Bagian Satu awal perkenalan
Siang itu, udara terasa menyengatkan badan. Diiringi sengatan mentari siang dan hingar bingarnya susana kota, membuat situasi di kota Sioux yang juga sebagai pusat pemerintahan negara Tak Bernama semakin ruyam, udara terasa sumpek, asap tebal gas buangan dari kendaraan bermotor turut membantu peningkatan CO2. Saat itu di pinggiran jalan pahlawan tak dikenal, yang selalu ramai dengan kesibukan manusia dan lalulintas kendaraan, tampak seorang pemuda berambut ikal dan berkulit agak kecoklatan, tipikal wajah dari negeri bagian timur negara Tak Bernama. dia mengenakan pakaian lusuh, celana jeans yang sudah robek dibagian lutut dan bersendal jepit, sedang berjalan sambil menenteng tas berisi koran. Pekerjaannya memang seorang penjual koran. Sesekali ia berteriak menawarkan koran.
"koran…..koran….. koran… ada berita hangat dari mancanegara, negara tetangga kita melakukan embargo ekonomi dan larangan masuk ke negara yang sedang didudukinya. koran…..koran….. koran… berita dalam negeri, lima ratus penduduk dari propinsi paling ujung meninggal karena mati kelaparan.
Kesibukannya terusik dengan teriakan seorang wanita yang kecopetan
" tolong.... Tolong,…. Copet....copet....aku dicopet teriaknya seraya menunjuk ke arah pencopet yang sedang berlari cepat. Suasana disekitar tempat itu menjadi tidak menentu, semua orang disekitar itu ikut turut mengejar pencopet tersebut. Ketika Revan sedang mengangkat muka, tampak seorang pria berlari cepat menuju ke arahnya sambil membawa sebuah tas wanita. Tanpa berpikir panjang Revan segera melepaskan tas berisi koran dari punggungnya, lalu menghadang pencopet tersebut. Namun pencopet itu tampaknya sudah nekad, dengan segera ia mendekati Revan yang sudah siap dengan jurus naga membelah gunung. Sesaat kemudian terjadilah pertarungan sengit antara kedua pria ini. Masing-masing pihak tidak ada yang mau menyerah, Revan beberapa kali hampir terpeleset diterjang pencopet yang berbadan tinggi dan besar, rupanya dia tidak mau memberi kesempatan kepada Revan.
Bukhhh…..bukhhhhh…..bukhhhhh sebuah tendangan bertubi-tubi dari jurus naga membelah gunung berhasil mengenai wajah si pencopet, tendangan keras ini berhasil merubuhkan pertahanan lawan, sesaat kemudian pencopet tersebut rubuh seketika itu juga, dari mulut dan hidungnya keluarlah cairan berwarna merah segar. Tidak lama kemudian para pengejar yang datang secara bergerombolan juga telah tiba di tempat kejadian itu. Revan lalu menghampiri pencopet yang sudah tak berdaya itu, yang sudah bermandikan darah dengan mulut dan hidungnya terus mengucurkan darah segar. Revan kemudian mengambil tas itu dari tangan pencopet, sejurus kemudian Dia memandang ke arah kerumunan orang yang sudah mengepung pencopet tersebut dan siap menghakimi dia.
"kita bakar saja ini orang" teriak seorang bapak berbadan tinggi dan besar.
"ampun bang…. Ampun bang…" jerit pencopet itu dengan ketakutan amat sangat. Dia membayangkan panas api yang membakar tubuhnya, berkali-kali Dia berteriak minta ampun.
"bakar…..bakar…. bakar saja, dasar penjahat, kurang ajar, anjing, biadab"
"pemalas kerja, kenapa gak nyari kerja lain aja,"
"bakar saja, biar jadi pelajaran bagi yang mau coba-coba mencopet"
Ribuan sumpah serapah dan kata-kata makian meluncur deras dari para pengejar bagaikan ular mendesis mencari mangsa. Untuk mencegah terjadinya aksi main hakim sendiri, Revan kemudian berkata kepada para pengejar tersebut,
" tenang-tenang….. tenang-tenang….. saudara-saudara mohon jangan main hakim sendiri,sebaiknya mari kita serahkan kepada pihak berwajib. Dan karena ini adalah tugas mereka maka biarlah mereka menangani kasus ini, sekali lagi saya mohon saudara-saudara jangan ada yang main hakim sendiri. Bagaimana, apakah kalian Setuju kalau pencopet ini kita serahkan kepada aparat penegak hukum..." seru Revan dengan suara nyaring seraya memandang orang-orang disekelilingnya, yang berkerumun di bawah pohon mahoni yang cukup rindang sekaligus menjadi tempat berlindung dari teriknya matahari.
