Pacaran tujuh tahun lebih dan hanya dikenalkan sebagai teman, hati wanita mana yang tidak sakit. Namun Marwa masih mencoba menahan emosinya, dia bukan tipe wanita yang suka bertindak tanpa berpikir panjang. Marwa mencoba santai dan memakan makanannya tanpa menunggu Rayhan tiba di meja mereka. Sekitar sepuluh menit baru Pria itu muncul lagi, meminta maaf karena sudah meninggalkan Marwa seorang diri tadi.
"Itu siapa ?" tanya Marwa masih terdengar santai sambil meminum soda yang dia beli.
"Anak teman Papa dan Mama."
"Oh, pantas kamu mengenalkan ku sebagai teman." Marwa dengan jelas menyindir Rayhan, suapan nasi yang nyaris masuk ke mulut Rayhan terhenti, dia menatap wajah Marwa yang jelas saat ini sedang menahan amarah.
"Maksud kamu apa ? jangan memulai pertengkaran please, aku sangat lelah dan baru ini ingin menyuap nasi setelah seharian bekerja."
"Siapa yang ingin memulai pertengkaran. Aku paham kenapa kamu mengenalkan aku sebagai teman itu karena, ya wajar saja. Kamu belum mengenalkan aku secara langsung dengan keluarga kamu, jadi ya pantas." Marwa lagi mengeluarkan kecewanya kepada Rayhan lewat kalimat datar, tapi penuh penekanan tersebut. Pria di hadapannya sekarang ini memang tidak pernah mengenalkan Marwa secara langsung kepada keluarganya, entah mengapa hanya saja Rayhan tidak pernah mengajaknya untuk ke rumah Pria itu. Hanya terkadang mereka bertemu Papa dan Mama atau adik Rayhan di sebuah Mall tanpa sengaja saja.
"Kamu bicara apa sih ?!"
"Oke, aku sudah selesai makan. Kamu bisa melanjutkan sendiri saja makan mu karena aku ingin pulang." Marwa pada akhirnya tidak tahan juga, dia memilih bangkit menampilkan senyum terpaksa kemudian beranjak begitu saja. Dia tidak perduli saat Rayhan memanggil namanya. Untungnya Pria itu tidak mengejar Marwa, jika sampai itu terjadi mereka berdua pasti akan jadi bahan tontonan di dalam Mall tersebut.
Menahan amarah yang akan berubah menjadi butiran air mata, Marwa langsung saja membuka salah satu pintu mobil yang terparkir didepan Mall. Biasa mobil yang parkir disana adalah taksi, sehingga dia masuk saja dan langsung menyebutkan alamat rumahnya.
"Pak Jalan, menunggu apalagi ?" tanya Marwa kesal, tapi air matanya ternyata tidak bisa ditahan. Bulir bening tersebut jatuh membasahi pipi Marwa. Dia tahu ini karena rasa kecewanya ditambah dugaan mengapa selama tujuh tahun Rayhan belum juga melamarnya. Usia Pria itu sudah mencapai tiga puluh tahun, dan Marwa sudah dua puluh sembilan tahun jadi wajar kalau orang tua Marwa merasa khawatir ditambah dengan perangai Rayhan hari ini terhadapnya.
"Kalau mau menangis jangan ditahan Mbak," sapa supir taksi di sebelah Marwa yang kemudian memberikannya tisu. Sedikit ragu akhirnya Marwa mengambil tisu yang ditawarkan itu. "Maaf Mbak dimana ya alamatnya, bisa tunjukkan arahnya kepada saya ?" pertanyaan itu membuat Marwa sontak melihat si pengemudi. Dia heran kenapa supir taksi tidak tahu alamat yang dia sebutkan.
"Sudah berapa lama jadi supir taksi Mas ? masa Batam Center saja gak tau," kata Marwa kembali kesal. Sudahlah suasan hati sedang tidak baik, dapat supir taksi yang seperti ini pula. Dia juga kenapa memilih duduk di depan.
"Saya bukan supir taksi Mbak." Pria itu memakai kaca mata menatapnya, hingga wajah tampan yang kini dilihat Marwa itu tersenyum ramah. Berbeda dengan Marwa yang merasa sangat-sangat terkejut, bagaimana bisa dia masuk ke mobil orang dan mengira Pria ini adalah supir taksi jika dilihat jelas seperti ini memang jelas sosok Pria dengan tubuh atletis tersebut bukan supir taksi.
"Ma- maaf," kata Marwa terbata. Sungguh dia merasa malu saat ini. "Sa- saya turun disini saja, maaf saya pikir tadi ini taksi yang biasa menunggu sewa didepan Mall itu."
"Tidak apa-apa, saya antar saja. Dimana tadi rumahnya, saya baru tinggal disini jadi maaf belum hapal jalan dan nama daerahnya."
"Aduh tidak apa-apa saya turun disini saja."
"Tidak apa-apa Mbak, ini juga sedang gerimis saya antar saja." Pria ini terlihat sangat baik kepadanya, mungkin karena tadi melihat dia menangis. Ya Tuhan, mau dia taruh dimana wajahnya saat ini.
