Chereads / Invocation / Chapter 10 - Chapter 10

Chapter 10 - Chapter 10

Keberadaan jiwa adalah sesuatu yang absurd.

Pemikiran itu hadir saat Lant berusia sepuluh tahun. Awalnya, Lant berpikir bahwa lokasi jiwa berada di dalam kepala makhluk hidup. Hal tersebut terjadi ketika dia melihat manusia yang mati setelah kepalanya dipenggal. Akan tetapi, saat dia melihat beberapa hewan yang tetap hidup meski tanpa kepala, keyakinan tentang lokasi jiwa makhluk hidup pun mulai berubah.

Ketika ayahnya terbaring lemah di rumah sakit, Lant bertemu pengidap penyakit yang meninggal secara tiba-tiba. Dia juga pernah melihat korban kecelakaan yang kepalanya mengeluarkan banyak darah, tetapi dokter mampu menyelamatkannya melalui operasi. Di sisi lain, Lant masih ingat ketika sang ibu menembakkan pistol ke kepalanya sendiri lalu mati di hadapan Lant.

Lalu, di mana jiwa itu berada?

Apakah di perut? Di jantung? Apakah manusia akan tetap hidup meski bagian tubuh lainnya dipotong atau organ tubuhnya diambil? Namun, kenapa ibunya mati tertembak? Dan kenapa orang yang sakit jantung bisa mati? Kenapa orang yang kehilangan kewarasannya disebut sakit jiwa?

Setelah ayahnya meninggal karena sakit terminal, Lant yang terombang-ambing di antara kerabatnya harus menenggelamkan pikiran tersebut dan fokus untuk bertahan hidup. Konyol memang, ketika memikirkan seorang manusia berusaha mempertahankan jiwa tanpa tahu keberadaan dan cara jiwa bekerja.

Sampai akhirnya, dua tahun kemudian, sahabat sang ayah satu-satunya—Profesor Raegis—mengadopsi Lant. Dia pun dipertemukan oleh Lavent di usia sepuluh tahun. Sama sepertinya, Lavent seringkali memikirkan tentang keberadaan jiwa manusia dengan segala konteks yang tidak pernah Lant pikirkan sebelumnya.

Berbeda dengan keluarga Lant sebelumnya, Profesor Raegis mendukung pikiran-pikiran absurd Lant. Profesor Raegis lantas membuatkan laboratorium kecil di rumah untuk mendukung Lant dan Lavent. Setiap liburan panjang, mereka melakukan eksprerimen kecil dengan mengumpulkan beberapa jenis serangga dalam gelas kaca yang dijajarkan, membenamkan pikiran mereka dalam imajinasi ketika melihat kehidupan makhluk hidup lain, seakan-akan mereka sedang memantau sebuah jiwa.

Semua serangga yang pernah hidup dalam waktu tertentu, perlahan mati dengan waktu berbeda-beda sampai yang tersisa hanyalah ratusan mayat serangga. Serangga-serangga itu mati dalam posisi berbeda-beda juga, persis seperti yang Lant lihat di rumah sakit. Sementara Lant bergidik ngeri membayangkan gelas-gelas kaca itu sebagai tempat pembantaian, Lavent justru tersenyum lebar seakan menyaksikan kematian merupakan hal yang menyenangkan.

Lant melangkah mundur. "Menurutmu, apakah jiwa itu sama dengan nyawa?"

Lavent perlahan menoleh pada Lant yang memasang raut wajah pucat. Dibanding pertanyaan, ucapan barusan terasa seperti ujian dari anak kecil berusia sepuluh tahun. Ya, Lavent tahu bahwa Lant adalah anak yang luar biasa. Bahkan ketika kali pertama tinggal bersamanya, Lavent tak sengaja memergoki Lant tengah membaca buku kuliah ayahnya yang membahas manusia atau menyelesaikan persoalan rumit yang tidak bisa dihadapi orang dewasa.

Secara refleks, Lavent hampir menyentuh bagian kepalanya. Beberapa saat lalu, dia melihat belalang sembah betina yang memakan kepala belalang sembah jantan saat proses perkawinan. "Entahlah. Aku pernah membaca di suatu buku kalau manusia yang kehilangan jiwa sama saja kehilangan nyawa, tapi sampai sekarang tidak ada yang membahas tentang arti jiwa dan kaitannya dengan nyawa."

"Hm? Ketika manusia meninggal, dia akan kehilangan dua puluh satu gram berat badan. Seorang ilmuwan mengatakan kalau itu adalah berat jiwa. Ketika manusia kehilangan jiwa, dia akan meninggal."

"Apakah kau berpikir untuk menyalurkan jiwa orang yang sudah meninggal untuk membuatnya kembali hidup?"