"Oke… baiklah kami juga setuju kalau kita serahkan kepada pihak berwajib, tapi sebelumnya rasakan ini" timpal seorang pemuda di samping kanan pencopet seraya menendang pencopet itu dengan sepatu laras milik tentara. Sepertinya pemuda ini bekerja sebagai satuan pengamanan di perusahaan sepatu yang berdiri tidak jauh dari lokasi tempat kejadian perkara.
" kami juga setuju …. " setuju …. setujuuuuuuuuuuuuuuu......" terdengar suara koor dari para pengejar.
Revan kemudian menyerahkan pencopet tersebut kepada petugas keamanan kota yang baru saja tiba di tempat kejadian perkara, setelah menerima telepon dari seseorang. Lambat laun kerumunan orang itu mulai membubarkan diri satu per satu, tinggalah Revan bersama gadis cantik nan jelita. Suasana kembali normal seperti biasa, orang-orang kembali pada sibuk dengan urusannya masing-masing tanpa menghiraukan lagi kejadian yang baru saja terjadi. Revan mendekati gadis itu lalu menyerahkan tas bermerek itu kepadanya.
"ini tas anda, lain kali harus berhati-hati " berkali-kali ia menelan saliva melihat gadis itu tersenyum ramah kepadanya.
"terima kasih atas bantuan anda, kamu gak apa –apa ya " ucap gadis itu dengan suara gemetartar hampir tak kedengaran. Ketika matanya menangkap sosok pemuda berpenampilan sederhana yang baru saja menolong dirinya. Ada perasaan aneh muncul dalam dirinya, ia terus menatap Revan dengan pandangan yang sulit dimengerti. Ada perasaan yang belum pernah dirasakannya muncul. Perasaan yang sama juga dirasakan oleh pemuda bersandal jepit dan berpakaian sederhana. Ada getaran-getaran aneh menggelora dalam dada. Mereka berdua hanya saling menatap tanpa ada yang memulai. Yang ditatap dan yang menatap hanya berdiam diri, sesekali terdengar tarikan dan hembusan nafas halus dari kedua hidung mereka berdua.
"hai kenapa kamu terus memandang aku " seru gadis itu dengan suara keras. Revan sepertinya tersadar dari lamunan panjangnya, dengan suara tergagap ia berkata,
" ohhh tidak tapi perasaanya aku pernah melhatmu, tapi dimana yahhh….."Dia pura-pura berpikir, aku tapi kayaknya sudah lupa lanjutnya lagi.
"aku juga hampir setiap hari melihatmu di lampu merah, saat aku pergi dan pulang kampus." Ujar Gadis itu seraya menyugar rambut hitam yang tergerai menutupi wajah cantiknya.
"memangnya kamu tinggal dimana" tanya Revan sambil menatap gadis itu secara lebih dekat.
"aku tinggal tidak terlalu jauh kok dari sini" balas gadis itu dengan wajah berbinar-benar.
"entar aku antar kamu pulang yah" ajak Revan
"Memangnya kamu tahu rumah aku" jawab gadis itu sambil membetulkan bandol di rambutnya.
"khan ada kamu yang nunjukin jalannya"ucap Revan dengan memasang mimik jenaka, membuat gadis itu tersipu malu.
"Ehh… ngomong-ngomong kamu tinggal dimana" tanya gadis itu, sementara matanya terus memandang ke arah Revan yang hanya berdiri terpaku.
