Chereads / PRETAS / Chapter 4 - 3

Chapter 4 - 3

Jauh di pedalaman hutan belantara dengan purnama abadi yang begitu mencekam, terletak beberapa mil setelah timbunan bangkai-bangkai tertinggi, telah mampu membuat lidahku membeku. Sebuah hutan monsun terkutuk, pemakaman terakhir para roh, dipenuhi jagal-jagal yang mengaung setiap saat. Di sebalik pepohonan tua yang tak pernah gugur menunggu kemarau panjang impian, bersama langkah misterius di antara tetesan hujan, ada catatan takdir bersemayam di dalam lidah sebuah monster yang konon membawa kekekalan kepada sekitarnya. Angin yang berhembus membawa bisikan kematian di antara ranting, daun dan rumput basahnya. Tidak ada yang dapat kembali kecuali roh murni.

Suara guruh yang kuat seolah melesat ke telinga dari atas kepalaku, di antara langit terik tanpa awan sedikit pun. Angin-angin mulai berlari mendahuluiku, menyeberangi hamparan jurang yang membentang di sekeliling reruntuhan, bergabung pada pusaran asap tebal penuh bebatuan. Perjalanan pulang nampak jauh lebih sukar, waktu berhenti begitu lama saat tubuhku terombang-ambing menjejali angin kuat melintasi jembatan. Bisikan dasar jurang menggema, membekukan langkahku, nyaris saja aku kehilangan langkah selanjutnya. Mereka bertiga telah sampai di ujung jurang, melambaikan tangan tanpa tahu ketakutan yang mencoba menarikku untuk jatuh. Aku berteriak, tersungkur ketakutan memegangi papan-papan kayu, berusaha menangis.

Seseorang memegang bahuku, menyuruhku bangkit. Jemarinya dingin, begitu berat namun lembut. Aku mencoba menatap sosok di belakangku diam-diam tanpa berbalik sepenuhnya. Kulitnya gelap dengan tanduk mungil di kepala kecilnya, sesekali kudapati dia tersenyum ke arahku. Lelaki itu menuntunku perlahan, dengan tidak melepaskan telapaknya dari bahuku, kupikir dia terus berbisik. Aku tidak dapat mendengar apapun di antara angin kencang yang mengguncang, atau merasakan apapun selain tulang-tulangku menggigil. Mereka bertiga masih di sana menatapiku dengan keriangan, tanpa rasa cemas. Aku mencoba memejamkan mata, berusaha menganggap waktu seperti rangkaian angin yang cepat berlalu.

Setibanya di tepi jurang, tulang betisku langsung disambar oleh nyala api yang terpercik begitu banyak, mencoba memanaskan kebekuan tulang-tulangku. Dadaku masih berdegup kencang dipenuhi ketakutan luar biasa yang terlalu sukar untuk menyingkir dalam rongga-rongga kosong hatiku. Laki-laki itu masih di belakangku, menepuk pundakku berulang-ulang, juga berbisik di antara tiupan angin. Aku berbalik, mencoba menatap wajahnya, namun terlambat. Dia hilang seolah menyatu dengan kabut tebal, pergi tanpa suara langkah atau kata yang jelas terdengar olehku. Saat itu aku dipenuhi oleh rasa penasaran kuat mengenai dia, sesuatu di matanya yang belum sempat aku baca, atau apakah dia itu sebenarnya.

Aku berusaha meneriaki dia di antara lalu lalang roh yang menghadangku, menerobos kabut-kabut tebal. Hingga sebuah tangan tiba-tiba muncul melerai lenganku begitu cepat, dengan mata tajam menatap. "Apa yang kau cari?" tangannya semakin kuat mencengkeram, lalu menarikku. Kabut-kabut menipis, menjauh dari wajah Lyla yang dirundung kecemasan. Dia memaki, memperlihatkan jurang sejarak satu langkah lagi dariku, menjelaskan betapa khawatirnya dia. Wajahnya terus cemas sambil menyeretku masuk ke gerbang dengan agak kasar. Dan kembali bertanya, "Apa yang kau cari?"

Nina dan Intan hanya menatapku, membungkam beberapa saat sesampainya aku di reruntuhan rumah yang tak tersisa. Puing-puing kayu yang berserakan nyaris menutupi jalan, dan beberapa rumput kecil tumbuh di bawah tumpukan kayu. Mereka tak melepaskan tatapan dariku, menunggu kesaksianku untuk meruntuhkan kekhawatiran di mata mereka. Aku mencoba menghela napas perlahan, "Ada laki-laki yang..."

