Tangan Rayhan terulur meraih wajah Marwa, biasa pipi Marwa akan bersemu saat Rayhan melakukan hal tersebut bukan merasa sakit. "Sayang kamu bicara apa ?" tanya Rayhan seperti ketakutan jika apa yang Marwa katakan tadi benar terjadi.
"Apa yang aku katakan sepertinya cukup jelas Rayhan, aku ingin hubungan ini berkahir jika memang kamu tidak bisa menentukan."
"Menentukan apa maksud kamu ?" Rayhan masih juga belum mengerti, benarkah Pria ini tidak memikirkan pernikahan untuk mereka.
"Apa kamu tidak memikirkan masa depan kita ?" tanya Marwa lagi dan Rayhan tersenyum saat ini.
"Tentu aku memikirkannya, kamu pikir untuk apa aku bekerja selama ini ?" Rayhan menggapai Marwa dalam pelukannya "Kenapa kamu yang marah sekarang, harusnya aku. Kamu sudah pulang dengan Pria lain." Mendengar hal itu Marwa melepaskan pelukan Rayhan.
Marwa menghembuskan napasnya lelah, dia tidak mau membahas masalah tidak penting itu lagi. Dia ingin membahas hal yang penting saja saat ini. "Rayhan kapan kamu akan datang melamar ku ?" tanya Marwa, dan dapat dia lihat kalau wajah Rayhan terkejut. Harusnya jika memang Rayhan memikirkan masa depan mereka, Pria itu tidak akan berekspresi seperti sekarang. "Rayhan kamu dengar aku ?"
"Aku dengar Sayang, hanya saja aku heran kenapa kamu bertanya hal yang macam-macam sekarang."
"Ini bukan hal yang aneh untuk ditanyakan, kita sudah pacaran selama ini. Orang tua ku sudah bertanya kapan kita menikah, umurku sudah semakin tua." Marwa tidak bisa mehana suaranya untuk tidak kuat, dia benar-benar kehabisan cara menghadapi Rayhan sepertinya.
"Marwa pernikahan itu tidak mudah, aku ingin kamu beri pengertian kepada orang tua mu kalau kita belum siap untuk itu." Rayhan meyakinkan Marwa, tapi sepertinya percuma karena Marwa sudah benar-benar kecewa akibat perbuatan Rayhan hari ini kepadanya.
"Tanpa kamu minta aku sudah menjelaskan kepada orang tua ku, tapi sekarang aku ingin jawaban yang pasti darimu. Kapan kamu berniat melamar ku, atau setidaknya mengenalkan ku kepada keluarga mu." Rayhan diam, dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Marwa kini tahu kalau Rayhan sepertinya memang belum memikirkan hal serius untuk mereka berdua. "Lebih baik kita tidak berbicara atau bertemu, sebelum kamu tahu apa yang harus kamu lakukan terhadap hubungan ini."
Marwa membuka pintu mobil itu, kali ini Rayhan tidak menahannya. Mungkin, Pria itu bingung apa yang harus dia lakukan. Apakah Marwa terlalu tolol untuk mengetahui seperti apa kekasihnya selama ini ?
Dia masuk kedalam rumah, Rianti sudah menunggu di ruang tamu seorang diri. "Marwa," sapanya kepada putri sulungnya itu. Marwa tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang dia rasa saat ini. "Marwa lelah Bu," ucap Marwa diiringi isak tangisnya.
"Ibu mengerti, pergilah kekamar dan beristirahatlah. Jika kamu butuh teman untuk berbicara, ibu ada untuk kamu. Bahkan Ayah juga bisa kamu ajak berbicara, begitu juga adik mu." Marwa mengangguk kemudian dia permisi untuk masuk kedalam kamarnya.
Hari ini benar-benar melelahkan untuknya, setelah mengganti pakaian dan membersihkan wajah Marwa langsung memejamkan mata di atas kasur kesayangannya. Ponselnya bergetar, dan saat melihat nama Rayhan, kembali hatinya menjadi sangat sakit. Marwa memilih untuk mematikan gawai tersebut. Memejamkan mata benar-benar ingin melupakan penat yang dia lalui. Dalam hatinya dia membenarkan apa yang telah ayahnya sampaikan.
Tidak ada orang tua yang ingin anaknya salah jalan, tersesat dalam mengambil keputusan. Marwa berdo'a semoga benar jika hubungannya dengan Rayhan tidak berakhir sia-sia. Dia mencintai Rayhan, begitu juga yang dia yakini akan perasaan sang kekasih. Ini hanya masalah waktu, dan sekarang Marwa dikejar oleh waktu.
***
Hari selasa setelah senin tentunya Marwa harus bekerja, kali ini dia sarapan ditemani sang Adik saja karena kedua orang tuanya sudah pergi subuh tadi ke rumah saudara mereka yang berada di Tanjung Pinang. "Kak," panggil Nindy hingga Marwa menghentikan kegiatannya menyendok lontong sayur yang jadi menu sarapan mereka pagi ini. Begitulah ibunya selalu memasak meski akan pergi subuh-subuh sekalipun. Alasannya makanan di rumah lebih sehat, dan mereka akan lebih hemat uang.