Revan hanya diam saja, Dia bersandar pada batang pohon mahoni yang tumbuh subur di pinggir jalan sambil memandang satu skuardon pesawat tempur yang baru saja terbang melintas. Pesawat SN 520 dilengkapi senjata canggih buatan putra-putra terbaik negeri tak bernama yang sedang terbang membelah angkasa, meninggalkan suara gemuruh seperti bunyi petir di musim hujan. Dalam hatinya muncul rasa kagum dan bangga pada bangsanya sendiri yang sudah berhasil memproduksi pesawat tempur sendiri,walaupun di tempat lain, di sudut negeri yang tercinta ini, masih ada sekelompok masyarakat, sekelompok anak bangsa yang masih hidup engan mati tak mau. Masih banyak warga negara yang masih hdup mengharapkan bantuan dan uluran tangan dari pemerintah, terrmasuk dirinya yang harus rela berpeluh membiayai kuliah magister di fakultas pertanian universitas negeri tak bernama.
" hei…. kamu tinggal di mana' seru gadis cantik itu kesal
"bagiku tidak penting kamu harus tahu dimana aku tinggal emmm.. seandainya aku tinggal di kolong jembatan apa kamu mau tinggal bersama aku di kolong jembatan " jawab Revan dengan memasang muka serius dia merasa agak jengkel terhadap gadis yang baru saja ditolongnya ini.
"aku gak percaya, masah cowok ganteng seperti kamu mau tinggal di situ" kini gantian gadis ini memasang muka cemberut
" ehhh… ngomong-ngomong dari tadi kita belum kenalan yah, namaku Revaldo Antonio, boleh panggil aku Revan, atau Revanol atau apa saja yang penting jangan panggil aku monyet karena aku bukan monyet hahaha...…. terus nama kamu siapa " ujar Revan sambil tersenyum, sekaligus mengingat kembali peristiwa beberapa tahun lalu, gara-gara sebutan monyet bagi sekelompok mahasiswa dari sebuah suku di negeri paling ujung negara ini, sempat menmbulkan kerusuhan di beberapa kota.kata itu sempat menjadi trending topik di beberapa media sosial.
Gadis cantik itu membalas senyum, dalam hati ada rasa tertarik dengan pemuda keren berpenampilan sederhana, tidak seperti dengan pemuda lain yang pernah dikenalnya . pintar juga cowok ini melucu, umpat gadis itu dalam hatinya.
"keren juga ya nama kamu, seperti nama pemain sepak bola asal Portugal, kayaknya kamu masih ada hubungan keluarga sama Christian Ronaldo deh...
"bisa juga sih, kayaknya kami sepupuan lain kali , memang pada masa penjajahan, daerah aku pernah dikuasai oleh Portugis, sehingga banyak keturunan Portu yang tinggal dan menetap disana, dan juga sebaliknya, banyak orang dari kampung aku dibawa Portugis ke negaranya, mungkin leluhur aku ada yang yang ikut orang Portugis, lalu berkembang biak dan baeranak pinak di sana, terus keturunan mereka sampai pada Christian Ronaldo,, he….he…he…"timpal Revan tergelak.
"masa sih"
"gak mungkinlah Christian Ronaldo jauh di Portugal sana, sementara aku dari timur negeri ini "
"pantasan…."
"Pantas apaan"
Pantas black , hahahaahaa… gadis itu tertawa keras, sampai orang –orang di seberang jalan semua pada menoleh ke arahnya.
" eh.eh.eh.eh sory yah, biar hitam begini tapi jadi rebutan, buktinya tadi kamu bilang aku ganteng ha…ha…haaaa…"
"yeeee pede banget kali"
"ya iyalah… jadi orang tuh harus pede gitu,.. eh, terus nama kamu siapa, masa aku harus panggil kamu hei …. Hei hei …. Hei, emangnya nama kamu hei" seloroh Revan seraya menatap gadis di depan.
"o..o.. iya…um..m..mm namaku Sensiana, kamu boleh panggil aku Sensi, apa aku harus ulang lagi, namaku S E N S I A N A, gadis itu mengeja namanya satu demi satu huruf-huruf yang membingkai namanya, dengan suara keras melebih bunyi kendaraan di jalan raya.
"stop…stop… jangan keras –keras, kamu pikir aku tuli yah"
"siapa tahu kamu tuh benaran tuli, hahaha…"
"rasanya aku senang berkenalan dengan kamu Sensi, apalagi kamu gadis yang cantik, menawan dan penuh pesona, energik dan blaaa…. Blaaaaaaa..."
