Alex kaku, ia tak tahu harus memberi jawaban seperti apa pada putrinya ini. Permintaan Annabeth saja ia tolak mentah-mentah, dan sekarang putrinya yang datang meminta sendiri.
"Daddy ngga boleh gitu, kak Atha buta juga karena Ananta."
Rentetan kalimat yang dilontarkan Ananta masih membuatnya bungkam. Ia belum siap jika banyak orang yang mengetahui jika Athalla adalah putrinya. Ia terlalu mementingkan martabat dan harga dirinya di depan umum, sebagai salah satu pengusaha paling berkuasa, sekaligus menantu satu-satunya dari raja Edward Kiels Van Dick. Tapi, sebelumnya ia tak pernah mengecewakan sang putri dalam hal apa pun, apakah ia akan membuat gadis cantik itu kecewa kali ini?
"Ngga bisa, Athalla ngga akan bisa membaca jika memiliki mata seperti itu. Jadi, dia sudah seharusnya bersekolah di sekolah khusus, dan pastinya tidak akan bisa menempati sekolah yang sama dengan Ananta. Ngerti kan, Sayang?"
Ananta terlihat berpikir sejenak. Tapi, gadis itu sepertinya memang keras kepala.
"Kalau kak Atha ngga bareng sama Ana, Ana ngga mau sekolah," putusnya kemudian. Membuat Alex seolah merasa jika kepalanya sebentar lagi akan meledak. Ia harus bagaimana, tak mungkin ia membentak anaknya sendiri, ia tak pernah melakukan ini sebelumnya.
"Sayang, kau harus mengerti!"
"Ana ngga mau sekolah kalau ngga sama kakak," ujarnya lagi tanpa peduli pada Alex. Setelah mengatakan itu, ia berlari keluar begitu saja dengan wajahnya yang marah. Ya, ia memang kurang mampu mengendalikan amarah di usia sekecil ini. Alex mengerang frustrasi lantas melempar beberapa berkas yang ada di meja hingga berserakan ke lantai.
"Ini semua gara-gara si cacat itu," keluhnya sembari mengusap kasar wajahnya.
Dari awal kelahiran Athalla, Alex memang sudah tak menyukainya. Ia beranggapan jika warna mata biru yang ada di sepasang mata Athalla adalah hal yang tak wajar, karena ia memiliki mata cokelat, maka keturunannya juga harus memiliki warna mata yang sama. Bahkan Annabeth saja memiliki warna mata cokelat, begitu pun dengan Ananta. Hanya Athalla saja berbeda.
"Aku harus memberi anak itu pelajaran."
Alex melangkah pasti menuju kamar Athalla. Baru saja hendak mengetuk pintu, suara Annabeth melarangnya untuk masuk. Wanita cantik itu memberi tatapan dingin ke arah suaminya, hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya kini ia lakukan.
"Jangan mengusiknya!" pintanya datar.
"Dia putriku," balas Alex seolah menjelaskan, bahwa ia juga berhak menemui Athalla tanpa harus meminta izin pada siapa pun, bahkan jika itu istrinya sendiri.
"Benarkah?"
"Annabeth, sudahlah jangan menghambat urusanku!" Annabeth tersenyum tipis, tapi tatapannya tak lepas dari Alex.
"Wah suamiku. Sejak kapan istrimu menjadi penghambat? Bukankah kau selalu mengatakan jika aku adalah wanita sempurna, yang menjadi alasan kau sukses dan membuat kau terkenal se-Asia tenggara ini?"
"Cukup, Annabeth! Aku tak ingin berdebat sekarang. Sebaiknya kau pergi dari sini, karena aku ingin menemui Athalla."
"Kau mengusirku dari rumahku sendiri? Dengar! Athalla sedang istirahat. Tak mudah membuatnya tenang, kau hanya seorang ayah yang tak pernah sibuk mendiamkan anak-anakmu, kau selalu mengandalkan baby sitter dalam segala hal. Sekarang katakan! Apa makanan kesukaan Athalla?"
Pertanyaan macam apa ini? Sungguh menjebak. Mana mungkin ia tahu, selama ini ia hanya sibuk dengan urusan bisnis dan memperluas namanya saja.
"Mengapa kau bertanya tentang hal bodoh seperti ini? Aku tak tahu, ada yang lebih penting daripada menghafal apa yang Athalla sukai," pungkasnya lagi.
