Aku hanya melirik ke sekeliling, melihat tembikar-tembikar berisi bara api menyala. Beberapa potongan kayu dan logam bertebaran, seluruh ruangan begitu penuh dengan senjata. Seorang lelaki kurus dengan rambut pirang begitu cekatan memipihkan logam, lalu kembali memasukannya ke bara. Kulit putihnya sedikit menghitam seperti terbakar, banyak luka menganga di lengan kanannya. Lelaki itu terus sibuk dengan pekerjaannya, hingga terbentuklah pedang runcing hampir sempurna.
Sebelum bersamanya, aku seorang diri menelusuri jalan setapak. Ketiga gadis itu meninggalkan aku untuk ke gundukan bangkai dan melarangku pergi, menghindari hal buruk yang mungkin menimpa diriku kembali. Tapi aku begitu jenuh, seolah bisikan menuntun langkahku ke arah kastel. Dengan tekad dan sebuah belati kecil sebagai senjata, aku mencoba mengikuti suara yang mambujukku. Yang terdengar seperti, jalan gelap memang kembali terang tapi kamu hanya akan menuju ke kegelapan. Takdir buruk terkunci, dan kamu terjebak olehnya.
Saat itu aku melihat roh kelaparan mengerikan di tepi jalan. Dengan tubuh besar memakan para roh lain, wajahnya hitam dipenuhi taring. Cakar besar mencabik-cabik tiap potong tubuh, melahapnya utuh. Aku ketakutan berusaha berbalik untuk lari, namun ia melihatku. Dengan tangan gemetar mengeluarkan belati, yang malah tak sengaja aku jatuhkan. Lalu lelaki ini datang membawa karung goni besar berisi potongan logam, menjulurkan dua pedang di tangannya. "Dia dikuasai kekuatannya dan rasa lapar!" Ucap lelaki itu.
Dengan lihai mengayunkan pedangnya ke arah roh monster itu. Lelaki itu berhasil melukai lengannya, namun pedangnya membentur cakar. Dia kembali menyasarkan pedang ke arah jantung roh. Roh berwujud monster itu tidak mudah bergerak dengan perut besarnya, ia terjatuh tepat saat lelaki itu mengenai dadanya. Kemudian menebas kepalanya menjadi dua. Aku terdiam di kejauhan, dengan kaki tertahan di antara retakan tanah berisi lahar. Lelaki itu berbalik, mengarah padaku. Kedua senjatanya nampak sangat tajam terasah. Lalu dia memikul karung goni itu, menatapiku. "Kau sendiri?" tanya lelaki itu.
Akhirnya dia mengajakku ke tempatnya. Ia bercerita banyak hal yang belum aku ketahui sepanjang perjalanan. Setiap hari lelaki ini malah berkeliling mencari logam untuk membuat senjata, berbeda dengan para roh yang mencari makanan. Semakin banyak roh kelaparan yang sengsara dengan apa yang dimakannya, ucap lelaki itu. Mereka hanya punya satu pilihan setelah itu, menuruti nafsu yang menguasai. Lelaki berkulit putih pucat ini telah menguasai nafsu makannya, sehingga hanya sekali sepekan ia berjalan begitu jauh ke gundukan bangkai.
Setelah membuat mata pedang yang sempurna, lelaki itu duduk di sampingku. Mengambil sebuah kayu, memahatnya dengan cekatan. Sesekali dia melirikku, "Kinan!"
"Maksudmu?"
"Namaku Kinan! Semoga kau mengingatnya di alam kematian ini." Jelas lelaki itu. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, wajahnya nampak nyaman melakukan semua ini. Di saat para roh menjadi kacau karena kesengsaraan di alam preta, dia seolah satu-satunya yang mampu menciptakan dunia sendiri. Semakin lama aku menatapnya, jauh di dalam dirinya yang begtu bercahaya. Dia mengenakan busana indah keemasan, sambil memeluk seekor burung dengan lembut. "Apa namamu rahasia?" suaranya mengejutkanku.
"Oh astaga! maafkan aku. Aku alda, semoga kau mengingatnya juga." Aku sedikit cekikikan malu, lelaki itu hanya tersenyum sambil memahat. "Apa ini adalah kekuatanmu? Aku belum menemukan kekuatanku."
"Membuat senjata? Tentu bukan." Seketika ia meletakan kayu dan alat pahatnya. Kinan memberikan belati yang aku jatuhkan, kukira aku benar-benar meninggalkannya. Lelaki itu memperlihatkan bilah logam yang tajam padaku. kinan berkata, "Tidak masalah, jika bukan seperti yang lain. Aku tidak mempunyai kekuatan, dan aku enggan mencarinya. Aku adalah logam yang memilih menjadi mata pedang, mengasah kemampuan hingga tajam setiap saat."