Air muka Sensi berubah merah menahan lucu dan malu, dadanya berdesiran bagaikan desiran air hujan dikala senja, saat mendengar pujan dari pria yang baru saja menolong dirinya. Ada rasa damai dan sukacita menyelimuti hatinya yang selama ini beku dan tertutup.
"Kita udah kenalan., biarkan aku pergi sekarang, takutnya kamu merasa terhina jika dilihat orang, siapa tahu ada teman atau pacar kamu lewat disini dan melihat ada gadis cantik sedang berdiri dengan seorang gembel penjual koran" kata Revan seraya siap-siap mau beranjak dari tempat itu.
" malas tahu ahhh, biarkan saja, yang penting mereka tidak mengusik keberadaan kta disini dan kita juga tidaak mengganggu mereka juga kok" jawab Sensi sedikit emosi.
Ya… udah aku pamit dulu ya… mau lanjutkan jualan ini" kata Revan seraya menunjukan setumpuk koran yang berada dalam tas punggungnya. Perasaannya terhadap lawan jenis yang selama ini membeku kembali mencair, namun Dia takut akan kenangan buruk yang pernah dialaminya kembai terulang, maka ia buru-buru mohon pamit. Kira-kira baru sepuluh langkah Dia berhenti, seperti ada suara memanggil namanya.
"Rev…. Revan…"
Revan menghentikan langkahnya sesaat, ketika menoleh, matanya beradu pandang dengan mata Sensi yang begitu teduh. Sensi hanya diam tertunduk, tak kuasa menatap sorotan mata pemuda didepannya ini, dadanya kembali bergemuruh, jantungnya seakan mau copot, perasaan aneh kembali merayapi dirinya.
"kenapa Sen, kamu takut aku tinggal sendirian yah…"
Aku masih ingin ngobrol sama kamu, rasanya tak enak aku sendirian disini… temani aku yah. Ujar Sensi seraya menyeka peluh di wajahnya.
Revan tidak menjawab, lama ia terpaku di tempat, rasa heran dan kagum pada gadis yang terlihat bukan sembarang gadis. Ditilik dari penampilannya, dia bukan gadis biasa, tapi mengapa dia rela dan mau berpanas-panas menemani dirinya dengan mengabaikan gunjingan orang. Revan menatap gadis itu, sesekali Dia menelan saliva.
"hei… jangan menatap aku seperti itu " teriak Sensi dengan menampilkan wajah kesal karena ditatapi seperti itu. Revan sadar dari hayalan panjangnya, tapi otaknya masih berputar cepat mencari alasan tepat.
"ohhh tidak, aku hanya berpikir, apakah aku bisa menemanimu sementara jualanku masih menumpuk, lebih baik kamu minta aja cowok yang duduk diseberang jalan itu untuk menemani kamu" serga Revan seraya menunjuk pada seorang pria gembel yang duduk di bawah pohon mahoni yang tumbuh subur disamping kantor Pemerintahan Kota Sioux berseberangan dengan jalan Pahlwan tak dikenal tempat Dia bersama gadis cantik itu berdiri.
"gila kamu, emangnya aku suka sama dia" lagi-lagi Sensi memasang wajah cemberut.
"terima kasih dan Puji Tuhan, ternyata ada gadis tercantik di kota Sioux yang mau dengan pria gembel seperti saya " Revan menebarkan senyuman lebar. Dalam hati kecilnya timbul rasa bangga dan senang.
"siapa yang suka sama kamu sembarangan aja kamu"
"terus tadi kamu bilang apa, "
Sensi semakin dipojokan dengan ulah pemuda tampan berpenampilan agak gembel ini. Sesekali Dia menyugar rambut panjangnya yang tergerai ditiup angin.
"nggak kok, aku Cuma pingin kamu yang menemani aku saja"ujar Sensi dengan tatapan serius. Dia berhenti sejenak, seraya menatap ke arah jalan yang tak pernah sepi dari suara hingar bingar kendaraan dan manusia yang berseliweran.
"maaf…. Jika kurang biar nanti aku nambah aja, kebetulan aku ada sedikit uang" lanjutnya lagi.
