Hari dimana saat ini menjadi jadwal pendaftaran ulang, yang membuat Angel dan sang ibu harus datang ke SMA untuk mengurus semuanya. Diantar sang ayah sekaligus ayahnya akan berangkat bekerja, Angel, ibu, serta adiknya baru saja menginjakkan kaki ke tempat ini. Diperhatikan sekitar, ada banyak orang tua dan anaknya yang juga akan melakukan pendaftaran ulang di SMA ini. Angel cukup gugup saat dia mulai melangkahkan tungkainya masuk melewati gerbang berwarna hitam.
Tangan gadis itu terus memegang kaki adiknya, lantaran rasa gugupnya masih menguasai dirinya. Entahlah, mungkin karena ini adalah tempat yang baru untuk ibu dan anak itu. Mereka mencari ruangan yang menjadi tempat untuk melakukan pendaftaran ulang. Gadis itu berada di belakang sang ibu, membuntuti saat memasuki ruangan yang banyak dimasuki oleh para orang tua lainnya. Duduk dan menunggu giliran namanya dipanggil. Orang-orang yang ada dihadapannya sama sekali tak ada yang dia kenal. Pun Angel hanya menggoda sang adik yang tiba-tiba menghadap ke arahnya.
"Win," ucap sang ibu dengan mendadak.
Win? Ada seseorang yang ibunya kenal di SMA ini? Angel tidak tahu, jika ibunya punya kenalan di sini. Dirinya mencoba untuk menoleh, mencari sosok yang namanya sempat disebut sang ibu. Dengan tubuh yang mematung, dan kedua bola mata yang melebar, Angel terkejut melihat laki-laki yang menjadi musuhnya itu berada di tempat yang sama dengannya.
Angel hanya mampu terdiam, dia melengos dan enggan menatap keberadaan Edwin yang tengah berbicara dengan sang ibu. Gadis itu hanya mendengar melalui rungunya yang terpasang. Demi apapun, Angel sama sekali tidak mengerti jika Edwin juga akan bersekolah di sini. Jika tahu begini, Angel tak akan memilih SMA ini. Ah, dia tak bisa menunjukkan wajahnya di depan laki-laki itu.
"Angel juga mendaftar di sini?" tanya Edwin.
Bagaimana tak terkejut, saat namanya disebut Angel semakin melebarkan maniknya. Dia sampai menelan ludahnya kesusahan, ditambah ibunya ini juga menyentuh tangannya. Mau tidak mau membuat Angel menoleh ke arah sang ibu dengan tatapan yang enggan mengarah ke Edwin.
"Ternyata kita satu sekolah," kata Edwin.
Tak ada balasan apapun dari Angel, lantaran dia tahu jika Edwin lah yang lebih dulu mendaftar ke SMA ini. Gadis itu hanya bisa merutuk dirinya sendiri dalam batin. Setelah ini, akan ada orang yang memancing emosinya kembali. Siapa lagi jika bukan laki-laki yang sedang mengobrol dengan ibunya? Gadis itu sekilas memperhatikan senyuman Edwin yang sok manis itu. Muak sekali melihat musuhnya yang berlagak baik di depan sang ibu. Dirinya saja sampai memutar maniknya jengah.
Cepatlah pergi dari sini—batin Angel.
Entah sudah berapa lama konversasi antara sang ibu dan laki-laki itu berlangsung, akhirnya Angel bisa bernafas lega setelah Edwin meninggalkan mereka lantaran namanya dipanggil. Angel sendiri mengerang kecil, dia masih tak habis pikir ketika mengetahui jika akan satu sekolah dengan laki-laki itu. Rasanya ingin mencabut semua berkas yang telah didaftarkan pada SMA ini dan mengubah pilihan SMA-nya.
"Ma, bisa tidak jika kita pindah SMA saja? Aku tidak mau satu sekolah dengan Edwin,"
"Angel," suara ibunya itu sudah cukup terdengar tegas, membuat gadis itu menaikkan kedua bahunya dan berusaha menenggelamkan wajahnya. "Jangan melakukan hal bodoh. Kita di sini sekarang untuk melakukan daftar ulang, itu berarti kamu sudah sah jadi siswi SMA ini," tutur sang ibu.