"Laki-laki apa?" ujar Lyla langsung menyambarku dengan terheran-heran. Tak seorang pun yang nampak memahami, justru semakin bingung. Sesekali mereka berbisik-bisik, melirikku, menatap ke arah jembatan. Tapi mereka berdebat mengenai sesuatu hal yang tak aku ketahui, dan terus berbisik. Hingga akhirnya Lyla kembali bertanya, "Laki-laki apa yang kau maksud?"

Wajahnya yang amat serius mulai membuatku gugup. Jelasku dengan terbata-bata. Mereka bertiga hanya menatapku penuh ragu. Namun aku yakin mereka dapat melihat laki-laki muda itu seperti mereka menatapku, mungkin kabut-kabut sekilas menyamarkannya. "Laki-laki itu bertanduk kecil," tambahku.

"Kau ketakutan?" Nina akhirnya mulai berbicara denganku, namun wajahnya heran bukan main. Aku mengangguk. Dia mencoba mengarahkan pandanganku ke jembatan, "Kau tidak ingat jika kau melambaikan tangan pada kami dengan ceria sepanjang melintasi jembatan, kau bilang ingin menyeberang sendirian. Dan lelaki yang kau masud tidak pernah ada, wanita gemuk itulah yang sejak tadi di belakangmu." Aku benar-benar terkejut, kurasa ini hanyalah lelucon. Namun Lyla dan Intan mengangguk dengan wajah serius. Mereka nampak bukan hendak membuat candaan, tapi mencoba meyakinkanku.

Aku mencoba membantah sesuatu yang tak masuk akal bagiku, bagaimana mereka berkata jika aku ceria menyebrangi jembatan."Tapi,"

"Sebaiknya kau tidak keluar gerbang. Iblis tidak bisa membisikimu dengan jelmaan di dalam sana. Dia nyaris membawamu ke neraka." Lyla memotong perkataanku, merangkulku dengan cepat. Mereka membawaku masuk ke gerbang, dengan wajah penuh kekhawatiran. Beberapa saat perjalanan berlalu tanpa pembicaraan apapun, mereka hanya menyimpan sesuatu di pikirannya. Sedangkan aku masih begitu kebingungan dengan semua hal yang sebenarnya terjadi, terutama lelaki bertanduk kecil itu. "Aku rasa ada yang dia inginkan darimu." Lyla berbisik padaku.

"Apa itu?" tanyaku penasaran. Kami terus berjalan, sebelum sampai di suatu rumah yang dipenuhi patung-patung batu. Sebagian patung kecil masih utuh saat menyambut kami, memenuhi sekitaran rumah yang berseberangan dengan sungai. Ada bau bunga di dekat pintu masuk, dan beberapa lilin menyala mengitari patung besar di tengah rumah. Suasananya tenang, mendamaikan hati.

Kami duduk di ubin berdekatan memandang ke arah luar jendela, dimana sungai terus mengalir membawa air-air pekat dan campuran batu berbau busuk yang menyengat. Nina mencoba mengeluarkan bangkai-bangkai dari dalam karung. "Kami tidak terlalu banyak tahu, tapi kami harap kamu tetap di tempat ini bersama kami." Lyla menggengam tanganku.

"Apa yang kau alami adalah sesuatu yang aneh, kau harus berhati-hati!" Ujar Nina yang masih sibuk mempersiapkan bangkai untuk disantap bersama. "Kita semua tidak ada yang tahu soal takdir, kita hanya terjebak di dalamnya. Maka akan lebih baik, jika kita terus berjaga-jaga." Tambah gadis itu.

"Kamu pasti yang terpilih!" Lyla tersenyum. Aku tidak mengerti yang dia katakan, apakah itu baik untukku atau tidak. Tiba-tiba terdengar suara bising dari arah luar rumah. Roh-roh kelaparan datang mencoba menerobos masuk, mendorong beberapa patung dengan tubuh mereka hingga hancur . Kami berempat mulai bergegas bangkit, berlari ke arah luar untuk menghentikan mereka masuk.

"Mereka bodoh dan lapar!" Seru Nina. Pintu terus bergetar menahan dorongan kuat dari para roh. Nampaknya mereka mengenali bau bangkai yang terendus saat kami membawanya. Tempat ini jauh dari gundukan-gundukan bangkai, mereka pasti sangat kelaparan, mencoba merampas milik kami. Hingga pintu itu akhirnya dapat para roh dobrak.

***