Revan kaget setengah mau mati, rasa marahnya timbul tiba-tiba pada gadis tercantik di kota Sioux. Harga dirinya seperti diinjak-injak.
"apaaaaaa….. uang…. Lu mau kasih beta uang... sonde ( tidak)…. Sonde…sonde ….… beta sonde mau terima lu pung doi (uang), supaya lu tau ee.. beta sonde mau beta pung harga diri jatuh karena lu pung doi, lu jangan samakan beta dengan pelacur-pelacur kota. Biar beta miskin tapi masih punya harga diri, beta bisa cari makan dengan cara yang halal. lu paham itu" teriak Revan dengan dialek ketimurannya, wujud aslinya sebagai orang timur yang tidak suka neko-neko muncul seketika. Sensi hanya diam saja tak memberikan reaksi, matanya menatap pemuda timur ini dengan tatapan sendu tak bergairah.
Rev….. panggilnya lirih, suaranya pelan hampir tak kedengaran
"maaf…, aku tak bermaksud merendhkan kamu" lanjutnya pelan
"maafkanlah aku Rev, sekali lagi aku minta maaf jika kata-kataku sangat menyinggung perasaan kamu. Baru kali ini aku temukan seorang pemuda yang rela berpeluh di teriknya matahari demi mencari sesuap nasi, aku kagum pada kepribadianmu. Ucapan Sensi bagaikan gunung es menabrak matahari. Hancur…luluh Kata-kata Sensi mampu menghancurkan keegoisan Revan yang berwatak keras.
"maafkan aku juga Sen, sikapku memang seperti itu, lekas tersinggung jika ada orang yang suka pamer-pamer kekayaan di hadapanku, aku sadar, diriku dilahirkan dari keluarga sederhana. Sekali lagi aku mohon maafkanlah aku ya.."
"ooo iya,kamu sudah tahu siapa aku dan kita juga sudah berkenalan, maka biarkanlah aku pergi masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan" kata Revan seraya melirik jam dipergelangan tangannya.
"pergilah Rev, aku tak bisa membantumu lebih, hanya ini saja, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih atas pertolonganmu tadi, aku harap kamu sudi menerimanya" ujar Sensi seraya menyodorkan dua lembar kertas berwarna merah. Diluar dugaannya Revan menolak secara halus pemberiannya.
"terima kasih atas bantuan dan perhatianmu, aku tidak layak menerimanya, dan aku rasa sebaiknya bantuanmu ini kamu berikan kepada ibu yang di sana" kata Revan sambil menunjuk kepada seorang ibu dengan badan penuh borok sedang duduk mengemis sambil menggendong seorang anak kecil di perempatan lampu merah jalan pahlwan tak dikenal. Sensi sesaat tertegun. Betapa mulia hati pemuda ini. Sifat asli ketimuran yang lebih peduli pada orang-orang tidak mampu dan berkekurangan. seperti yang pernah Dia baca disebuah ulasan koran tentang sifat dan karakter orang timur yang punya kepedulian terhadap orang miskin dan tersisih begitu tinggi, taat pada agama dan menghargai kaum hawa, sehingga untuk mau menikahi kekasihnya, seorang pemuda timur harus menyiapkan sebatang gading yang nilainya ratusan juta sebagai mahar kepada calon istrinya.
"o iya Sen, sebelum aku pergi, bolehkah aku minta alamat rumah atau nomor kontak kamu, siapa tahu satu hari nanti aku membutuhkan bantuanmu atau juga sebaliknya" kata Revan sambil memasukan koran kedalam tas punggung yang tergeletak begitu saja di atas rumput hijau.
"Ok Rev…, aku tinggal di jalan Pusara Tak Bernama di pinggiran kota tua dan ini nomor kontak aku, mau di whatsapp, telegram atau telepon biasa juga semua ada disitu" ujar Sensi seraya menyebutkan nomor kontak dan alamat rumahnya. Revan kemudian menyimpan nomor kontak Sensi dan ponsel jadul miliknya.
"entar aku telpon ya, biar kita ngobrol lebih banyak atau kalau boleh aku bisa main-main ke rumah kamu" celutuk Revan dengan senyum mengembang dibibirnya.
