Kejadian di taman kembali terputar, membuat Athalla tersadar jika matanya memang telah buta. Dan pelakunya adalah dua anak lelaki asing itu, di mana mereka sekarang, mereka harus bertanggung jawab atas apa yang sudah menimpa dirinya.
"Mami, Atha ngga mau buta!" pekiknya. Annabeth mengeratkan pelukannya dengan mata yang semakin basah.
Lagi pula siapa yang menginginkan ini, tidak ada yang mendambakan kebutaan, terlebih di usia sekecil ini. Tak bisa Anna bayangkan betapa sakit mata putrinya ketika ditusuk ranting. Terlebih ketika mengetahui kedua matanya tak lagi bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Dan itu semua Atha lakukan demi melindungi Ananta, saudara kembarnya.
"Tenang, Sayang! Mami dan Daddy akan berusaha untuk menyembuhkan matamu lagi." Bahkan kalimat penenang yang diucapkan Annabeth saja tak mampu membuat Athalla diam, tangisnya pun tak kunjung mereda, membuat hati ibu muda itu tersayat nyeri. Ibu mana yang menginginkan anaknya celaka, tentu saja tak ada bukan.
Suara ketukan sekali di pintu, membuat Annabeth menoleh. Ia tahu siapa yang terbiasa mengetuk pintu hanya dengan sekali ketukan.
"Ada apa?" tanya Annabeth yang matanya telah basah karena air mata.
"Aku ingin bicara," ujar Alex datar.
"Tapi aku masih harus menemani Athalla," balasnya lembut
"Ini bahkan lebih penting daripada anak cacat itu."
Kalimat yang terlontar baru saja, membuat Annabeth membola tak percaya. Bagaimana mungkin Alex tega menghina putrinya sendiri. Urusan sepenting apa, hingga mengharuskannya meninggalkan Athalla, yang masih menangis pilu karena kenyataan pahit yang baru saja ia terima, apa ada yang lebih penting dari pada darah daging?
"Urusan apa yang lebih penting dari putriku?" Kali ini intonasi suaranya terdengar dingin, membuat Alex mengeluarkan napas berat. Ia tahu, Anna mungkin saja tak terima ketika ia menghardik putrinya sendiri.
"Kau tahu aku tak suka mengulang kalimat, atau bahkan menjelaskannya secara rinci. Itu hanya membuang waktuku, bahkan saat ini kau sudah membuang waktuku 30 detik," ujarnya.
"Tapi ..."
"Aku tunggu di ruang kerja," ucap Alex lagi memotong pembicaraan Annabeth. Ia berlalu begitu saja tanpa menunggu kelanjutan kata istrinya.
Mengetahui jika orang tuanya bertengkar, untuk yang pertama kalinya, membuat tangis Atha berhenti. Ia mulai berpikir jika saat ini, dirinya sudah menjadi beban dan bumerang bagi kedua orang tuanya.
"Pergilah, Mi! Tidak ada yang lebih penting dari urusan papa, termasuk diriku." Mereka tak tahu, jika batinnya jauh lebih sakit ketika Alex menghardiknya, bahkan mengatakan ia tak penting. Kondisinya yang parah sangat tak penting di matanya, menganggap itu hal biasa, apa karena Alex tak mengalami penderitaan yang dirasakan Atha, jadi pria itu berkata seenaknya.
"Tidak ada yang lebih penting dari putri mami." Annabeth mengusap kepala Atha perlahan, tapi dengan lembut Atha meraih tangan Anna kemudian mengusapnya.
"Pergilah! Atha juga ingin beristirahat," bujuknya lagi.
"Kau yakin?"
"Tentu."
Dengan berat hati, Annabeth berlalu meninggalkan putrinya. Setelah yakin jika Annabeth sudah benar-benar pergi, tangis yang tertunda tadi kembali ia lanjutkan. Tapi kali ini, ia berusaha menangis tanpa suara, benar-benar tanpa suara. Lagi pula ia sadar, jika ia menjerit, tak akan mengembalikan penglihatannya.
Semuanya benar-benar gelap, meski sejatinya ia takut pada kegelapan, tapi ia sadar gelap yang satu ini akan bertahan dan menetap untuk waktu yang lama, akan sangat sulit untuk menikmati keindahan alam melalui sepasang mata yang tak lagi mampu melihat warna yang lain, selain kegelapan.