Lant tertawa saat melihat raut wajah Lavent. "Tidak begitu, kok. Aku hanya berpikir, saat ini populasi manusia sudah menurun. Bukankah lebih baik kalau manusia bisa menciptakan manusia buatan yang bisa berpikir seperti manusia normal? Kalau manusia buatan bisa berpikir dan berperasaan seperti manusia, mungkin saja dunia yang mulai kehilangan eksistensinya ini bisa perlahan bangkit."

Lavent mendengkus. Dia menunjuk mayat-mayat serangga di dalam gelas kaca. "Manusia itu tidak lebih dari serangga-serangga ini. Entah berapa lama mereka bisa bertahan hidup, pada akhirnya mereka akan mati. Hanya saja, manusia memang buatan berbeda. Robot pelayan yang kutemui di restoran atau mesin troli yang menghitung belanjaan dengan otomatis, mereka itu cuma lempengan besi yang dimasuki baterai dan program-program tertentu. Tidak mungkin lempengan besi itu bisa berpikir dan berperasaan seperti manusia. Lagi pula, manusia buatan lebih berguna untuk peperangan."

Raut wajah Lant mengeras ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Lavent. "Bukankah mereka sama-sama bernyawa? Mereka bisa saja memiliki perasaan seperti makhluk hidup, kan?"

"Bernyawa?" Lavent mengerutkan alis, lalu tertawa kecil. "Mana mungkin lempengan besi yang digerakkan oleh program dan baterai bisa bernyawa, apalagi memiliki perasaan. Bagiku mereka itu hanyalah seonggok besi yang akan berkarat. Tanpa program yang kita jalankan, mereka sama sekali tidak berguna. Apa kau berpikir, kita bisa membuat manusia buatan yang bisa melakukan reproduksi?"

"Tidak. Bukan seperti itu maksudku." Lant segera menggelengkan kepala, lalu dia menoleh pada tumpukkan serangga yang sudah mati. "Tapi, mungkin saja manusia buatan itu bisa memiliki perasaan, kan?"

"Itu konyol. Menurutmu, perasaan manusia itu ada di mana? Hati? Otak? Kalau kita membuat organ buatan, lalu menyusunnya sesuai dengan posisi manusia, apakah mereka akan hidup seperti kita? Pada akhirnya, mereka itu hanyalah lempengan besi yang disusun, disatukan oleh baut, dan digerakkan dengan program."

Lant tidak bisa menepis ucapan Lavent begitu saja. Kenyataannya, seperti yang Lavent katakan, saat ini belum ada satu pun penelitian yang berhasil membuat manusia buatan seperti manusia sungguhan yang memiliki perasaan dan akal. Meski begitu, Lant tidak ingin menyerah.

Seperti yang Lavent katakana, kematian pria dewasa sudah menurun karena keberadaan manusia buatan yang dikerahkan untuk militer. Di sisi lain, hal ini juga memberikan dampak besar terhadap sektor industri yang membludak sehingga menyebabkan wabah mandul mulai menyebar secara perlahan.

Selain itu, penelitian terhadap manusia buatan hanya difokuskan pada peperangan karena tidak ada satu pun penelitian yang berhasil menciptakan manusia buatan yang memiliki perasaan dan pikiran sendiri. Mereka tampak seperti seonggok besi yang digerakkan dengan program dan akan rusak ketika mengalami bug.

Akan tetapi, Lant berbeda.

Secara insting, Lant tahu bahwa penelitian tentang jiwa sama saja seperti menantikan kematian suatu makhluk hidup. Mereka akan menunggu apa saja yang akan terjadi pada makhluk itu seolah-olah sedang merekam jejak jiwanya bekerja sampai kematian tiba.

Itu bukanlah penelitian yang bermoral, tetapi rasa penasaran sekaligus ambisi yang telah melekat dalam otaknya sejak kecil. Setelah kematian Profesor Raegis sepuluh tahun lalu, hubungannya dengan Lavent merenggang. Kali terakhir mereka bertemu adalah ketika Lavent memutuskan untuk masuk ke akademi militer, sementara Lant memilih tetap berkutat di laboratorium. Tempat itu pun berkembang selama puluhan tahun hingga usianya memasuki tiga puluh lima.

Setelah terbangun dari ingatan pendek dan dalamnya, Lant yang kini berusia tiga puluh delapan tahun perlahan membuka mata. Aroma dan udara familier yang menyentuh kulitnya membuat Lant segera tersadar.

Ketika menoleh, hal yang pertama dilihatnya adalah tulisan di layar komputer.

IVY. Intelligence, Voyage, Young.

Sebuah program pertama yang berhasil dia sempurnakan, sekaligus permulaan baru tanpa ada satu pun orang mengetahui keberadaannya.

Dengan satu gerakan ringan, Lant menyentuh layar itu, lalu tersenyum lembut.

"Sebentar lagi … kau akan segera lahir dan tugasku selanjutnya adalah melindungimu."