Aku mencoba membuka kelopak mataku. Pandangan terasa buram seiring cahaya yang silih berganti. Mengehentikan tatapan pada langit-langit kayu yang usang, dan merasakan udara dingin yang menyelinap di antara lubang-lubang atap. Angin-angin itu menari ke rangakaian jaring laba-laba yang banyak menghiasi, membuat satu jaring terayun-ayun cukup cepat. Mataku berkeliling ke segala arah, mencermati dinding-dinding kayu lapuk yang penuh dengan coretan tangan. Coretan yang tidak nampak seperti gambar atau tulisan yang aku ketahui, melainkan seperti sebuah simbol abstrak dengan cat merah menyala. Atau bahkan boneka kayu yang bergelantung seperti mumi di sudut-sudut ruang. Aku tidak ingat tempat apa ini, bahkan rasanya belum pernah kemari.
Aku bangkit, duduk, sambil mengarahkan wajahku pada jendela. Ada sebuah gorden tebal dan amat kumal tergantung menutupi separuh jendela. Suara lalat-lalat berdenging cukup keras mengelilingi tirai itu tanpa henti, mencium bau busuk yang menusuk. Udara dingin perlahan menyentuh sekujur tubuhku, mulai menjadi air hujan yang membekukan seperti di dalam ingatanku. Suara deras air yang melewati mobilku, dan membawa pecahan kaca menuruni lereng curam ke arah hutan. Malam itu aku tidak mampu berteriak apalagi bergerak. Atau mengutarakan bagaimana rasa sakit yang luar biasa, hingga kegelapan mulai menangkapku. Aku terdiam sepi dalam lamunan, termenung dengan sejumlah pertanyaan. "Apa aku mati? Apa seseorang menyelamatkan aku? Bagaimana caranya aku pulang?" pikirku.
Aku melirik, memandangi kedua lengan dan kakiku yang nampak mengerikan. Aku begitu lusuh, kurus kering, serta pucat. Kulit kuning yang sangat tipis membalut tulang-tulangku dengan teramat jelas terlihat begitu mungil, dan banyak luka yang membusuk di tubuhku. Luka-luka itu tidak menimbulkan sakit atau perih sedikitpun, hanya beraroma menyengat kuat. Aku mencoba meraba wajahku, menelusuri lekukan tulang pipi serta rahang di antara rambut coklatku yang terurai. Tempat ini sepertinya telah memenjarakanku dengan ketidaklayakannya, melintasi waktu yang amat panjang bersama kelaparan. Perutku yang sangat kecil, tidak lebih besar dari telapak tanganku, mulai terasa sakit. Aku menyeringai kesakitan beberapa saat, menggigit bibirku kuat-kuat di bawah jendela. Hingga seseorang melemparkan setengah bagian ayam yang mendarat tepat di ujung jari jemari kakiku.
"Makanlah. Ada banyak hal yang layak dan tidak untuk kau telan. Tapi untuk memilih kamu terlalu tidak berhak, semuanya juga kelaparan di sini." Suaranya terdengar menggema dan manis dari kegelapan. Dengan cepat seseorang muncul dari arah lain yang aku pandangi. Dia begitu mengerikan, nyaris menakutiku. Tubuhnya jenjang, begitu khas akan kulit berwarna seputih susu dengan mata biru yang menyala. Kupikir dia cukup mempesona dengan rambut pirang tergerai dan gaun biru meski sangat lusuh adanya. Aku belum pernah bertemu seseorang seperti itu dalam hidupku. Gadis itu mendekat sambil membingkai senyuman sangat lebar. Duduk sangat dekat di dekat betisku, dan mengambilkan daging itu untukku.
Aku mencoba menjangkaunya perlahan dengan tangan yang terus gemetar. Sepotong ayam itu terasa sangat berat bagi lengan kecilku. Aku nyaris melepasnya jika gadis tidak ikut menopang di sisi lain daging. Dia agak cekikikan memandangiku, lekuk tulang wajahnya nampak jelas dengan kulit yang banyak nyaris terlepas. Sepotong daging yang lebih busuk dari tumpukan sampah di pekarangan nenekku serta bau menyengat kuat menggoda lalat-lalat mengerubuti dengan sangat ganas. Aku mencoba menatapnya penuh keraguan teramat buruk akan makanan ini, namun ia tersenyum sangat yakin. Terus mengisyaratkanku dengan bola matanya, bahkan mendorong daging tersebut di depan wajahku. Beberapa waktu ia begitu mencurigakan.