Marwa sampai di depan rumahnya, Pria itu kemudian menatapnya lagi. "Terima kasih, maaf sudah merepotkan."
"Tidak masalah. Oh ya jika ingin menangis jangan ditahan, itu akan menyebabkan stres dikemudian hari." Marwa hanya tersenyum lalu dia turun dari dalam mobil tersebut. Setelah bunyi klakson berbunyi barulah Marwa berbalik badan dan ingin masuk kedalam rumah, tidak disangka suara Rayhan mengejutkan dirinya.
"Pantas saja marah-marah tidak jelas, ternyata kamu punya yang lain." Sindiran itu tidak dihiraukan oleh Marwa dia berjalan saja terus menuju pintu rumah, dia tahu Rayhan tentu tidak berani untuk masuk kedalam rumah. Sudah tujuh tahun lebih mereka bersama, Marwa sangat hapal sifat Rayhan tersebut.
"Marwa kalau kamu memang ingin kita mengakhiri ini kamu bisa bicara baik-baik sama aku, tidak perlu bertingkah merasa aku yang menyakiti kamu." Rasanya sangat geram saat Rayhan mengatakan hal tersebut, dia yang tersakiti kenapa Rayhan menuduhnya selingkuh. Belum Marwa menjawab, tangannya sudah ditarik Rayhan untuk masuk kedalam mobil Pria itu. Ranti yang tentu mendengar suara ribut-ribut dari teras rumahnya mengintip dari jendela, dia melihat anak gadisnya di bawa masuk kembali kedalam mobil sang kekasih.
"Kamu kenapa sih ?!"
"Aku kenapa ? kamu yang kenapa, tujuh tahun lebih aku sama kamu dan apa yang kamu lakuin. Memperkenalkan aku sebagai teman mu ? apa kamu pikir aku gak punya hati, kamu buat seperti itu."
"Jangan mengalihkan pembicaraan, aku mau tahu siapa Pria yang udah antar kamu pulang tadi."
Marwa menggelengkan kepalanya, sia-sia jika berbicara saat mereka berdua masih dalam keadaan emosi satu sama lain. "Sudahlah aku lelah, kamu lebih baik pulang saja." Marwa bersiap turun dari dalam mobil, tapi Rayhan menahannya lagi.
"Apa yang kamu lakuin dibelakang aku selama ini Marwa ?" tanya Rayhan dengan kilatan marah dari netra Pria itu. Cengkraman ditangannya juga lebih menguat saat ini.
"Lepasin Rayhan ! aku tidak kenal sama Pria itu, lagi pula masalahnya sekarang bukan tentang aku, tapi kamu yang menganggap aku apa selama ini. Itu alasan aku pergi ninggalin kamu di Mall tadi dan ketemu dia, harusnya kamu bisa tanya aku baik-baik kalau cemburu bukan seperti ini. Aku bertahan sama kamu tujuh tahun bukan untuk main-main, kamu kali yang menganggap hubungan ini hanya main-main makanya tadi bilang aku teman kamu."
"Terus kamu mau aku pamer gitu, bilang ini pacar aku kami sudah pacaran tujuh tahun begitu ?!" Marwa tidak menyangka Rayhan akan menjawab seperti ini. Dia menggelengkan kepala, kemudian menarik lengannya dari dalam cengkraman Rayhan dengan paksa. "Aku belum selesai bicara Marwa."
"Tapi aku sudah ! Termasuk dalam hubungan ini," kata Marwa yang entah bagaimana bisa mengeluarkan kalimat tersebut. Rayhan bahkan terdiam mendengarnya, Marwa menghela napas lelah. Mereka sama-sama terdiam, entah sedang memikirkan apa Rayhan saat ini Marwa tidak tahu. Dia juga tidak mengerti kenapa bisa mengucapkan kalimat tersebut.
Benarkah dia lelah dengan hubungannya dengan Rayhan ? Atau karena keraguan sebab Rayhan tidak juga menjelaskan hubungan mereka berakhir dengan tujuan seperti apa. Tidak pernah sekalipun Rayhan mengatakan niat untuk menikah, dan rencana-rencana seperti itu. Marwa hanya berbohong saat mengatakan kepada kedua orang tuanya kalau mereka pernah membicarakan pernikahan. Kenyataannya tidak pernah Rayhan membicarakan hal itu sedikit saja, setiap Marwa ingin bertanya kearah sana jawaban Rayhan hanya dia belum memikirkan pernikahan karena sibuk mengurus bisnis yang ingin dia bangun.
Menurut Rayhan menikah itu gampang setelah finansial dia sebagai laki-laki sudah stabil. Selama ini Marwa setuju, tapi saat ini dia tidak lagi setuju. Bukankah maksud dan tujuan menikah itu adalah untuk hidup bersama dengan orang yang kita cintai selamanya, kita sudah yakin dan memilih orang itulah teman hidup hingga tua nanti, dan masalah keuangan bisa mereka berjuang bersama-sama. Setidaknya ada pembicaraan perihal menikah dari Rayhan, bukan diam saja seperti ini.
"Apa yang kamu katakan Marwa ?"
Bersambung....