Chereads / Invocation / Chapter 4 - Chapter 4

Chapter 4 - Chapter 4

Aroma rerumputan yang khas membuatnya membuka mata. Ciel berkedip beberapa kali karena cahaya yang menerobos celah dedaunan menyilaukan mata. Yang pertama kali dilihatnya adalah sekumpulan semak hijau beserta berbagai buah berry yang dikelilingi bunga-bunga kecil berwarna putih. Kupu-kupu beragam warna berkilauan terbang di sekitarnya.

Ciel merasa ini tempat yang sangat familier. Perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata mulai menjalari dirinya. Mungkin perasaan nyaman yang bercampur dengan kesedihan? Entahlah. Di dalam benaknya, dia tidak mengetahui 'perasaan' sejenis itu disebut.

Selagi kesadarannya mulai terkumpul, sosok bayangan di hadapannya mulai terbentuk. Gadis kecil yang berambut putih misterius dengan sorot mata lembut dengan raut wajah bersahabat. Rambut putih yang ringan itu terlihat mirip seperti bunga dandelion yang memantulkan cahaya matahari dari celah dedaunan.

Siapa itu?

Ciel tidak tahu dan tidak bisa mencari tahu. Sebuah dinding berwarna merah dengan tulisan 'BLOCKED' menghalanginya untuk menggali ingatan. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah melangkah perlaha dengan penuh kehati-hatian mendekati sosok itu.

Ketika dia hendak menanyakan identitasnya, sosok itu perlahan mengabur. Ciel mempercepat langkah, tapi lagi-lagi ada dinding yang membatasi mereka berdua. Jarak di antara mereka hanyalah lima meter, tapi Ciel merasa ada jurang yang dalam memisahkan mereka.

Suara lonceng besar membuyarkan pikiran Ciel. Di saat yang sama, wujud gadis itu perlahan memudar lalu hilang seperti bunga dandelion yang tertiup angin. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan tadi menguat, memberikan dorongan agar Ciel melangkah untuk menahan gadis itu. Namun, seketika cahaya di sekitarnya meredup dan menelannya dalam kegelapan tak berujung.

Napasnya menjadi sesak. Dan di antara kegelapan itu, Ciel melihat tulisan 'BLOCKED' yang berkilau merah, menghujaninya tanpa batas dengan suara-suara berisik yang sulit dihalau. Spontan, Ciel menutup mata dan telinga. Seiring waktu berlalu, suara berisik dan kilauan cahaya dari tulisan merah itu perlahan mereda, lalu cahaya putih yang begitu terang terlintas di matanya.

Ciel tersentak bangun. Cahaya putih dan segala yang dilihatnya tadi menghilang, berganti menjadi langit-langit kamar yang terbuat dari kayu serta tirai putih yang bertiup pelan. Ciel menggerakkan tangan dan mendapati tempat tidur yang ditutupi kain wol. Napasnya berangsur menjadi normal ketika melihat dirinya berada di tempat yang familier.

"Apa yang baru saja terjadi?"

Ciel memejamkan mata, berusaha mengingat-ingat hal yang terjadi sebelum dirinya terbangun. Nihil. Kepalanya benar-benar kosong. Hanya ada kegelapan tidak berdasar.

Ketika dirinya berusaha mengingat sesuatu, seorang anak berambut biru muda memasuki kamar. Setelah meletakkan semangkuk sup dan segelas air di atas meja, anak itu melipat kedua tangan dan memandangi Ciel dengan raut wajah kesal.

"Kau benar-benar terlambat bangun, Ciel! Eleen sudah menunggu kita sejak tadi."

"Bukankah kalian saja yang terlalu cepat, Ash? Aku bangun seperti biasa, kok." Ciel mengatakan itu sambil mulai menyantap semangkuk sup.

Sementara menunggu Ciel menyelesaikan sarapan, Ash merapikan tempat tidur saudara kembar yang memiliki sifat begitu berbeda dengannya sambil terus mengomeli Ciel. "Harusnya kau sudah bangun sebelum pukul enam pagi. Sarapannya kan dimulai pukul setengah tujuh, lalu kita harus segera berangkat untuk membantu Eleen sebelum melakukan tugas kita. Lagipula, Ibu kan sudah bilang kalau kau tidak boleh tidur lebih dari jam sembilan malam."

Ciel hanya mengangguk malas. Bukan berarti dia tidak ingin melakukan hal-hal yang sesuai dengan jadwal. Hanya saja, sesuatu di kepalanya terus membuatnya melakukan hal-hal yang sama secara terus menerus.

"Lihat ini." Ash mengangkat wadah baju kotor di ujung ruangan sambil berdecak. "Kau benar-benar malas, ya."

