Chereads / Invocation / Chapter 5 - Chapter 5

Chapter 5 - Chapter 5

"Sudah kuduga. Ash memang benar-benar bisa diandalkan, ya."

Dengan kedua tangan di pinggang, Eleen berlari dengan lincah menuju Ash dan Ciel. Dia tersenyum lebar ketika melihat keranjang rotan milik Ash dipenuhi tanaman herbal yang sesuai dengan tugasnya hari ini. Sementara keranjang rotan milik Ciel sebagian besarnya dipenuhi oleh rerumputan.

"Yah, aku sudah berusaha, tapi apa kau tidak tahu? Semua tanaman herbal itu terlihat sama di mataku."

"Tidak juga kok. Meski sulit, aku bisa membedakan mereka ketika Eleen menjelaskan."

Eleen tertawa kecil melihat perdebatan dua bersaudara yang selalu terjadi berulang-ulang. Dia meletakkan keranjang rotan berisikan tanaman herbal di tanah, lalu berpindah pada keranjang satunya lagi yang berisikan perbekalan makanan dan kain berukuran besar. Dia membentangkan kain itu di tempat yang landai dan menyusun makanan itu satu per satu di hadapan Ciel dan Ash.

"Nah, daripada bertengkar seperti itu, akan lebih baik kalau makan dulu. Ibuku sudah menyiapkannya untuk kalian."

Ciel segera duduk di samping Eleen, memandangi makanan di hadapannya dengan mata lapar. Beberapa potong roti irisan buah kesukaan Ciel yang hanya bisa dibuat oleh ibu Eleen, irisan daging asap, serta jus buah yang dicampur dengan susu dan madu.

"Dasar. Kau sudah tidak sabar, ya. Wajar sih, cuaca terik seperti ini memang lebih cepat menghabiskan stamina kita." Ash tertawa kecil. Dia segera membantu Eleen untuk membagi makanan itu menjadi tiga porsi.

Seperti yang Ash katakan, musim dan cuaca bisa memengaruhi stamina mereka. Stamina mereka akan jarang terkuras ketika musim dingin atau cuaca mendung, tapi ketika musim panas atau cuaca terik, stamina mereka akan terkuras hampir dua kali lipat dari biasanya. Karena itulah, bagi manusia yang mendapat Holy Task sulit seperti menjadi penebang kayu, penggali tambang, petani, dan sebagainya yang berhubungan dengan aktivitas berat, cuaca terik dan musim panas adalah hal terburuk.

Ketika stamina mencapai angka nol, mereka tidak bisa melakukan apa pun lagi dan butuh waktu dua belas jam hingga stamina pulih dengan sendirinya. Tapi jika mereka mengonsumsi makanan, stamina itu bisa bertambah sesuai dengan HP makanan itu. Ketika stamina sudah penuh, makanan yang tersisa tidak akan bisa dimakan lagi lalu berubah menjadi makanan busuk. Karena itu, Eleen yang bertugas menyiapkan makan siang selalu mengingat jumlah stamina Ash dan Ciel agar tidak ada makanan busuk nantinya.

Ciel yang sudah kelaparan mulai menggigt roti irisan buah itu tanpa mengatakan apa pun. Di antara mereka bertiga, Ciel memiliki stamina yang paling besar. Sementara Ash sebaliknya. Setelah menghabiskan makanan, mereka bertiga mulai menghela napas lega sambil memegangi perut.

"Luar biasa. Pokoknya, masakan ibumu yang paling hebat!" Ciel mengacungkan jempolnya pada Eleen sambil tersenyum lebar.

"Kalian terlalu memuji." Padahal ibunya yang dipuji oleh Ciel, tapi Eleen yang tersipu. "Oiya, omong-omong, kalian sudah mendengar rumor tentang hutan ini?"

"Rumor?"

Eleen mengangguk, tapi dia ragu-ragu menjawab. "Ya … aku baru mendengarnya dari anak-anak desa yang lain. Katanya, di bagian hutan yang rimbun, 'dia' akan keluar."

"Hah?" Ash dan Ciel spontan saling berpandangan. "Dia?"

"…. Hantu."

Ash dan Ciel sama-sama terdiam sejenak. Tanpa sadar mereka berjengit. Sebenarnya, sejak dulu pun rumor-rumor murahan ini sering tersebar di Kota Junon. Namun, setiap kali anak-anak itu melapor, kepala desa hanya menganggapnya sebagai angin lalu atau candaan kekanakan. Lagipula tidak ada yang bisa membuktikan kalau 'hantu' itu memang ada.

"Mungkinkah itu makhluk dari wilayah lain yang tersesat?"

"Itu kan tidak mungkin." Ash segera membantah ucapan konyol Ciel. "Ada larangan untuk makhluk dari wilayah lain melintasi perbatasan di dalam Kanon. Mereka pasti akan langsung dihukum kalau itu sampai terjadi. Menurut Eleen bagaimana? Apa kau sudah pernah bertemu dengan hantu itu?"

Eleen tersenyum pahit. "Untuk itu, aku juga ingin tahu. Memangnya kalian tidak penasaran? Bisa saja ada manusia yang memiliki penyesalan ketika mati, lalu menjadi hantu, lalu—"

"Hei, hentikan!" Ash segera menyumpal mulut Eleen dengan daun tanaman herbal, hingga membuat anak itu terbatuk beberapa kali.