"Kau seperti hidup!" Ujarku. Hatiku begitu tersentuh dengan apa yang ia lakukan sejauh ini.
Lelaki itu mengangkat sedikit pakaiannya. Memperlihatkan perut kecilnya yang dipenuhi lilitan kain, ikatannya kencang walaupun tipis. "Apa kamu pernah berpuasa?"
Aku menggeleng, "Apa itu?"
"Itu adalah ketika seseorang tidak makan, menahan diri dari nafsu. Aku sudah mencobanya, aku hanya makan empat hari sekali." Kinan menjelaskan alasan dia menahan lapar, menekan perut kecilnya. Tapi bukankah empat hari adalah waktu yang cukup lama?
Kehidupan pasca kematian adalah hal yang aneh kurasa. Mengalami kelaparan dan kesengsaraan tidak lantas mengembalikan sisi kebaikan. Yaitu puncak pemahaman tertinggi, dimana segala sesuatu adalah ilusi diri yang perlu dikendalikan. Kekuatan mempengaruhi sikap, rasa lapar menguasai pikiran, dan keadaan sengsara membuat para roh betambah gila. Jika aku benar, tuhan memperluas kesukaran di tempat ini agar menampakan kebaikan kecil menjadi besar. Dimana cukup banyak juga roh yang berbuat baik, meski kehidupan kematian begitu sulit.
Kematian bukanlah akhir, justru menjadi awal kehidupan. Tiap manusia dapat memilih untuk mensyukuri setelah kehidupan sebelumnya. Atau bahkan menjadi lebih buruk, dari sebelumnya.
***
Kinan mencoba mengantarkan aku kembali, meski aku tidak terlalu ingat jalan pulang. Setiap rumah terlihat sama dengan patung dan tembikar di sekelilingnya. Pusaran angin di langit mulai menghilang, menandakan waktu malam datang. Lelaki itu berjalan memperhatikan tiap rumah di pinggir sungai, mencari apa yang aku pernah jelaskan padanya soal perkiraan rumah tinggalku. Kinan dan aku tidak terlalu banyak berbicara, agar dia lebih fokus sepanjang jalan. Lelaki putih itu masih membawa karungnya, tapi bukan untuk mengumpulkan logam melainkan makanan. Dia terlihat bugar, tak seperti sedang menahan lapar berhari-hari.
Akhirnya setelah menelusuri jalan, kami berdua sampai di rumah. Kinan berpamit cepat, berjalan ke arah gerbang. Aku langsung bergegas masuk ke dalam, melihat teman-temanku. Mereka nampak menatapi aku dengan ekspresi yang berbeda-beda. "Wah, ada yang keluyuran sama laki-laki seharian nih. Ternyata cinta tetap tumbuh di tubuh roh!" Lyla mengejekku dengan senyum dan tawa kecilnya.
"Astaga!" Aku terkejut mendengarnya. "Itu tidak benar!" Tegasku.
Nina nampak begitu marah tapi matanya dipenuhi rasa khawatir. "Bukankah kami menyuruhmu tetap di dalam rumah hari ini, apakah itu begitu sulit?"
Aku memang merasa bersalah di sana, tapi perasaan ini memang agak sulit dicegah. Sesuatu seolah menuntun diriku pergi ke arah kastel, sangat sulit menjelaskan apa yang aku alami. Aku tidak tahu persis hal semacam apa yang kubayangkan soal kastel, hingga mempertaruhkan diri dengan bahaya sepanjang jalan. Memang hal keberuntungan ketika Kinan di sana, menyelamatkan aku saat itu. Walaupun dorongan di pikranku masih begitu menggebu untuk kembali. Aku mencoba menjelaskan dengan terbata-bata, "A-ada,"
"Oh iya, benar!" Seru Lyla memotong perkataanku. "Kalau aku tidak salah, aku sudah pernah melihatnya sebelumnya. Dia pernah bersama Irene, mereka pernah dekat dalam waktu yang cukup lama. Jauh sebelum gadis itu berubah menjadi sangat menyebalkan untuk semua roh."
Aku terkejut, "Benarkah?"
"Ya seperti itulah. Sepertinya bebatuan angin menyumbat otaknya!" Ejek Nina.
Aku hanya terdiam, memikirkan tentang sesuatu yang sebenarnya terjadi pada Irene. Aku memang tidak begitu dekat dengannya dalam waktu yang lama. Tapi aku dapat melihat sisi kebaikannya, saat perkata kali kami bertemu. "Apa yang menakuti jiwamu saat itu, Irene?" pikirku.
***