"Apa," jawab Marwa lagi tersenyum kepada sang adik. Padahal didalam hatinya dia sudah siap-siap jika Nindy bertanya perihal pernikahan dia dan Rayhan.
"Nanti malam nonton yuk! Aku udah pesan tiket, tapi Doni ada jadwal jaga malam ini."
"Boleh, berdua aja nih?" tanya Marwa kemudian raut wajahnya jadi murung karena teringat dia dan Rayhan sedang bertengkar, atau lebih tepatnya dialah yang memilih menjaga jarak sebelum Rayhan bisa memberikan kepastian kepadanya.
"Ya berdua, tapi kalau kakak mau bawa Kak Rayhan juga gak masalah. Kita nonton di Orchard Park ya," ujar Nindy semangat dan Marwa memberikan senyum sambil memberikan jempolnya. "Oke aku deluan ya kak, sudah di jemput sama Doni didepan."
"Iya, hati-hati ya." Nindy menyalami Marwa lalu pergi dari rumah. Kini Marwa tinggal seorang diri saja. Dia kembali teringat tentang Rayhan, mana pernah Rayhan menjemput dirinya khusus untuk mengantar bekerja pagi begini. Kalau pulang kerja sih biasa diantar, tapi bangun pagi mengantarkannya bekerja tidak mungkin akan terjadi. Selama ini Marwa tidak masalah karena dia mencintai Rayhan apa adanya, dia juga bisa pergi seorang diri menggunakan ojek online.
Marwa memang tidak begitu mahir membawa motor, makanya dia lebih suka naik ojek online. Sesekali kadang diantar oleh Ayahnya. Ya, ayahnya zaman sekarang sepertinya nyaris tidak ada wanita yang sudah berumur pergi kerja diantar oleh ayah mereka.
Jalanan di Batam jarang sekali macat, nyaris tidak pernah selain macat karena lampu merah tentunya. Sehingga Marwa hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai di hotel tempat kerjanya. Baru sampai pintu masuk gedung itu Erlina sudah memanggil nama Marwa. "Semangat banget manggil gua," kata Marwa tertawa tapi tidak dengan Erlina. Dia menarik lengan Marwa menjauh dari pintu menuju sudut ruangan hotel.
"Ih apaan sih, pagi-pagi udah mau kasih gosip ya." Marwa masih tertawa kecil. Baru Erlina ingin membuka suara, seorang wanita datang mendekati mereka. Namanya Aletta, wanita cantik yang baru-baru ini masuk menjadi salah satu karyawan hotel dan jadi idola.
"Marwa, tadi malam aku bertemu pacar mu." Aletta terlihat ingin menunjukkan sesuatu dari ponselnya. "Aku tidak ingin ikut campur, apalagi kita baru berkenalan karena aku kerja disini. Namun, setelah aku pikir-pikir aku harus memberitahu ini kepada mu." Wajah Marwa pucat melihat foto di sebuah Bar ada kekasihnya Rayhan dan Pria itu sedang bersama wanita lain. Rayhan memeluk wanita itu sangat erat, dan dia terlihat bahagia.
"Kamu yakin ini Rayhan ?" tanya Marwa berharap kalau Aletta menjawab tidak yakin.
"Tadinya aku tidak begitu yakin, tapi setelah bertanya kepada Mirna dia juga terkejut karena benar itu adalah kekasih mu. Karena Mirna mengatakan kalian sudah pacaran selama tujuh tahun, aku jadi yakin untuk memberitahukan mu ini. Aku melihat dia mencium wanita ini semalam, tapi tidak sempat untuk mengambil gambarnya." Erlina menutup matanya, dia juga tadi ingin mengatakan hal ini kepada Marwa. Aletta mungkin tidak melihatnya juga ada di Bar yang ada di Harbour Bay itu, tapi yang dia lihat memang ada Rayhan disana dan memang bermesraan dengan seorang wanita.
"Terima kasih Aletta," kata Marwa terdengar lirih. Aletta tersenyum tipis, mungkin merasa kasihan kepada Marwa.
"Maaf membuat pagi mu buruk, tapi aku hanya tidak ingin kau terluka lebih lama. Kau baik padaku, makanya aku perduli terhadap mu. Jika kau butuh bantuan aku bisa menghajar Pria itu dengan tangan dan kuku-kuku cantik ku ini." Aletta mengusap bahu Marwa kemudian dia pamit, dia juga menyapa Erlina dengan ramah.
"Dia baik sekali ya," kata Marwa sambil menahan tangisnya. Marwa buru-buru lari kedalam toilet, di ikuti oleh Erlina. "Jika memang punya kekasih lain, kenapa tidak putuskan aku saja ?! dasar brengsek!" Marwa yang kesal langsung membuka ponsel dan memblokir nomor Rayhan dari kontaknya.
Bersambung....