**
Annabeth melangkah dengan elegan menuju ruang kerja, sementara Alex mungkin sudah menunggunya sembari menghadap ke arah jendela.
"Ada waktuku yang terbuang karena menunggumu," tegur Alex tanpa berbalik tentunya.
Annabeth hanya diam, dan memilih untuk berdiri saja di belakang Alex. Pria itu mulai berbalik dan menatap dalam sepasang mata istrinya.
"Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting," lanjutnya.
"Aku tahu," sambar Annabeth.
"Kondisi Athalla sudah memburuk, jadi aku berpikir untuk menyekolahkannya ke sekolah khusus anak-anak cacat." Mata Annabeth membulat, keputusan macam apa ini? Ia tak terima.
"Dia istimewa, bukan cacat."
"Baiklah terserah. Tapi keputusanku sudah bulat, dia harus disekolahkan di sekolah itu."
"Lalu Ananta?"
"Tentu saja putriku yang satu itu akan bersekolah di sekolah yang paling mahal dan berakreditasi, unggul, dan tentunya yang paling terbaik di kota ini."
PRANGGG!!!
Suara gelas pecah yang dibanting dengan sengaja itu sedikit mengejutkan Alex. Istrinya tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya, semarah itukah Annabeth? Ia tak terima dengan keputusan yang ia tahu berat sebelah ini.
"Annabeth, apa yang kau lakukan? Seperti inikah sikap putri bangsawan?"
"Keputusan gilamu yang membuat sisi keibuanku bangkit dan marah, suamiku. Ini tidak adil untuk Athalla."
"Apanya yang tidak adil? Jika dia disekolahkan di tempat yang sama dengan Ananta, mau ditaruh di mana wajahku, harga diri dan nama baikku akan tercoreng karena memiliki anak yang cacat."
"Jangan lupa jika kondisinya saat ini adalah tanggung jawab Ananta, jika saja Atha tak melindungi Ananta, pasti ia masih memiliki mata yang normal, sementara Ananta yang akan mengalami kebutaan."
"Annabeth!" geramnya tapi tak mampu angkat tangan pada istrinya.
"Jika kau terus seperti ini, jangan salahkan aku, jika aku pergi dari sini dan membawa Athalla ke istana," ancam Annabeth sebelum akhirnya memilih berlalu.
Setelah kepergian Annabeth, Alex frustrasi lantas meninju dinding. Ia langsung menyalahkan Athalla yang sudah menjadi penyebab pertengkaran mereka. Jika saja anak itu tak cacat, mungkin mereka tak akan ribut seperti ini.
"Daddy?" panggil Ananta sembari berlari kecil dan memeluk Alex dengan erat, air matanya juga turut tumpah di sana. Melihat putri kesayangannya menangis, membuat Alex berlutut dan menyejajarkan tubuhnya dengan Ananta, sembari menangkup pipi gembul gadis kecil itu dengan kedua tangannya.
"Ada apa, Sayang? Siapa yang membuatmu menangis? Apa pembantu sialan di bawah sana yang mengusikmu?" Ananta menggeleng, tapi tangisannya tak berhenti.
"Daddy jangan seperti itu! Ananta ngga suka," ucapnya dengan isak kecil.
"Ya sudah, kalau Daddy salah, Daddy minta maaf, ya."
"Minta maaf aja ngga cukup, Daddy." Alex menatap lembut ke arah Ananta, sangat jauh berbeda dengan cara ia menatap Athalla.
"Katakan, apa yang harus Daddy lakukan biar putri Daddy menghentikan tangisnya!"
"Tapi, Daddy harus janji dulu!"
"Ya, baiklah." Alex tersenyum, lantas menautkan kelingkingnya dengan kelingking Ananta.
"Ananta mau minta sesuatu," ucapnya. Alex menunggu kelanjutan kalimat dari Ananta dengan sabar, hingga ...
"Ana mau kak Athalla sekolah di tempat yang sama dengan Ana."
Apa-apaan ini? Apa Ananta sudah mendengar perdebatan kecil ia dan istrinya tadi. Tapi, kenapa harus meminta itu, bukankah ini pilihan yang sulit, ini menyangkut nama baiknya.