yang sedang asik memberi makan kuda-kuda. Ketua Padepokan Maung Sakti itu memang penggemar kuda dan sangat telaten merawat mereka.
"Bagaimana dengan Ki Galih Prawira, Putri?"
"Aku akan memintanya pulang ke padepokan. Sebagai bukti meyakinkan Panglima Narendra bahwa Padepokan Maung Sakti adalah abdi setia Kerajaan Galuh Pakuan, aku juga akan minta Ki Galih Prawira memimpin anak-anak murid padepokan untuk memperkuat pasukan di perbatasan setelah sebelumnya melapor kepada Panglima Narendra."
"Solusi yang tepat!" Sin Liong mendesis sambil berjalan keluar warung untuk memanggil Ki Galih Prawira masuk agar Citra bisa menyampaikan maksudnya tadi.
Begitu mulai memasuki pinggiran ibukota, Ki Galih Prawira memisahkan diri. Dia harus menghadap Panglima Narendra lalu mempersiapkan anak murid Padepokan berkemas menuju perbatasan.
Raja, Citra dan Sin Liong mengambil jalan memutar jauh dari gerbang ibukota. Mereka memilih menyusuri pantai selatan untuk sampai ke Ujung Kulon. Ke tempat pertapaan Resi Gunung Segara.
Jalanan umum melewati pantai selatan sangat sepi. Desa-desa di wilayah ini sangat berjauhan letaknya. Mereka harus melalui perbukitan dan pesisir pantai yang lengang. Namun ini malah membuat perjalanan mereka lebih cepat. Raja dan Citra meninggalkan kereta dan kuda-kudanya di kota kecil terakhir sebelum masuk pesisir selatan. Citra membeli 2 ekor kuda yang besar dan kuat untuk dirinya dan Raja. Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dengan berkuda. Tidak lagi sebagai saudagar bersama istri dan pengawalnya.
Setelah tiba di wilayah pesisir, jalanan sangat rata sehingga tiga orang ini bisa memacu kudanya. Waktu semakin sempit dirasakan Citra. Bahkan di wilayah terpencil ini sekalipun, orang-orang sibuk membicarakan peperangan besar yang kemungkinan akan terjadi. Beberapa berencana pergi ke ibukota untuk menjadi sukarelawan membantu pasukan Galuh Pakuan. Citra menjadi terharu. Orang-orang desa ini mempunyai rasa cinta yang besar kepada kerajaan yang selama ini menaungi dan melindungi mereka.
Dari hitungan jarak, mereka akan menempuh sehari semalam lagi untuk sampai di Tlatah Ujung Kulon. Ketiganya memacu kuda sekencang mungkin selama hari terang. Diselingi dengan istirahat makan dan minum bagi mereka dan kuda-kudanya.
Menjelang sore tibalah mereka di ujung jalan terakhir. Di hadapan mereka terbentang luas hutan lebat sepanjang mata memandang. Hutan yang memagari dan memisahkan daratan dan lautan. Sangat indah. Namun juga mencekam.
"Kita harus lanjut dengan berjalan kaki dari sini. Jalanan tidak memungkinkan kita terus menaiki kuda." Sin Liong menyipitkan matanya. Hutan itu terlalu lebat dan tidak ada jalan setapak. Percuma membawa kuda di medan sesulit ini.
"Apa tidak sebaiknya kita istirahat dulu malam ini. Citra nampak kelelahan. Lagipula lebih mudah dan aman melanjutkan perjalanan melewati hutan saat terang tanah." Raja mengusulkan. Citra dan Sin Liong mengangguk setuju. Kuda-kuda tidak diikat lagi dan dibiarkan lepas setelah kantong-kantong perbekalan diturunkan. Biarlah mereka menjadi kuda liar lagi seperti sudah seharusnya bagi kodrat seekor binatang.
Sin Liong membuat api yang cukup besar di sisi luar pantai. Mereka berada persis di perbatasan hutan belantara dengan lautan besar di sisi selatan. Ditakutkan ada binatang buas yang sedang mengendap-endap mengincar mereka. Api setidaknya bisa mengusir mereka. Kecuali harimau tentu saja. Binatang ganas itu tidak takut api. Apalagi jika sedang dalam kondisi lapar.
"Tidak usah takut. Kita juga sedang bersama seekor harimau." Citra bercanda sambil mengerling ke arah Raja ketika Sin Liong menambah banyak kayu untuk bahan bakar api dan mengatakan sebagai cara mengusir harimau yang kabarnya banyak terdapat di Tlatah Ujung Kulon.
Raja nyengir. Tapi sudut matanya bergerak menyelidik ke hutan di samping kanan mereka. Ada suara gemerisik halus tertangkap pendengarannya yang sangat tajam.
Itu bukan langkah kaki harimau. Tapi suara kaki beberapa orang yang mengendap-endap mendekat. Mengintai.
Raja memutuskan untuk tidak tidur.
-*********