"Berhentilah mengomel seperti Ibu. Nanti bisa-bisa kau kukira sebagai perempuan, lho." Ciel membalas tanpa memedulikan Ash.

Sebelum Ash kembali mengomel lagi, Ciel segera menghabiskan sarapannya lalu keluar dari kamar diiringi seruan dari saudara kembarnya itu. Dia bergegas turun dari lantai dua rumah kayunya disusul oleh Ash. Namun, langkah Ciel terhenti ketika melihat seorang anak laki-laki seusia mereka sedang duduk di ruang tamu yang berbatasan dengan dapur dan tangga.

"Oh, kau sudah bangun? Tidak heran kalau Ash sampai kesal menghadapimu setiap pagi."

Pemilik suara yang sedang duduk sambil membaa buku adalah seorang anak laki-laki seusia mereka. Ciel tidak menjawab dengan segera, tapi melirik Ash yang terburu-buru menyusulnya.

"Kalianlah yang bangun terlalu cepat. Sudahlah, aku pergi. Kau juga baru mendapat Holy Task-mu kemarin kan, Eleen?"

Eleen mengangguk sambil menutup bukunya lalu berdiri, mengikuti Ash dan Ciel ke luar. "Iya. Sedikit terlambat dari kalian, tapi tugasku jauh lebih mudah."

Semua manusia yang ada di dunia ini akan mendapat Holy Task ketika mereka menginjak usia dua belas tahun. Bagi mereka, Holy Task adalah tujuan hidup sekaligus tempat pengabdian seumur hidup bagi ABSOLUTE yang menciptakan dan mengatur dunia ini. Selama ratusan tahun sejak dunia ini terbentuk, mereka yakin kalau alasan mereka terlahir hanyalah untuk mengerjakan Holy Task hingga mati. Terlebih lagi, Holy Task yang didapat bergantung pada tempat tinggal. Di dunia ini terdapat pepatah 'Di mana kau lahir, di sanalah kau mati' karena tugas mereka hanya akan dianggap selesai ketika mereka mati.

Mereka akan mendapat Holy Task yang tidak jauh berbeda dari leluhur mereka. Jika leluhurmu adalah seorang pendidik, kau akan menjadi pendidik. Jika leluhurmu adalah ksatria, kau akan menjadi ksatria. Begitu pula kalau leluhurmu adalah petani, kau juga akan menjadi petani. Meski orang tua mengatakan kalau ini adalah bentuk pengabdian terhadap ABSOLUTE, Ciel seringkali berpikir kalau Holy Task adalah sebuah dinding besar yang mengurung mereka seumur hidup.

Bahkan setelah enam bulan berlalu sejak dia dan Ash mendapat Holy Task, Ciel masih tidak mengerti alasan apa ABSOLUTE memberikan mereka tugas seperti itu.

"Jadi, Holy Task-mu seperti apa? Apakah aku boleh melihatnya?" Ash menatap Eleen penuh binar. Melihat Holy Task orang lain memang tidak masalah. Hanya saja ada beberapa orang yang merasa tidak nyaman ketika mendapat Holy Task yang terlalu sepele.

Eleen tersenyum bangga sambil mengulurkan tangan lalu membentuk sapuan udara kecil dengan jari telunjuk. Cahaya kecil memercik di hadapannya lalu membentuk sebuah kotak putih transparan yang berisikan tentang Holy Task miliknya.

"Jadi tugasmu sama seperti ibumu, ya." Ash membaca keterangan Holy Task yang dimiliki Eleen.

Eleen mengangguk. "Mengambil tanaman herbal bukan tugas yang sulit. Yah, walau kadang-kadang malah terasa membosankan."

Selagi mereka berjalan berdampingan di jalan Kota Junon yang diapit barisan pohon cedar, Ciel tiba-tiba terpikir sesuatu tentang Holy Task. Langkah Ciel tiba-tiba berhenti dan pandangannya tertuju pada burung-burung yang berterbangan bebas di langit biru. Ciel bereaksi dengan cepat. Mungkin pikiran ini terlintas karena mimpi anehnya semalam. Jauh di dalam kepalanya, di tempat dinding-dinding bertuliskan BLOCKED dengan cahaya merah, Ciel samar-samar mengingat sosok yang hadir dalam mimpinya.

Namun, ketika dia berusaha mengingat sosok itu lebih jauh dalam ingatan, suara Ash yang memanggilnya membuyarkan pikiran Ciel. Dia segera berlari menyusul Ash dan Eleen yang berjarak cukup jauh darinya, berusaha mengenyahkan pikiran apa pun tentang mimpi atau sosok gadis itu.

Ciel benar-benar tidak menyangka kalau mimpi itu akan membawanya ke jalan baru yang tidak pernah dia bayangkan.