"Baiklah, karena kau tak terlalu peduli pada Athalla, sekarang aku tanya, apa makanan kesukaan Ananta?" tanyanya lagi. Alex bungkam, ia bahkan tak tahu segalanya.
"Ini menunjukkan jika kau memang tak terlalu peduli pada mereka, kau hanya peduli pada nama baik, kehormatan, martabat, bisnis, dan namamu yang kau sebarluaskan. Kau hanya peduli pada diri sendiri. Sudahlah, jangan mengusik Athalla untuk saat ini, kau bahkan tak menyayanginya, lantas untuk apa menemui Athalla."
"Aku ingin memberinya pelajaran," putus Alex.
"Apa kesalahannya?" Annabeth balik bertanya.
"Dia yang sudah membuat kita bertengkar, bahkan sekarang Ananta membenciku dan itu semua gara-gara Athalla," terangnya tanpa rasa bersalah.
"Apa? Lelucon macam apa ini, suamiku?"
"Annabeth, aku ..."
"Cukup! Alasanmu tak masuk akal. Dia sedang terpuruk dan kau ingin memperkeruh keadaan dengan menyalahkannya atas kesalahan yang tak ia perbuat. Sudahlah, jangan mencari kambing hitam dari keegoisanmu sendiri!"
Annabeth lantas berpindah, dan berdiri tepat di depan pintu kamar Athalla. Membuat Alex kesulitan untuk sekedar meraih kenop pintu. Akhirnya, ia tak punya pilihan lain, dan terpaksa harus pergi dari sana. Ia tak pernah terlibat konflik apa pun dengan istrinya seperti ini, jadi daripada diperpanjang, ada baiknya ia mengalah untuk sementara, lain kali ia akan memberi anak cacatnya pelajaran, dan tentunya tanpa sepengetahuan Annabeth.
Mereka tak sadar, jika sedari tadi Athalla mendengar semuanya. Kini ia hanya bisa meringkuk di kasur, lantas menutup mulutnya agar tangisannya tak terdengar. Mengapa ia mengalami nasib sial seperti ini. Apa benar yang dikatakan Alex, jika ia adalah penyebab konflik di rumah ini. Ia harus ke mana sekarang, sementara sepasang matanya hanya bisa melihat warna hitam pekat.
"Aku juga tak menginginkan ini, Daddy. Athalla tak ingin kalian bertengkar, Athalla tak meminta untuk menjadi buta, bukan inginku menjadi buta, Atha ingin hidup normal dan memiliki penglihatan yang sama seperti orang-orang, Atha tak ingin menyusahkan mami dan Daddy."
Bisiknya dengan nada tertahan. Ia tak tahu harus apa sekarang. Andai saja mereka tak main di taman itu, yah sepertinya kalimat andai itu akan terus menghantui di akhir, setelah celaka menimpa.
Kini pintu kamarnya kembali diketuk, padahal ia benar-benar tak ingin diganggu siapa pun sekarang.
"Jangan usik Atha, Mi!" teriaknya agar terdengar sampai ke luar.
"Ini aku, Kak."
Itu Ananta, untuk apa ia menemui Athalla setelah semua yang sudah terjadi hari ini. Atha tak menjawab, tapi Ananta malah langsung masuk, tentunya ia sudah mendapatkan izin dari Annabeth. Wanita cantik itu memilih untuk mengamati dari pintu, menyaksikan kedua putrinya yang memiliki wajah serupa itu untuk berkomunikasi.
Sepasang tangan Ananta menyentuh tangan Athalla, bahkan ia mengusap air mata itu.
"Kak, jangan nangis! Ananta di sini, Ana ngga bakal ninggalin kakak apa pun alasannya," ucapnya kemudian.
"Pergi, Ana!"
"Kak?" panggil Ananta sedih.
"Aku bilang pergi dari sini! Jangan mengusikku apalagi memberi perhatian palsu. Kau tahu, ini semua gara-gara dirimu, jika tak melindungimu waktu itu, aku tak akan buta seperti ini. Kau yang harus bertanggung jawab atas apa yang sudah menimpaku."
"Aku minta maaf, Kak."
"Sayangnya kata maaf itu tak mampu mengembalikan penglihatanku, Ana!" jeritnya dengan tangis yang semula ia tahan sekuat tenaga.
"Pergi dari sini, pergi!"