Ananta yang terbangun pun langsung menghambur ke pelukan Alex. Air mata yang sedari tadi kering, lantas kembali terjatuh dan membasahi jas mahal milik Alex. Pria tampan itu mengusap kepala putrinya dengan lembut, dan menghadiahi kecupan di kening.
"Ada apa dengan lututmu! Apa dia yang menyakitimu?" tuduh Alex sembari menatap dingin ke arah pria yang jauh lebih tua darinya itu.
"Om itu orang baik, Daddy, dia yang sudah membawa Athalla ke rumah sakit, kalau tidak ada om baik, mungkin kami berdua sudah mati," jelas Ananta.
"Tunggu di sini!" titah Alex. Ia bangkit dan mendekati pria baik tadi, lantas menyerahkan sebuah ATM padanya.
"Ambil dan pergilah dari sini! Satu lagi, hapus foto putriku dari ponsel burukmu. Jangan pernah menunjukkan dirimu lagi setelah ini, atau kau akan menyesal," ucapnya tegas. Seolah tahu pria itu akan menolak, ia kembali angkat suara.
"Jangan sombong, kau hanya orang miskin!"
Ternyata, seperti ini tabiat Alex, salah satu orang yang ia segani memiliki tabiat yang buruk. Akhirnya, pria tadi menerima kartu tadi, tentu saja tanpa bersentuhan kulit dengan Alex, pria tampan yang angkuh itu langsung menyuruhnya menuliskan pin ATM, kemudian mengatakan jika di dalam kartu itu ada uang 100 juta, terserah akan digunakan untuk apa. Setelah menerima itu, ia langsung pamit pergi, tapi Ana langsung tersenyum seraya melambai ke arahnya, membuat bapak tadi turut tersenyum.
Tapi Alex si egois, langsung memalingkan wajah putrinya, seolah Ana akan kehilangan martabatnya hanya karena melempar senyum kepada orang dengan kasta rendah.
"Apa yang terjadi dengan Athalla?" tanyanya lagi.
Ananta langsung saja menceritakan kejadian yang sebenarnya tanpa sisa, membuat hati Alex mencelus. Bagaimana mungkin, salah satu putrinya bisa mengalami nasib sial seperti ini. Membuat Alex akhirnya menyadari jika putri yang harus ia sayangi hanya Ananta, bukan Athalla yang terluka.
Pintu ruangan terbuka, seorang dokter berseragam putih dengan stetoskop di lehernya itu keluar dengan tampang penuh hormat, juga sedih.
"Bagaimana keadaan putri saya?"
"Dengan berat hati saya mengatakan, jika putri Tuan mengalami kebutaan. Ada beberapa saraf di bagian mata yang terputus, membuat fungsi mata menjadi lemah, tusukannya juga terlalu dalam, bahkan ada puing kayu yang tertancap di matanya. Tapi, sudah saya keluarkan."
Kabar buruk. Apa kata dunia jika Ezra Alexander Van Lucas ini memiliki salah satu putri yang cacat. Sisi iblisnya berbisik, jika ia harus mengabaikan Athalla. Ia tak sudi jika membawa Athalla yang sudah buta ke mana-mana.
"Apa bisa dioperasi?"
"Bisa. Dia membutuhkan donor mata dengan warna kornea yang sama," timpal dokter tadi. Alexandre tahu betul, jika kornea serupa Athalla langka adanya, bahkan Ananta tak memiliki warna mata seindah Athalla. Tapi tak masalah, setidaknya Ana tak cacat seperti Athalla. Karena tak ingin ambil pusing, Alex memilih abai, dan membatalkan operasi dengan alasan sulit mencari donor mata yang dibutuhkan.
"Apa dia sudah boleh pulang?"
"Tentu saja, Tuan."
"Baik, bawa dia ke mobil sekarang!"
Dokter tadi langsung saja hendak menyentuh Athalla, tapi Alex kembali berseru dengan suara dinginnya.
"Tetap pakai kaus tanganmu dan jangan menyentuh kulitnya!" Dokter tadi terlihat patuh. Athalla yang belum sadar, dibawa ke mobil dengan menggunakan kursi roda. Terlalu kejam memang, tapi itu kenyataannya. Bahkan Alex sendiri enggan menyentuh Athalla lagi seperti dulu. Ia hanya sibuk menggendong Ana ke mobil, dan mendudukkannya di kursi samping kemudi.
