Chereads / PRETAS / Chapter 3 - 2

Chapter 3 - 2

Tempat ini sangat mengerikan. Sebuah reruntuhan kastel pencakar langit bernaung pada pusaran angin kencang di bawah kegelapan langit yang pekat. Kepulan asap hitam mulai bergerak menjadi angin-angin kuat yang mampu menggiring bebatuan tajam tepat melingkari pucak kastel tertinggi. Dan hembusan udara dingin mulai turun menelusuri pemukiman kumuh dengan bau busuk bangkai yang amat menyengat. Sesekali cahaya dari tanah-tanah para malaikat menyelinap di antara celah-celah pusaran angin. Aku dapat merasakan lahar panas mulai membakar hingga ke tulang betisku, yang diam-diam menjamah dari retakan tanah tandus sejauh mata memandang.

Gerombolan burung mendekat dari arah kejauhan, menatap tajam ke arah sebuah gunung di seberang perbatasan. Mereka terbang mengitari pemukiman yang berselimut kegelapan, mencoba menghindari hembusan kuat angin dan bebatuan tajamnya. Tempat ini nampak terkutuk dengan segala sesuatu di dalamnya, juga di luarnya. Banyak rumah lebih hancur dan hangus menuju ke gerbang, tembok tinggi yang melindungi kastel juga nyaris kehilangan separuh bagiannya. Juga serpihan gerabah sepanjang perjalanan begitu berceceran terisi abu bekas pembakaran. Suasana seperti sebuah pemakaman luas yang porak-poranda berlingkup sihir kematian.

Kami berjalan mengikuti kumpulan yang telah lebih dulu sampai di gerbang. Beberapa jauh lebih aneh dengan perut balon besar, nyaris menyentuh tanah. Tatapan mereka kosong, mulut menganga berliur, dan leher hanya sebesar jarum jahit. Aku tidak menganggap itu menyeramkan saat melihat mayat-mayat hidup penuh rasa lapar itu mulai melewati jembatan dengan sempoyongan. Melaikan rasa jijik ketika mereka mulai lapar dan memakan tulang jemari mereka sendiri sembari terus berjalan. Mereka melakukan regenerasi sangat cepat untuk menumbuhkan jari-jarinya seperti semula meskipun tanpa kesadaran yang pasti. Seolah kekal abadi.

Cahaya mulai terus terjaga, dengan sinar terang yang merambat menghangatkan tubuhku perlahan. Jemari kecilnya mengikat kuat pergelanganku sepanjang jembatan gantung tanpa pengaman di kedua sisinya, sambil berbisik lembut menyuruhku tetap sadar. Langkahku kaku menjejaki tiap papan-papan usang yang dikelilingi hembusan angin kencang, dan kegelapan di alas jurang menyeru namaku. Kupejamkan mata sembari menahan dorongan udara dingin yang menjatuhkan, jerit roh-roh tergelincir ke dasar kepekatan, atau segala hal buruk sejauh jembatan kematian ini menghantarku. Tubuhku mulai membeku di tengah perjalanan, nyaris-nyaris tak kuasa mengangkat langkah penuh gemetar. Gadis itu berdengih, "Tetap sadar!"

Kami sampai di tepian jurang, hamparan tanah kosong dengan banyak bukit dan gunung hitam melingkarinya. Gadis itu tetap menggandengku, melanjutkan ceritanya mengenai tempat ini. Semakin dekat bukit itu ternyata hanya gundukan bangkai raksasa, timbunan binatang-binatang busuk yang menghitam. Semua makanan sampah ini akan terus terisi dari sumbangan dosa-dosa manusia di alam baka, untuk memuaskan jiwa-jiwa kosong yang tidak henti-hentinya kelaparan. Beberapa burung tadi betengger di puncak bukit bersiap untuk menerkam, memandangi penuh nafsu roh-roh kelaparan yang sedang makan. Mereka akan bergerak secepat cahaya menikam roh berperut sebesar gajah dewasa yang mulai gagal untuk bergerak, lalai lalu terjatuh di kubangan kotoran.

"Aku harap kau akan ikut aku," Irene terhenti, berdekatan dengan kerumunan roh di depan kami. Perlahan ia melepas lenganku, melangkah masuk ke kerumunan yang nampak sepertinya. Sesaat kudapati wajahnya berubah berlumur kesedihan yang tak dapat aku jelajahi, sampai ia berpaling membuang wajahku dari matanya. Seseorang mendekap, lalu membawanya jauh dariku. "Makanlah!"

