Seorang wanita yang sudah siap dengan setelan kerja membuka pelan gagang pintu kamarnya. Setelah berhasil dia keluar dengan berjinjit, wajahnya sudah tersenyum lebar ketika berhasil lolos keluar dari pintu utama rumah sederhana yang sedari kecil dia tempati di salah satu Kota maju di Indonesia ini, yaitu Batam.
"Marwa kenapa pagi sekali mau berangkat kerja," suara itu tentu saja berasal dari Ibunya. Menghembuskan napas perlahan Marwa tersenyum padahal dia sedang mencari alasan saat ini. Dia pikir sudah berhasil keluar dari zona menyeramkan dalam hidupnya, tapi ternyata Ibu dan Ayahnya melihatnya.
"Ayah sama Ibu dari mana?" tanya Marwa mengalihkan pembicaraan.
"Pakai pakaian olahraga begini, ya pasti habis olahraga dong. Sudah kamu jangan mengalihkan pembicaraan kita yang tertunda." Ayahnya kemudian mengajak Marwa untuk duduk di bangku yang ada di teras rumah mereka.
Duh...
Marwa membatin, sia-sia sudah dia bangun jam lima subuh dan ingin pergi ke kantor jam enam pagi begini. "Jadi bagaimana kapan si Reyhan itu melamar kamu?" tanya Razak Zainudin ayah Marwa. Pria yang sudah pensiun menjadi guru itu sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, dan juga membahas pernikahan untuk Marwa.
"Ayah jangan bahas ini lagi boleh? Marwa benar-benar tertekan sekarang." Marwa kali ini sudah lelah mengelak atas pertanyaan yang sama. Dia tahu dia sudah pantas untuk membina rumah tangga, tetapi kalau belum ada yang melamar dia mau bagaimana?
Marwa menatap kedua orang tuanya yang saling tatap satu sama lain saat ini. "Marwa selama tujuh tahun kamu sama Reyhan, apa dia tidak pernah membicarakan kapan akan melamar mu?" tanya ibunya kali ini, Ranti Himawa. Wanita keturunan Melayu Jepang, yang menurunkan warna kulit putih merona kepada kedua Putrinya.
"Ya Pernah Bu, hanya saja belakangan ini Reyhan itu sibuk sama bisnis yang baru dia buka. Jadi kami belum lagi membahas masalah kapan mau menikah. Ibu dan Ayah tenang saja, kami akan menikah pasti."
"Kalian itu sudah pacaran lama, ibaratnya kalau angsur rumah sudah mau lunas itu rumah. Lagi pula Nindy mau menikah kalau kamu sudah menikah."
"Maafkan Marwa Bu, nanti coba Marwa bicara sama Nindy kalau dia mau nikah lebih dulu Marwa tidak masalah." Marwa mencoba menjelaskan tapi terlihat wajah sedih Ranti.
"Marwa kamu dan Reyhan tidak melakukan dosa bukan, selama kalian pacaran?"
"Astaga Ibu." Ranti yang dilihat anaknya dengan tatapan kecewa menundukkan kepala sambil berkata maaf "Marwa bisa jaga diri Bu, Marwa juga masih takut dosa, takut di laknat sama Tuhan." Marwa kembali terdengar menghela napasnya.
"Jangan tersinggung sama ucapan Ibu mu, kami sebagai orang tua hanya khawatir. Kalau kamu merasa tertekan dengan permintaan Ayah dan Ibu ya sudah, kamu bicara saja sama Nindy karena adik mu itu sudah mau dilamar pacarnya." Marwa mengangguk karena akhirnya kedua orang tuanya paham bagaimana situasinya saat ini.
Marwa berdiri kemudian bersalaman dengan Ibu lalu ayahnya, satu kalimat dari ayahnya yang membuat Marwa terus memikirkan kalimat itu sepanjang perjalanan dari rumah menuju ke kantornya.
"Jika seorang Pria sudah menjalin hubungan lama dengan seorang wanita, tapi tidak datang melamar masalahnya hanya dua. Dia belum mapan, dan kedua dia belum yakin dengan pilihannya."
***
Sepanjang hari ini Marwa merasa waktu bergerak sangat lambat, dia berulang kali melihat jam di layar ponselnya dan terkadang jam di pergelangan tangannya. Wanita dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, berkulit putih, dan memiliki lesung pipi dikedua pipinya itu terlihat sangat gelisah saat ini. Jelas saja Marwa merasa gelisah, setelah mendengar kalimat ayahnya dia benar-benar ingin bertemu dengan Rayhan. Marwa menunggu balasan chat dari kekasihnya untuk setuju bertemu sore ini, tapi belum juga mendapat kabar baik.
"Wa," panggil Erlina teman satu kantor yang juga sangat dekat dengannya. "Temani aku ke kantor asuransi itu yuk, lagi gak ada kerjaan juga kan dirimu ?" tanya Erlina dan setelah menimbang Marwa setuju untuk ikut bersama Erlina. Dia adalah salah satu staff marketing di sebuah hotel, sehingga pekerjaannya tidak menuntut dirinya untuk terus duduk di kursi kantor. Berbeda dengan Erlina yang menjadi sekertaris manager hotel tempat mereka bekerja.
