Seolah menyadari sesuatu, Candra tiba-tiba menoleh. Ketika dia melihat mobil yang sedang melaju kencang, wajahnya tampannya itu menjadi pusat pasi. Seketika senyuman di wajahnya langsung menghilang. Dia mendorong Stella yang berjarak paling dekat dengan mobilku. Akan tetapi, dia tidak sempat menghindar, dia yang memeluk anaknya itu berguling beberapa meter jauh.
Volkswagen Bora yang aku kendarai juga kehilangan kendali dan menabrak bebatuan di kompleks perumahan. Darah dengan cepat menetes dari dahiku hingga membuat pandanganku menjadi kabur. Saat tidak sadarkan diri, aku mendengar sirene mobil polisi dan ambulans.
Ketika aku membuka mata, aku sudah berada di rumah sakit. Kepalaku terbalut kasa tebal, cedera di kepalaku membuatku pusing. Tubuhku sedikit tidak terkendali. Dua polisi berdiri di samping ranjang, menungguku bangun untuk diinterogasi. Aku juga melihat ekspresi temanku, Cindy Pawaka yang terlihat cemas dan khawatir.
"Di mana pembunuhnya? Aku akan membunuhnya!"
Ibunya Candra, Bherta Wijaya berjalan masuk sambil berteriak dengan marah. Dia berlari masuk seperti embusan angin, dia mengabaikan polisi yang menghalanginya, lalu mengangkat tangannya dan menamparku dua kali.
"Kamu adalah seorang pembunuh, algojo! Kamu tidak bisa melahirkan anak, bahkan masih ingin membunuh putra dan cucuku. Hari ini, aku akan membunuhmu!"
Bherta menyerang dan mencekik tenggorokanku dengan kedua tangannya.
Luka di dahiku kembali terbuka. Darah segar langsung membasahi kain kasa tebal. Wanita yang aku panggil ibu selama empat tahun. Wanita yang aku perlakukan seperti ibuku sendiri. Dia seakan tidak menganggapku, matanya terlihat memerah dan nadi di kedua tangan berdenyut seperti cakar iblis yang mencekik leherku.
"Lepaskan! Kamu akan membunuhnya!" Cindy ketakutan dan bergegas untuk melepaskan tangan Bherta.
Namun, semua itu tidak ada gunanya. Bherta ingin aku mati untuk putra dan cucunya.
Leherku tercekik hingga tidak bisa bernapas. Mataku memutih, aku pikir aku akan mati. Jika Bherta tidak mencekikku hingga mati, aku juga akan dihukum mati oleh pengadilan karena telah membunuh ayah dan anak perempuan itu.
Kemudian, polisi menyelamatkan hidupku. Sebelum kasus ini diselidiki, aku yang merupakan algojo ini tidak boleh mati.
Polisi menarik Bherta pergi. Setelah Bherta menangis dan memarahi dalam waktu lama, dia ditarik pergi oleh kerabatnya. Polisi mencatat sambil bertanya kenapa aku menabrak Candra dan putrinya.
Aku berkata, Candra berbohong kepadaku. Dia berselingkuh dan memiliki seorang putri yang sudah besar. Hampir empat tahun dia berbohong kepadaku. Aku terpukul hingga menabrak mereka.
Polisi memperlihatkan ekspresi itu simpati, tapi simpati bukanlah alasan untuk tidak menangkapku. Tiga hari kemudian, aku dibawa pergi dengan mobil polisi.
Sambil menunggu persidangan, Stella memposting di Internet, dia berkata awalnya dirinya dan Candra adalah pasangan, aku adalah pihak ketiga yang merebut kekasihnya. Karena tidak dapat melahirkan seorang anak, aku ingin membunuh putrinya. Untungnya pada hari itu Candra berada di sana, kalau tidak, putrinya pasti sudah mati.
Dia berkata dengan air mata berlinang seperti darah yang menetes, para penonton sangat marah dan membenciku yang disebut "selingkuhan" ini. Ada juga rekan-rekan di profesi hukum yang sukarela membantu Stella untuk menggugatku. Mereka bersumpah untuk membuatku mendapat hukuman mati.