"Boleh main ke rumah aku, tapi ada syaratnya, yang pertama jangan datang di malam hari entar kamu dikira maling, yang kedua kalau mau datang harus sms atau telepon aku terlebih dahulu dan yang ketiga jangan datang di pagi atau siang hari karena aku sibuk kuliah" jawab Sensi dengan hati berbunga-bunga. Benih asmara yang selama ini kering dan gersang mulai bermunculan dalam dada. Sejenak Dia melupakan persoalan dalam hidupnya. Prahara kehidupan yang dialaminya sendiri, tak ada yang tahu bahkan ibu sebagai orang terdekatnya juga tidak tahu peristiwa naas itu. Kegadisannya hancur direnggut oleh paman kandung, adik dari ibu kandungnya. Perisiwa pemerkosaan itu masih terus membekas dan tak pernah terlupakan.
"gimana sih kamu, bertamu malam gak boleh, bertamu siang juga dilarang, kalau begitu aku bertamu di lain waktu aja yah…"
"terserah kamu aja, yang penting pintar ngatur waktu agar schedul aku gak bertabrakan" timpal Sensi sedikit jual mahal, padahal dalam hatinya pengen berduaan terus dengan pemuda ini.
"ehhh ngomong-ngomong aku cabut dulu yah, nih masih banyak jualan" kata Revan seraya beranjak meninggalkan Sensi tanpa menghiraukan lagi ucapan hati-hati dari Sensi. Sesekali Dia bertieriak menjajakan koran.
Sensi lalu berjalan mendekati gelandangan tua untuk memberikan uang yang tadi ditolak Revan.
"Ibu..." panggil Sensi seraya menepuk bahu gelandangan tua yang badannya penuh borok dari belakang.. Sensi tidak merasa geli dengan keadaan wanita tua ini, sebagai mahasiswa kedokteran yang sedang menyelesaikan skripsinya, Dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, bahkan ada yang lebih parah dari keadaan ibu ini. Pernah suatu ketika, Dia memeriksa seorang pasien yang luka penuh dengan belatung merayap keluar dari luka itu.
"oohh iya nak" jawab ibu ini dengan wajah memelas, sementara anak atau entah cucunya tertidur lelap dalam dekapannya ditengah teriknya matahari di kota Sioux.
"ibu sudah makan" tanya Sensi sambil terus mengamati wanita gelandangan dihadapannya. Hati kecilnya menangis, Dia memberontak melawan ketidakadilan dari penguasa negeri ini, menentang penguasa yang tidak peduli pada masyarakat, penguasa yang suka menghamburkan uamg negara untuk proyek-proyek besar yang kebanyakan mangkrak ditengah jalan, tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat kecil. Rasa iba tiba-tiba menyeruak dalam dada, hatinya bagikan ditikam sebilah tombak tatkala wanita tua ini mengangkat wajahnya memohon belaskasihan. Tanpa terasa air mata berguguran. Sensi yang selama hidup tak pernah berkekurangan, tidak tega melihat sesama anak manusia dan sesama anak bangsa mengalami nasib tak sebaik dirinya.
"anak jangan menangis, begini sudah nasib kami sebagai masyarakat kelas bawah, masyarakat kecil dan terpinggirkan" gelandangan tua ini berusaha tetap tegar. Gadis cantik itu lalu mengeluarkan dua lembar kertas berwarna merah dari tas mahal bermerek Hermès, lalu memberikan kepada wanta gelandangan tua tesebut.
"Ibu…. Ini sedikit pemberian dari saya, mohon diterima yah "
"terima kasih nak, semoga Allah membalas kebaikanmu" ujar wanita tua tersebut dengan mata berkaca-kaca. Sesekali Dia mengusap matanya dengan ujung baju yang sudah kumal dan tak jelas lagi warna baju itu.
"ibu….. aku pamit dulu yah"
"iya nak, hati-hati di jalan"
Sensi lalu memesan sebuah ojek online lewat aplikasi di ponsel miliknya, tak menunggu lama sebuah ojek online tiba dihadapannya, kemudian mengantar Sensi ke rumah di pinggiran kota tua sioux.