"Kau akan meninggalkanku?" aku berteriak, tanpa mampu memahami kata dan maksudnya saat itu. Tapi ia tidak berbalik, berhenti atau mengacuhkanku. Ia seperti orang lain detik itu, menjadi asing begitu cepat. Waktu bergerak lambat saat rasanya aku ingin menangis sendirian dan ketakutan. Sepertinya ia telah menyelesaikan tugasnya untuk mengantarku ke tempat ini. Aku ingin mengejar, tapi aku tidak mampu untuk kembali mempertanyakan mengapa ia melakukan ini padaku. Bahkan matanya nampak bohong untuk tak meninggalkanku, memprediksi bahwa ia akan menjadi teman yang baik adalah kesalahan besar. Aku putuskan untuk hanya diam.

Aku butuh waktu beberapa saat untuk menerima kesendirian ini. Mencoba untuk tidak membayangkan bagaimana aku akan terjebak oleh rutinitas roh kelaparan, hingga burung-burung raksasa itu mulai mengunyah perutku. Aku mencoba mengambil sebuah kepala babi busuk dengan belatung memenuhi hidungnya. Bau menyengat kuat yang membuatku mual, juga jijik. Ini tidak membangkitkan selera, atau layak untuk aku kunyah sampai hari kiamat. Aku nyaris melemparnya kembali ke gundukan, hingga seseorang menahan lenganku. "Kau mau memakannya?" tanyanya.

Dia tersenyum. Gadis rambut kusut itu tiba-tiba muncul dengan membawa karung besar di pundaknya. Aku mengangguk perlahan, sambil merasa bingung. Ia nampak berbeda dengan sesuatu yang bercahaya di keningnya, dan kulit gelap eksotis sempurna tanpa luka. Gadis itu mengambil kepala babi dari genggamanku lalu melemparnya ke udara, melesat cepat masuk ke karung goninya. Kupikir ia tidak cukup puas ketika karungnya buncit jauh melebihi tubuhnya, dia menarik dada lembu utuh yang terjepit di antara tumpukan bangkai. "Kau mau makan malam bersama?" Ajaknya. Logam di dahinya berkilau tiap kali ia bergerak, lalu terjatuh memeluki daging besar di antara kedua tangannya.

"Kau siapa?" tanyaku. Aku belum bisa menjawab tawarannya, bahkan jika itu sebuah isyarat. Di dalam matanya, ia dirundung kegelapan bertabur ketakutan luar biasa yang mengunci jiwanya. Serpihan bebatuan permata belum bisa menerangi ketakutannya yang pekat menenggelamkan. Ia nampak seperti Irene, keriangan palsu menjadi topeng besar di sebalik kegelapan jiwa. "Apa kau roh?" aku kembali bertanya dengan kegugupan.

Gadis itu bangkit, menyelipkan dada sapi di dalam karung besarnya. Karung itu tidak berubah dan sama besar seperti sebelumnya. Entah apa yang telah ia isi di dalamnya, namun itu terlihat cukup berat untuk ditopang oleh tubuh kecil bertulangnya. "Sepertimu," jawabnya singkat. "Lyla." Tambahnya. Perlahan ia mengulurkan salam perkenalan.

Aku mencoba menjabat tulang-tulang mungilnya, "Alda." Namun pegangan itu tidak ia lepaskan, justru menggandeng erat mengajakku pergi. Ia membawaku berkeliling di antara gundukan dan roh kelaparan, bercerita mengenai hal lucu semasa hidupnya. Aku mencoba beberapa kali menawarkan diri untuk bergantian memanggul karungnya, tapi ia terus bersikeras menolak. Bahkan ia mencoba mendekapku kuat-kuat di hadapan beberapa roh yang nampak menunggu kami sebelumnya. Mereka tersenyum sembari memegangi karung besar di pundaknya. "Kalian siapa?" seruku.

"Aku Nina," seseorang dengan lengan panjang dan rambut merah bergelombang memperkenalkan diri. Dia mencoba menyentuh tanganku dengan riang, menyalami dari kejauhan. "Ini temanku, Intan. Dia bisu, baik, dan manis." Gadis itu menunjuk seseorang begitu lugu, berlidah panjang seperti ular.

Aku tersenyum. Mereka begitu unik dengan segala sesuatu di dalam diri masing-masing. Tiap-tiap mata mereka, kudapati sedang tersenyum sambil mengikat seseorang dengan gaun sutra. Gadis gaun sutra itu nampak tak asing dan mengamuk sekuat tenaga melepas rantai yang melilitinya. Aku begitu terkejut dan berteriak, "Mengapa kalian merantai Irene?" tatapan mereka berbalik bingung padaku.