Aku mengangkat tangan untuk menepis bibirnya sambil menatap dingin padanya, "Candra, setelah bertahun-tahun menikah, aku belum bisa memberimu seorang anak, apakah kamu benar-benar tidak membenciku?"
Candra menatapku dengan bingung, tidak lama kemudian dia malah tersenyum. Dia mengangkat tangannya dan mengusap rambutku, "Bodoh, aku sudah berkata sebelumnya, kamu adalah anakku. Aku memperlakukanmu sebagai putriku dan seumur hidup cukup ada kamu saja."
'Memperlakukanku sebagai putrimu? Seumur hidup ini cukup memiliki aku seorang. Haha, Candra, saat berbohong, apakah kamu tidak merasa bersalah? Kamu mengatakan ini karena kamu sudah memiliki seorang putri di luar sana. Mungkin suatu hari kamu akan memiliki seorang putra,' batin Yuwita.
Pada saat ini, kebencian di hati saya semakin mendalam. Kalau aku memegang sebuah pisau, mungkin aku akan menusuknya ke hati Candra.
Namun, Candra masih tidak menyadari keanehanku. Dia menutup matanya dan meletakkan wajahnya di leherku, kemudian dia menarik napas panjang dan berbisik, "Yuwita, kamu sangat harum. Saat aku pergi bekerja, aku memikirkan wangi tubuhmu, aku benar-benar ingin .…"
Candra menghirup aroma tubuh Yuwita seakan sangat menikmatinya, lalu dia membuka matanya yang jernih dan dimabukkan oleh cinta. Sorot matanya dipenuhi dengan kasih sayang dan cinta yang mendalam. Pada saat itu, pikiranku sedikit linglung, suhu tubuh dan pelukan yang sangat familier. Bau alkohol yang samar bertahan di udara, membuatku tanpa sadar ikut tercandu.
'Apakah benar dengan sesuatu yang dikatakan Stella? Apa dia sengaja mengirim foto itu untuk membuat perselisihan karena iri dengan kebahagiaan di antara aku dan Candra? Tapi, anak itu sangat mirip dengan Candra dan setiap bulan Candra selalu melakukan perjalanan bisnis, bagaimana dengan masalah ini?' batin Yuwita.
Saat aku menutup mataku, hati kecilku penuh dengan perasaan campur aduk. Tiba-tiba, Candra memelukku, lalu aku merintih pelan, Candra sudah menciumku ....
Meskipun kami telah bersama selama empat tahun, Aku dan Candra sudah merupakan pasangan suami dan istri lama, tapi tubuh kami tidak pernah bosan dengan satu sama lain. Kami tahu bagaimana cara membuat pasangan bergairah. Candra bahkan lebih memahami hal ini. Malam ini, dalam keadaan benci dan ragu aku masih merasa bergairah, kemudian aku tertidur lelap.
Hanya saja tidurku tidak nyenyak. Aku terus bermimpi Candra selalu bersama anak itu. Aku mendengar suara Candra yang berkata, "Menikahinya hanya karena kebutuhan fisik."
Aku kembali melihat senyum bangga Stella, dia berkata, "Kami adalah satu keluarga. Yuwita, kamu harus pergi."
Saat bangun, Candra sudah berpakaian rapi.
"Aku akan pergi ke Kota Canis untuk perjalanan bisnis sebentar dan kembali besok malam."
Candra datang dan mencium keningku. Jantungku langsung berdegup kencang.
Aku berpura-pura merasa tidak rela dengan merangkul tanganku di lehernya, lalu merangkul tubuhku di pundaknya sambil bertanya dengan ekspresi sedih, "Lagi-lagi ke Kota Canis, apa kamu memiliki selingkuhan di sana?"
Jelas-jelas aku melihat mata Candra berkedip, dia tersenyum lalu mengangkat tangannya dan mencubit hidung kecilku, "Apa yang kamu bicarakan, bagaimana mungkin aku mengkhianatimu. Patuhlah, tunggu aku kembali."
Dia membungkuk dan mencium bibirku, tapi aku malah melingkarkan lenganku di lehernya lebih erat. Dengan sebuah tarikan, tubuhnya yang terbalut dengan setelan mahalnya langsung terjatuh ke atas tubuhku..
Ternyata dia mengunjungi Kota Canis sebulan sekali karena memiliki kekasih dan putrinya di sana. Dia tidak pernah menyalahkanku karena tidak bisa hamil. Karena dia sudah memiliki seorang putri dan mungkin kelak dia akan memiliki putra.
Sementara orang tuanya yang aku perlakukan sebagai orang tua kandungku sendiri tahu akan hal ini. Serta teman-temannya dan mereka yang memanggilku kakak ipar juga mengetahuinya. Hanya aku tidak mengetahui hal ini.