"Kalau kalian penasaran, kenapa kita tidak mengeceknya saja, kan? Siapa tahu 'dia' itu benar-benar ada."

Ash hendak menolak, tapi ketika melihat Ciel menunjukkan senyum meledek padanya, dia menjadi kesal. Ash mendadak berdiri, lalu menjawab sambil menatap tajam saudaranya itu. "Baiklah! Ayo kita pergi. Itu pasti cuma rumor!"

Ciel mati-matian menahan tawa melihat Ash yang mengatakannya dengan tangan yang gemetar di sisi tubuh. "Kalau begitu, kenapa kita tidak coba pergi di malam hari? Bukankah hal-hal seperti itu akan cocok untuk dilihat ketika malam?"

"Apa? Tidak! Kita akan pergi di siang hari! Memangnya kau tidak tahu kalau sinar matahari itu sangat bagus untuk berjalan-jalan di hutan rimbun seperti ini. Benar kan, Eleen?"

Eleen hanya tertawa menanggapi pertengkaran konyol dua bersaudara itu. Ciel yang suka menjahili Ash, dan Ash yang sering menjadi bulan-bulanan Ciel. Terkadang dia merasa iri melihat Ash dan Ciel yang saling menjaga, tapi juga saling mengerjai seperti itu.

Merasa dirinya yang paling waras, Eleen segera memasukkan kotak makan siang yang telah kosong ke dalam keranjang rotan, lalu berdiri. "Nah, mari kita selesaikan persiapan sebelum melihat hantu."

Ciel mengangguk mantap, sementara Ash langsung berdiri tepat di belakang Eleen. Dengan langkah perlahan, mereka mulai memasuki bagian dalam hutan perbatasan. Melalui celah pohon konifer besar yang hampir menyerupai cedar di atas segalanya, mereka berjalan beriringan. Semua terlihat normal. Gemerisik daun dan kicauan burung kecil di atas dahan-dahan pohon mulai terdengar.

"Hei, kita tidak benar-benar melintasi perbatasan, kan?" Ash mulai waswas. Dia tidak bisa berhenti mengecek sekeliling.

"Tidak, kok." Ciel menjawab dengan penuh percaya diri. "Kanon kan hanya melarang kita untuk tidak melewati perbatasan, bukan mendatangi hutan perbatasan. Lagipula kalau kita sudah melewati perbatasan, landasannya tidak akan seperti ini, kok. Jadi jangan terlalu khawatir seperti itu."

Ash mengerucutkan bibirnya kesal. "Kau bicara seperti sudah pernah melihat perbatasan saja."

"Itu benar. Aku sudah melihatnya."

"Apa?!" Ash dan Eleen sama-sama berteriak, tapi mereka segera menutup mulut untuk tidak menimbulkan keributan.

Meski hutan perbatasan hanya didatangi oleh penebang pohon dan pencari tanaman herbal, bukan berarti penduduk desa lain tidak ada di sini. Kalau ada orang dewasa melihat tiga anak kecil ke dalam hutan yang rimbun, mereka pasti akan segera melapor ke kepala desa dan bisa mendapat hukuman kurung. Ciel juga tahu orang tuanya akan mengomel habis-habisan. Karena itu Ciel memilih untuk menyembunyikannya seperti itu.

Sambil menceritakan sedikit tentang perbatasan, mereka berjalan semakin dalam. Hutan perlahan semakin rimbun. Suara gemerisik daun dan kicauan burung mulai berkurang. Begitu pula sinar matahari terik yang sangat Ciel sukai mulai memudar.

Ciel memandang sekeliling sekali lagi, lalu bertanya pada Eleen. "Hei, apa benar 'dia' itu muncul di area ini? Kalau aku tidak salah ingat, sebentar lagi kita akan menyentuh perbatasan dengan wilayah lain, loh."

"Yah … itu …." Eleen mengedarkan pandang, berusaha mencocokkan area sekitar dengan deskripsi dari orang-orang yang melihat 'hantu'. "Sepertinya benar di dekat sini deh. Beberapa hari lalu, Paman Delt dan anaknya menebang pohon di sekitar sini. Namun, karena ragu, mereka segera kembali ke rumah tanpa menghampiri sosok itu. Ketika mereka kembali keesokannya, ada orang lain yang melihat seorang gadis kecil berambut putih yang muncul."

"Ah! Itu!" Ash segera menunjuk salah satu batang pohon yang memiliki tanda seperti bekas tebangan. "Sepertinya mereka menebang pohon, tapi gara-gara hantu itu muncul, mereka langsung melarikan diri."

Ash semakin waswas. Dia merapatkan diri di antara Ciel dan Eleen dengan pandangan yang terus mengedar. Jauh di dalam rimbun dan gelapnya hutan, meski cuaca terik sekali pun, udaranya di sekitar mereka menjadi dingin. Di saat yang sama, sesosok gadis kecil berpakaian putih dengan rambut putih platinum tampak terduduk di bawah pohon.

Wajahnya tidak terlihat.

Kedua kaki yang tertutup gaun putih panjang.

Dan … tidak ada suara sedikit pun.