Gadis itu hanya bisa membuang nafasnya disertai dengan kedua alis yang tertekuk bersamaan. Sudah tak ada kesempatan untuknya berpindah sekolah. Selama tiga tahun kedepan, Angel pasti akan sering melihat wajah yang enggan untuk dia lihat. Angel sudah pasrah, jika setelah daftar ulang ini, Edwin akan mengejeknya habis-habisan. Lagipula, dia juga sudah sering mendapatkan perlakuan seperti itu.
Nasibnya sial sekali, sebentar lagi akan satu sekolah dengan seseorang yang selalu membuatnya naik pitam. Kesalahan apa yang Angel perbuat di masa lalu, sampai dirinya terjebak dengan Edwin di sekolah yang sama. Pasalnya, Angel juga tidak pernah mencari perkara, tapi perkara lah yang menghampiri dirinya.
Total sudah lebih dari tiga jam dirinya dan sang ibu berada di sana. Setelah mengurus daftar ulang serta seragam, dirinya dan sang ibu kini akan pulang. Tapi, keduanya tak bisa meminta sang ayah untuk menjemput, itu karena sang ayah masih berada di tempat kerjanya. Akhirnya, dengan cara terakhir ibu Angel menghubungi salah satu pegawai dari coffee shop miliknya untuk menjemput mereka di SMA ini. Kasihan jika menggunakan angkutan umum, adik Angel pasti akan terkena angin secara bebas.
Dikala menunggu, Angel mengamati lingkungan sekitar SMA ini. Dia melihat ada Edwin dan ibunya yang baru saja keluar dari gerbang. Berada di atas motor, remaja laki-laki itu menyunggingkan salah satu sudut bibirnya, bisa Angel artikan jika senyuman itu adalah senyuman untuk kehancurannya—Edwin sudah mulai mengejeknya saat ini. Pun Angel hanya menyipitkan matanya saat laki-laki itu lewat bersama ibunya. Sayangnya, tatapannya itu harus pudar, disaat wanita di belakang Edwin menyapa dirinya dan sang ibu. Tatapan menyalangnya berubah menjadi tatapan lembut.
Selang beberapa menit setelahnya, mobil jemputan Angel dan sang ibu tiba. Keduanya menaiki mobil dengan aroma kopi yang langsung menyeruak ke dalam indera penciumannya. Gadis itu langsung melontarkan pertanyaan pada sang ibu yang sejak tadi sudah bercokol di kepalanya.
"Ma, sebenarnya Mama sudah tahu ya, jika sekolah ini adalah tempat Edwin mendaftar?" tanya Angel.
Bersamaan dengan memberikan susu pada bayi kecilnya, ibunya itu menoleh singkat ke arah Angel. "Memangnya apa salahnya jika kamu satu sekolah dengan Edwin? Toh, SMA ini juga bebas untuk semua calon muridnya," jawab sang ibu.
"Iya, tapi Mama tahu, 'kan, jika aku dan Edwin tidak bisa akur. Pasti setelah ini, Edwin akan mengejekku,"
"Tidak akan terjadi keributan jika kamu tidak terpancing emosinya," tutur ibunya.
Angel menyandarkan tubuh dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Maniknya memutar jengah, merasa kesal dengan kalimat sang ibu barusan, seakan dirinya lah yang salah. Padahal, semua keributan selalu dimulai dari Edwin.
"Lagipula, kamu bisa berangkat dan pulang bersama Edwin. Mama juga tidak khawatir kamu berada di SMA itu," ucap sang ibu lagi.
"Tidak mau. Belum tentu aku dan dia akan sering bertemu. Bisa saja dia memilih jurusan yang berbeda denganku,"
"Tapi, jam pulang tetap sama, Angel," timpal ibunya.
Bungkam dan lebih memilih untuk tidak membalas kalimat ibunya, Angel mengalihkan pandangan keluar kaca mobil. Hanya mobil dan motor yang berlalu-lalang yang tertangkap kedua maniknya. Dirinya sedikit kesal lantaran sang ibu yang secara tidak langsung membela Edwin daripada dirinya.
Yang salah siapa, yang disalahkan siapa—batin Angel.