Angin berkabut menerpa lilin-lilin yang menyala, masuk melintasi pintu yang hancur. Aku terpaku kaku dengan ketakutan melihat para roh kelaparan menatap ke arah kami. Rasa lapar menguat keluar melalui kerongkongan mereka, meneteskan air liur penuh nafsu. Nina berlari menghampiri lilin yang masih menyala, membacakan sebuah mantra dengan pelan. Api lilin itu nampak menjadi hitam pekat, seketika menyambar tangannya hingga siku. Gadis itu terlihat seperti terbakar, asap dan api keluar dari bibirnya. Matanya hitam pekat menyeluru, tapi dia baik-baik saja. Nina berlari menuju pintu, melepaskan api dari tangannya ke arah para roh. Mendorong mereka sedikit jauh dari rumah.
Beberapa roh saling berpegangan, melapalkan mantra yang aneh bagiku. Membuat seketika langit dipenuhi awan badai, dengan hujan darah di dalamnya. Semua roh bermandikan tetesan darah pekat, mengalir deras memenuhi sekeliling. Api di tubuh Nina seketika padam, membuatnya tak punya perlawanan. "Apa yang harus kita lakukan?" aku menatap Lyla penuh kecemasan.
Nina tetap di sana menghalau para roh, kembali mengucapkan matra. Namun, seketika akar muncul dari permukaan tanah, menjeratnya kuat ke bumi. Gadis itu terbaring kesakitan dengan genangan darah pekat yang hampir menenggelamkannya. Kami bertiga panik, memikirkan cara untuk menyelamatkan Nina dari sana. Lyla tidak dapat melakukan apapun dengan kekuatannya, begitu juga aku. Aku tidak tahu apakah aku punya kekuatan atau tidak di sini. "Intan!" Teriakku, ketika melihat gadis itu berlari keluar.
Intan berlari cepat ke arah genangan, mencoba melepaskan Nina di sana. Namun, akar-akar itu begitu mengikat. Wajah Nina begitu terlihat kesakitan bercampur dengan tetesan darah yang terus jatuh. Saat terus berusaha melepaskan jeratan akar yang kuat, Intan justru malah ikut terjebak. Mereka berdua terperangkap, menunggu genangan darah yang akan segera menenggelamkan. Para roh berlari ke arah rumah dengan cepat, menatap tajam ke arah aku dan Lyla. Kami berdua berusaha menutup pintu dengan menopang potongan kayu yang tersisa. "Ayo, Alda!" Ujar Lyla.
Di luar sana, Intan terus berusaha melepaskan diri. Ia berubang menjadi ular dan melesat menjauh dari genangan. Gadis itu berdiri di tepian sungai, menatap derasnya air darah ikut bercampur di sana. Ia mengambil beberapa bebatuan besar, yang seketika berubah menjadi bangkai babi. Melempari para roh agar mereka berbalik ke arahnya. Ketika roh-roh itu hampir mendekati kami, mereka langsung berpaling mengejar Intan yang terus melempari bangkai. Gadis itu dengan penuh kekuatan, membuat sungai berbatu itu menjadi aliran bangkai hewan yang menarik para roh.
Lyla dan aku bergegas melempar papan kayu, berlari ke genangan yang menenggelamkan Nina. Para roh dengan cepat menyerbu sungai, menyeburkan diri di tengah derasnya air pekat. Dan akhirnya ikut hanyut bersama sungai. Langit mulai kembali tanpa awan badai dan hujan darah, kami berhasil menyelamatkan Nina. Sedangkan Intan terjatuh tak berdaya di tepi sungai. Lyla menggendong Nina menuju rumah, dan aku berusaha menyelamatkan Intan yang tubuhnya hampih terseret air. Aku butuh banyak kekuatan untuk membawa gadis ini, aku tak sekuat Lyla. Saat itu aku melihat di kejauhan, beberapa roh melintas, bersama Irene.
Akhirnya kami masuk ke dalam rumah. Aku membaringkan Intan di dekat Nina, sedangkan Lyla berusaha menutup pintu dengan potongan kayu dan meja, menahan terpaan angin masuk. Nina bersandar lemas di dinding, wajah pucatnya masih bersimbah darah. Aku mencoba menyalakan perapian tapi itu sangat sulit. Lyla bergegas mendekati Intan dan Nina, membaca sebuah mantra di antara keduanya. Aku terus menatapnya, gadis itu meregangkan tangannya. Jari jemarinya menyala, menarik kegelapan dari tubuh Nina dan Intan. Cahaya itu meredup bersama kegelapan yang menguap ke udara.