Erlina dan Marwa pergi menuju daerah yang bernama Nagoya untuk sampai di kantor asuransi menggunakan mobil Erlina. Saat persimpangan lampu merah Erlina mengatakan dia melihat Rayhan. Marwa langsung melihat kearah yang dimaksud dan benar saja memang ada kekasihnya disana, terlihat Rayhan sedang berada di depan bengkel. "Dia beneran sibuk ternyata," kata Marwa hingga Erlina penasaran.
"Kamu sama Rayhan bertengkar Wa ?" mendengar pertanyaan itu Marwa menggelengkan kepalanya. Erlina mengerti kenapa Marwa berkata seperti itu. Marwa juga sempat bercerita kalau kedua orang tuanya sudah meminta Marwa untuk segera menikah.
"Jangan berpikir macam-macam, mungkin memang Rayhan sedang banyak pekerjaan. Apalagi kamu sendiri yang bilang kalau dia baru merintis buka cafe, pasti dia sibuk. Dirimu jelasin aja sama Om dan Tante, aku yakin mereka bakal mengerti. Menikah di paksa-paksa juga gak jamin kelak kamu bakal bahagia sama Rayhan. Selagi masih sendiri nikmati aja prosesnya Wa,"ujar Erlina yang memang selalu bisa memberikan nasehat yang bisa menenangkan Marwa.
"Thanks ya Lin," seru Marwa tersenyum lebar. Begitu mereka sampai di depan sebuah bangunan Erlina turun ditemani Marwa. Banyak pasang mata yang menatap mereka berdua, Marwa tahu itu semua pasti karena Erlina dan dirinya terlihat jauh berbeda. Erlina memiliki postur tubuh tinggi, dan memiliki wajah khas oriental. Gaya modis wajah cantik, pastilah membuat mata Pria terpesona kepadanya. Sementara Marwa, dia saat ini memilih menggunakan dress pensil berwarna hitam dipadukan dengan blazer putih bermotif abstrak. Rambutnya juga dia ikat satu, tidak bergelombang seperti yang saat ini Erlina lakukan dengan penampilannya.
"Lin kamu masuk saja ya, aku tunggu diluar."
"Kenapa ?" tanya Erlina bingung padahal mereka sudah masuk ke dalam kantor asuransi tersebut.
"Ini Rayhan telpon." Erlina tersenyum menggoda Marwa lalu dia berlalu masuk sementara Marwa berjalan kembali keluar.
["Sayang lagi dimana ?"]
"Lagi di Nagoya sama Erlina. Kamu udah gak sibuk ?"
"Udah enggak nih, yaudah kirim alamat kamu biar aku jemput disana. Kebetulan aku juga lagi di Nagoya." Marwa tersenyum, dia tahu kekasihnya sangat setia dan tidak akan membuatnya kecewa, alasan Rayhan belum juga mengajaknya menikah mungkin karena Pria itu belum merasa mapan. Marwa jadi memikirkan Rayhan, kekasihnya itu adalah tipe Pria yang tidak banyak bicara, mereka pertama bertemu di acara pesta ulang tahun teman. Dari hanya saling mengirim pesan dan bertemu beberapa kali, Rayhan akhirnya menyatakan perasaannya kepada Marwa. Sekarang sudah tujuh tahun mereka bersama, dan bulan akan menjadi delapan tahun mereka menjadi sepasang kekasih. Sesekali Rayhan akan meberikan hadiah juga kejutan, dan terkadang Marwa yang melakukannya. Ya, hubungan mereka sempurna hanya sedikit pertengkaran yang terjadi itupun karena saling cemburu dan hal remeh lainnya.
Ketika Erlina sudah keluar dan mengajak Marwa pergi dari sana dia mengatakan ingin menunggu Rayhan, selang lima menit saja Rayhan akhirnya juga muncul dengan mobil sedan hitam yang Pria itu miliki. Begitu melihat Marwa Rayhan langsung memeluknya, mengecup pipi Marwa sekilas hingga tawa dari kekasihnya itu terdengar. Erlina dan Mereka berpisah disana, karena Marwa pergi bersama kekasihnya menuju sebuah tempat makan.
Begitu sampai di sebuah restoran cepat saji yang berada disebuah Mall, mereka langsung memesan makanan baru mencari tempat duduk untuk mereka berdua. Perbincangan kecil tentang keseharian mereka saat itu terhenti karena sapaan dari seorang wanita. Rayhan menatap wanita itu seperti terkejut. "Siapa Han ?" tanya wanita itu dan Rayhan mengenalkan Marwa yang sudah menampilkan senyumannya.
"Ini Marwa, temanku." Senyum Marwa perlahan luntur, dia menatap Rayhan yang kini beranjak dari duduknya berbicara dengan dua wanita tersebut menjauh dari tempat duduk mereka. Hati Marwa terasa di remas, rasanya Marwa ingin sekali pergi dari sana.
Bersambung....