Tentu saja, aku tidak tahu semua ini. Cindy memberitahuku sambil menangis. Cindy juga memberitahu Candra dan putrinya tidak mati. Ketika mobilku menabrak mereka, Candra menggunakan tubuhnya untuk melindungi putrinya, jadi putrinya hanya mengalami sedikit luka lecet di lengannya. Sementara Candra yang harusnya tidak terluka, tapi karena dia mendorong Stella hingga tidak sempat menghindar dan sekuat tenaga melindungi putrinya, organ dalamnya mengalami pendarahan dan juga banyak tulang yang patah. Sekarang dia masih dirawat di ICU.
Air mataku terjatuh.
Lelaki ini adalah lelaki yang selalu berkata akan memanjakanku seperti seorang putri. Di kehidupan berikutnya dia akan menikahiku. Dia menggunakan nyawanya untuk melindungi wanita selingkuhan dan putrinya.
Bherta datang lagi, dia berteriak dan menangis histeris. Dia sangat ingin menusukku yang berada di balik kaca tebal dengan pisau. Aku seakan tidak melihat kejadian itu, aku sudah putus asa.
Dengan cepat, telah tiba hari persidangan. Aku dipegang oleh dua polisi dan berdiri di kursi pemeriksaan, aku mengenakan pakaian tahanan dan tanganku juga diborgol. Bherta dan ayahnya Candra, Rinaldi Kurniawan juga datang. Ekspresi Rinaldi terlihat tidak karuan. Ketika melihatku, Bherta berteriak padaku. Jika polisi tidak menghentikannya, dia akan menyerang dan mencabik-cabik wajahku.
Mungkin karena lukanya sangat parah, Candra tidak hadir di persidangan. Namun, teman masa kecil Candra telah datang. Ekspresi mereka terlihat sangat marah seakan ingin mengulitiku, ada juga yang terlihat tak berdaya dan menyesal, ada yang tidak percaya akan hal ini. Wanita yang mereka panggil kakak ipar ternyata iblis berhati busuk.
Stella berdiri di kursi penggugat, dia menangis hingga tubuhnya gemetaran dan terus bergumam, "Julia belum genap berusia tiga tahun, bagaimana dia bisa sekejam itu menabraknya ...."
Penampilan yang lemah dan menyedihkannya ini, ditambah dengan simpati orang-orang terhadap yang lemah, semakin membuat para penonton marah. Mereka berteriak agar hakim menjatuhkan hukuman berat. Hanya Cindy yang menangis dan berteriak jika aku tidak bersalah.
Aku tersenyum sedih pada Cindy. Mereka ingin aku mati, apa gunanya kamu berteriak sendirian?
Akhirnya, hakim menghentikan keributan itu, keputusan pengadilan tidak sesuai dengan keinginan Bherta dan Cindy, karena orang yang aku tabrak tidak mati.
Aku dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan memulai kehidupan di penjara. Rambut keriting panjangku dipotong pendek sampai di telinga. Setelan profesional dan cakap tergantikan oleh seragam penjara yang longgar dan sederhana. Aku bekerja keras seperti tahanan wanita lainnya, makan makanan yang paling sederhana, tinggal di penjara yang kumuh dengan tahanan yang lain.
Di antara para tahanan wanita, ada terdakwa yang kasusnya ditangani olehku. Mereka tidak akan melewatkan kesempatan untuk membalas dendam kepadaku. Saat ada pengawas, mereka tidak berani menyiksaku. Namun, malam menjadi pelindung untuk mereka.
Mereka menjambak rambutku, melukai pahaku, menusuk kulitku dengan ujung pena, menyiram lenganku dengan air mendidih. Mereka melukai semua tubuhku yang tertutup oleh pakaian dengan menggunakan segala cara yang terpikir oleh mereka.
Aku menahan semua penyiksaan itu.
Aku tidak mengerti bagaimana aku yang sangat melindungi diri bisa menahan semua itu. Aku bahkan bisa menahan semua penyiksaan yang tidak manusiawi itu.
Mungkin ini karena aku sudah putus asa.
Aku putus asa hingga penganiayaan fisik tidak dapat memprovokasiku lagi. Bahkan aku tidak merasakan sakitnya karena hatiku juga telah mati rasa.
Setelah tiga bulan di penjara, Candra datang.