Athalla dibaringkan di kursi belakang, beruntung ada kasur yang selalu siap sedia di dalam mobil. Jadi, itu tak akan mengganggu istirahat Athalla.
"Daddy, mengapa tak menggendong kakak?" tanya Ana polos.
"Daddy tak mungkin menggendong kalian sekaligus kan?" sahutnya beralasan.
"Daddy lelah?"
"Hem, sedikit. Sudah, sebaiknya nikmati perjalanan kita. Kau bisa mengamati alam dari kaca mobil," ujar Alex mengalihkan pembicaraan. Ana langsung mengangguk antusias, sepanjang jalan juga menghitung pepohonan tinggi menjulang yang berdiri kokoh di pinggir jalan. Hanya beberapa, karena mereka ada di kota besar.
Di rumah, Alex langsung menyuruh beberapa asisten rumah tangga untuk membawa Athalla ke dalam, tentunya tanpa menyentuh kulit, sebab mereka semua diperintahkan untuk mengenakan sarung tangan.
"Di mana istriku?"
"Di halaman belakang, Tuanku."
Tanpa menjawab lagi, ia langsung bergegas ke halaman belakang, dan mendapati Annabeth tengah melukis. Ya, istrinya memang pandai melukis. Alex langsung mendekat dan memeluk sang istri dari belakang.
"Kau mengagetkanku, Sayang." Annabeth menghentikan kegiatannya, lantas berdiri dan berbalik memeluk Alex dengan lembut. Tutur katanya sangat santun, bahkan terdengar berwibawa. Mungkin karena ia dari kalangan darah biru, itu sebabnya cara ia berbicara, berjalan, berpakaian, caranya menyantap hidangan, juga sangat anggun, khas putri raja.
Itu juga yang selalu ia tekankan pada kedua putri kembarnya. Ia ingin salah satu dari mereka menggantikan posisinya di istana. Tapi, tentu saja harus menjalani seleksi yang ketat, selain paras yang menawan, juga harus memiliki otak yang cerdas, keahlian dalam melukis, atau menjahit, juga kebiasaan-kebiasaan khas tuan putri yang lain.
"Putri kita terluka," ujar Alex kemudian setelah mengurai pelukannya.
"Yang mana?" tanya Anna lembut.
"Keduanya. Tapi, ada kabar buruk." Annabeth masih setia mendengarkan kelanjutannya, Alex juga menatap dalam wajah Annabeth.
"Athalla mengalami kebutaan."
Seketika Annabeth menunjukkan ekspresi cemasnya. Ibu mana yang menginginkan anaknya celaka.
"Apa yang sudah terjadi pada mereka?"
Alex langsung menjelaskan semuanya, sesuai yang diceritakan Ananta tadi di rumah sakit. Annabeth lantas menutup mulut dengan sebelah tangannya. Netranya juga mengembun, dengan langkah perlahan ia berjalan ke arah kamar Athalla. Khawatir jika putrinya sadar, maka gadis kecil itu akan terjatuh karena tak terbiasa dengan kegelapan.
Tapi, baru saja ia menginjak tangga, suara tangisan Athalla sudah terdengar dari dalam sana.
"Mami, Daddy, mengapa kamarku gelap? Tolong hidup kan sakelarnya atau aku akan tersandung," teriaknya disertai tangisan. Yah, ia takut kegelapan. Tangisan dan kalimat yang terlontar dari bibir Athalla membuat hati Annabeth miris, bagaimana jika Athalla tahu bahwa ia buta, mungkin tangisannya akan terdengar lebih menyayat dari ini.
Ia langsung membuka pintu kamar Athalla, kemudian memeluk putrinya dengan erat, tentu saja wanita itu menangis melihat keadaan putrinya.
"Mami, kaukah ini?"
"Iya, Sayang. Mami di sini," balasnya lembut.
"Mengapa listrik di kamarku mati? Aku takut kegelapan. Bisakah mami membantuku untuk menerangi kamar ini?"
"Tenang, Sayang! Mami di sini."
"Aku tahu mami di sini, tapi tak mungkin kita akan terus-menerus berada di ruangan gelap kan, Mi?"
"Sebenarnya, bukan ruangan ini yang gelap, tapi kau mengalami kebutaan."
Deg!
"Apa yang mami katakan? Ini hanya lelucon kan, Mi?"