Kebencian di hatiku tiba-tiba melonjak, aku menahan diriku untuk tidak mencekik Candra sampai mati. Aku menggunakan beberapa pose untuk membalas dendam dan menyiksanya, tubuhnya yang putih dan kokoh itu penuh bekas yang aku tinggalkan. Dia terlihat kelelahan dan mulai memohon ampun dan berkata dirinya sudah tidak mampu lagi. Sebentar lagi dia harus melakukan perjalanan bisnis. Dia takut tidak memiliki kekuatan untuk mengemudi ke Kota Canis.
Kemudian aku baru beranjak dari tubuhnya dengan lelah.
Candra benar-benar kelelahan, kami baru berhubungan tadi malam. Pagi ini, aku kembali menyiksanya lagi, bahkan tubuh kokoh pun tidak akan bisa menahannya. Apalagi aku mencubit sekujur tubuhnya hingga memar dan beberapa bagian yang terluka.
"Kucing liar, kenapa hari ini kamu tidak bisa puas?"
Candra menundukkan kepalanya untuk meniup lukanya. Kemudian, dia bangun dan mengenakan pakaian sambil bergumam dengan penuh perhatian. Pada saat ini, dia masih tidak menyadari keanehanku. Mungkin karena aku terlalu pandai menyembunyikannya. Aku sangat membencinya, tapi malah masih berhubungan intim dengannya.
Saat Candra pergi, matanya masih terlihat lelah. Mercedes-Benz putihnya melaju keluar dari kompleks perumahan. Saat itu, aku membuntutinya dengan mobil yang aku sewa.
Setelah dua jam mengemudi di jalan tol, aku mengikuti Candra sampai ke Kota Canis. Aku melihat mobilnya berhenti di area perumahan gedung bertingkat. Setelah Candra mengeluarkan kartu akses, mobil itu masuk ke dalam perumahan. Mobilku dihentikan oleh satpam untuk memintaku menunjukkan kartu akses.
Aku mengeluarkan kartu identitas yang ditinggalkan Candra di dalam tasku beberapa hari yang lalu, lalu berkata bahwa aku datang bersamanya. Setelah melihatnya, satpan membiarkanku masuk.
Aku mengendarai Volkswagen Bora sewaan untuk mencari di lingkungan yang tidak dikenal ini. Dengan cepat aku menemukan Mercedes putih Candra yang diparkir di bawah gedung apartemen dengan puluhan lantai.
Candra yang mengenakan pakaian putih itu berdiri di depan mobil. Tubuhnya yang tinggi itu terlihat gagah dan tampan. Saat ini dia merentangkan kedua tangannya.
Seorang gadis kecil dengan gaun merah dan sepatu kulit merah yang terlihat seperti boneka berlari ke arahnya, "Ayah!"
Candra berjalan dua langkah ke depan dan menggendong gadis kecil itu, lalu beberapa kali mencium wajah putih itu, wajah tampannya itu memancarkan kelembutan dan kasih sayang yang tak terbatas, "Julia, Ayah telah datang."
Mendengar suara lembut itu, aku merasa seakan tersambar petir, ternyata apa yang dikatakan wanita itu benar.
"Candra, kamu sudah datang."
Stella yang mengenakan gaun merah berjalan mendekat. Pada saat itu, mungkin hanya khayalanku. Matanya tampak melirikku, kemudian dia berjalan membelakangi mobilku dan berdiri di samping Candra.
Dibandingkan dengan foto di dompet Candra, dia yang telah melahirkan seorang anak tidak ada banyak berubah, dia masih tinggi dan ramping dengan wajah cantik bagaikan lukisan.
Aku memegang dadaku. Saat itu aku aku seakan kehilangan napas, Candra dan Stella benar-benar bersama. Apa yang dikatakan Stella benar.
"Ayah, bolehkah Ayah juga mencium ibu? Setiap hari Ibu merindukanmu."
Suara gadis kecil yang manis itu kembali menyambar hatiku. Pada saat itu, aku sudah tidak bisa bernapas. Aku melihat Candra menyunggingkan sudut bibirnya dengan lembut dan wajahnya tersenyum manis. Namun, Sebelum Candra mencium Stella, amarah dan kesedihan sudah membuatku gila.
"Penipu! Mati kalian semua!" teriakku sambil menginjak pedal gas, Bora hitam langsung mengarah ke mereka.
"Memangnya kenapa kalau tidak ada anak, kamu adalah anakku, aku cukup memilikimu."
"Yuwita, kita adalah suami istri di kehidupan ini dan kita akan bersama di kehidupan mendatang."
"Yuwita, aku mencintaimu."
Kata-kata manis itu masih terngiang di telingaku, juga kemarahan dan penghinaan yang kuat serta keluhan menghilangkan kewarasanku. Aku mengendarai mobil itu ke arah mereka bagaikan orang gila.