Beberapa saat kemudian kedua gadis itu nampak kembali baik, seperti sediakala. Lyla juga membantuku menyalakan perapian dan lilin-lilin. Kami berempat duduk melingkari bangkai-bangkai, meski aku cukup lama hanya diam membungkam. Pikiranku dipenuhi pertanyaan dan kebingungan, yang tak sanggup aku uraikan. Ini tidak seperti kematian yang pernah aku bayangkan, belum pernah aku baca dalam buku keagamaan. Bukankah kematian adalah dunia pembalasan amal, tapi tempat ini justru menjerat para roh dengan rasa kelaparan, ketakutan dan kesengsaraan.
"Alda!" seru Lyla. Gadis itu tersenyum lebar, kilauan di dahinya terang seketika. "Kami punya teradisi sebelum makan di sini. Setiap orang harus menikmati makanan dengan hati yang bahagia, itu akan membuat waktu berjalan lebih mudah nanti. Katakanlah jika sesuatu terjebak di pikiranmu! Kami akan membantumu." Mereka menatapku, menunggu aku berbicara.
Aku menggeleng. Berisyarat untuk memulai makan malam. Memang ada banyak pertanyaan melinatasi pikiranku. Bahkan tentang diriku sendiri. Semua kejadian sampai saat ini adalah takdir misterius, mengikatku pada kehidupan dan kematian yang tak dapat terurai lewat pemahaman. Kehidupan dan kematian adalah rahasia yang akan nyata pada waktunya. "Ayo makan!" ajakku.
Gadis bisu itu mengepalkan kedua tangannya. Kemudian menjabat tanganku dan Nina, hingga akhirnya kami semua saling berpegangan melingkar. Kegelapan bersama cahaya menari mengelilingi, membuat keindahan dari dua hal berbeda. Saat itu aku merasakan detak jantung Lyla yang kuat. Menyalur melintasi jemari lembutnya hingga ke jantungku. Aku seketika merasa berada di tempat yang berbeda, terpaan ombak pantai seolah memeluk diriku. Seakan-akan kedua telapak kakiku merasakan butiran pasir halus, menempel di sela-sela jemari kaki saat aku menginjaknya.
Kegelapan dan cahaya itu berpadu, menyamarkan pandangan beberapa saat. Hingga seketika semua bangkai itu, berubah menjadi makanan. Kepala babi yang sempurna dengan warna kecokelatan indah, dan berbagai potongan daging panggang berbau nikmat. Aku mencoba menyentuhnya, mengigit kecil di suatu sisi. Aku merasakan lemak tercampur beberapa bumbu, yang meresap begitu dalam di tiap serat dagingnya. Membuat hasratku seketika menggebu untuk segera menyantapnya. Kami semua makan, tanpa sedikit pun merasakan bangkai yang sebenarnya di dalam.
***
Seusai makan malam. Lyla dan Intan langsung beristirahat di sebuah peti besar yang berdekatan dengan perapian. Aku menatap ke arah luar jendela kaca. Sesuatu seperti bulan bercahaya di kejauhan, menyororti kegelapan sungai. Biasanya suara katak terdengar, meramaikan malam meski bersembunyi di sela bebatuan. Tapi hanya ada derasnya air menganyutkan kepekatan, turun menuju hilir. "Sekilas langit lebih baik di malam hari, bukan? pusaran angin menghilang, menyisakan kekosongan langit yang luas." Ujar Nina.
"Apa yang bercahaya itu bulan?" tanyaku.
Nina menggeleng, "Konon itu gerbang para malaikat! Tapi itu sangat-sangat jauh. Melintasi banyak tanah para monster dan satan."
"Bukankah tanah para malaikat di atas sana?" jari dan mataku mengarah pada langit-langit.
Gadis itu sejenak terdiam dengan senyuman tipis. Kemudian mengeluarkan sebuah belati kecil dari sebalik gaunnya. Dia memberikannya padaku, sambil menunjukan kilauan mata pisau. "Tidak ada tahu, kecuali seseorang mulai berani mencari tahu. Apa kamu tahu kekuatanmu?" gadis itu duduk beriringan denganku, ikut memandang cahaya di kejauhan.
"Apakah semua roh punya kekuatan?"
"Tentu," Nina menyentuh sebuah lilin, mengalirkan api ke jemarinya. "Kekuatan ini dapat melindungi roh, atau menguasai roh. Kita hanya harus belajar mengendalikannya. Apakah kamu merasakan sesuatu yeng berbeda saat pertama kali di tempat ini?"
***