Untuk terakhir kali aku menatap daging busuk itu, mencoba tidak terus membayangkannya dengan menutup mata. Rasa sangat lapar nampak sangat bergejolak dalam diriku, memaksaku cepat-cepat melahapnya. Aku menelannya utuh dalam sekali gigit. Bau dan rasanya mendadak hilang saat menyentuh lidahku. Aku benar-benar tidak percaya sembari membuka mata, seperti memakan udara. Perutku masih kosong dengan kelaparan di sebalik gaun hijau compang-camping. Gadis itu masih di sini sambil terus memandangi mulut kotorku. Dia mencoba menyentuh bibirku, mengelap noda-noda itu perlahan dengan jemarinya yang mungil. Hingga aku memberanikan diri bertanya meski penuh kegugupan, "Apa kau yang telah menolongku? Hampir saja aku pikir ini adalah kematian."
Dia menggeleng. Membuatku berada dalam kebingungan sejenak. Kami sempat saling diam membisu tanpa mengatakan apa-apa. Sesaat matanya kosong mengarah pada boneka yang bergelantung, seolah ia memikirkan sesuatu diam-diam. Angin berwarna hitam menghantam kulit putihnya, namun tidak membuatnya serta-merta mengigil. Gadis itu terus termenung, hanyut di dasar pikirannya sendiri. Aku melirik ke arah langit gelap yang pekat, mencari sesuatu yang bahkan aku tidak tahu. Mencoba bertanya pada cahaya yang menyelinap masuk di kegelapan langit, berharap mendapat jawaban yang tiba-tiba muncul di depan mataku.
"Irene." Ia memperkenalkan diri dengan begitu singkatnya. Wajahnya kaku tanpa senyuman, sambil mengepang rambut pirangnya nan panjang terurai. Aku memerhatikan dirinya, mukanya lebih pucat dari sebelumnya. Seolah renungannya telah sampai pada sesuatu yang akhirnya dapat membuatnya takut dan tersadar. Gadis itu gemetaran, dan mencoba melepaskan napas begitu panjang. Kemudian dia membalas tatapanku dengan sebuah senyuman yang tak dapat kumengerti. "Kau masih lapar?" tanyanya.
"Iya!" Aku mengangguk tanpa melepas tatapan dari wajahnya. Pikiranku masih sangat penasaran dengan isi hatinya, tentang sesuatu yang dapat menghancurkan bendungan ketakutannya. Aku mencoba diam-diam menembus ke dalam matanya, tanpa mengindahkan senyuman palsunya. Jauh di dalam kegelapan yang menyelimuti mata biru yang bercahaya itu, aku melihat dirinya. Gadis itu cantik sempurna mengenakan sebuah sutra indah seperti wajahnya. Ia terpasung dan terlilit rantai di dalam dirinya sendiri. Ia menangis, menatapku seolah hendak menyampaikan sesuatu yang bisu. "Ada apa?"
Dia menatapku heran. Gadis itu menggeleng dengan sebuah senyuman, tanpa mencoba memperdulikan pertanyaanku. Ia mendadak sungkan mengangkat wajahnya, menjatuhkan lirikan matanya pada kedua telapak kakinya. Aku mencoba mendekat, persis di sebelah bahunya. Merangkul dirinya yang kosong saat jiwanya melayang entah kemana. "Apa yang kamu takuti?" dia berbisik pelan di dekat wajahku.
"Jeroan ikan! Rasanya pahit dan amis." Gadis itu tertawa mendengarnya, sedangkan aku tak kuasa membayangkannya. Aku pernah sekali mencicipi sebuah makanan di kampung halaman nenek, itu adalah nasi hitam bercampur isi perut ikan. Rasanya sangat pahit di seluruh lidahku, dan aku langsung membenci semua kenangan masa kecilku soal itu. Nasi jeroan merupakan hal terburuk yang pernah menyentuh lidahku.
"Tapi kau tidak akan merasakan itu lagi." Dia mengacak-acak poniku dengan senyuman bahagia. Namun aku justru diam dengan sebuah kebingungan. Aku mencoba diam-diam menembus ke dalam matanya kembali. "Kenapa?" dia mulai menyadari.
"Apa aku sudah mati?"