"Mami!"
Annabeth menghentikan aktivitasnya, kemudian menoleh ke belakang. Ia lantas memerintahkan Mawar untuk meninggalkan mereka berdua saja. Setelah pelayannya berlalu, Annabeth mendekat, pantas meraih tangan kecil Athalla.
"Apa mami mengganggu tidurmu?" tanya Annabeth lembut.
Bukannya menjawab, Athalla malah berusaha menggapai wajah Annabeth, dan tebakannya benar. Wanita itu sempat menangis, terbukti dengan permukaan wajahnya yang lembap, meski air mata itu sudah diusap sedemikian rupa.
"Apa ini karena aku?" Athalla balik bertanya dengan sendu. Annabeth menggeleng, kemudian memeluk erat putrinya. Athalla memang anak yang peka, ia mudah memahami Annabeth, melebihi Alexander.
Keduanya berpelukan cukup lama, sampai akhirnya Annabeth membujuk putrinya untuk makan. Awalnya, ia hendak menolak, tapi karena tak ingin membuat sang ibu sedih lagi, Athalla mengangguk menyetujui. Dengan binar senang, Annabeth menyuruh pelayan untuk mengantar makanan ke tempat duduk mereka saat ini.
Annabeth yang mulanya ingin menyuapi Athalla, membuatnya urung karena Athalla mengatakan jika ia ingin membiasakan diri untuk makan sendiri dengan keadaan mata buta. Lagi pula, ia tak ingin membuat dirinya semakin tak berguna karena buta. Meski awalnya sulit, tapi perlahan Athalla sudah mulai bisa melakukannya.
"Mami, ini enak sekali!" Athalla terlihat senang, jelas saja jika makanannya enak, meski Annabeth tak membuatnya sendiri, tapi ia yang mengetahui resepnya. Kalian pasti berpikir, jika makanan kesukaan Athalla sangat mahal dan langka. Tentu saja tidak!
Makanan kesukaannya hanya mie ayam dengan topping spesial buatan Annabeth. Selera makanan Athalla tentu saja berbeda dengan semua orang di keluarganya. Apa lagi Ananta yang menganggap jika mie ayam hanya makanan sampah dari kalangan rendahan. Padahal, ia tak tahu jika Alex dulunya bukan siapa-siapa, dan sering membawakan Annabeth mie ayam ketika berkunjung ke istana, hanya untuk menemui Annabeth.
Beruntung raja Edward murah hati, jadi ia tak langsung memenggal Ezra Alexander Van Lucas karena sudah lancang, juga tebal muka untuk mendekati putrinya. Ketika Edward menolak Alex, beberapa calon raja dan raja muda dari berbagai kerajaan kala itu datang meminang Annabeth, tapi wanita itu selalu punya seribu satu cara untuk menolak lamaran mereka, bahkan pernah mogok makan berhari-hari hingga ia jatuh sakit. Tentu saja raja tak tega, kemudian mengutus pengawalnya untuk mencari Ezra Alexander, hingga akhirnya mereka menikah.
Annabeth sibuk menatap putrinya yang terlihat belajar makan dengan penglihatan gelap, tak ada setitik pun cahaya yang bisa ia tangkap, tapi Athalla bukan pribadi yang mudah putus asa. Ia belajar dan terus saja berusaha meski sesekali sendok dan garpunya salah sasaran.
"Sayang, apa kau butuh bantuan?" tawar Annabeth tak tega. Tapi Athalla justru tersenyum dan menggeleng pelan.
"Tidak, Mami. Biarkan aku membiasakan diri!"
"Baiklah."
Ternyata Athalla juga keras kepala dan berpendirian tetap persis seperti dirinya. Perempuan muda itu terus saja menatap putrinya, hingga tak terasa semangkuk mie ayam itu sudah tandas berpindah ke perut Athalla, meski ada beberapa yang berjatuhan di sekitar mangkuk. Ia lantas bertepuk tangan dan menyemangati putrinya.
"Mami, Atha boleh minta sesuatu?" tanya Athalla.
"Boleh, Sayang."
"Ajarkan Athalla bermain piano!"
Annabeth berpikir sejenak, bukan berarti ia tak ingin putrinya bermain piano, tapi bagaimana mungkin gadis kecil itu mampu dengan keadaan buta seperti itu.
"Atha pasti bisa." Seolah bisa membaca pikiran Annabeth, Athalla angkat suara dan meyakinkan sang ibu jika ia bisa, dan menjadi buta bukan masalah besar. Akhirnya Annabeth mulai menuntun Athalla mendekati piano, mencoba membuat jarinya menyentuh, dan mengajarinya nada-nada yang indah. Athalla tampak bersemangat, semua kesedihan yang tergambar di wajahnya sejak kemarin mendadak hilang begitu saja.
Ia tampak menikmatinya, mengandalkan pendengaran, dan gerakan jari yang harus ia kuasai.
"Cobalah membuat dirimu menyatu dengan piano, maka kau akan mudah menciptakan nada yang lebih indah dari ini. Luapkan semua yang ada di hatimu melalui nada yang kau mainkan, maka kau akan temukan ketenangan di sana." Annabeth berujar lembut, sembari menuntun jari Athalla, dan mengenalkannya pada tombol piano.
Entah sudah berapa lama mereka menghabiskan waktu di sana, hingga suara mobil perlahan memasuki pelataran rumah yang luasnya serupa lapangan bola. Mungkin karena terlalu asik, hingga mereka tak menyadari kedatangan Alexander dan Ananta sama sekali.
Gadis kecil itu masuk sembari menggandeng tangan Alex dan berceloteh manja. Beberapa pelayan terlihat sibuk menyambut kedatangan keduanya, kecuali Annabeth dan Athalla yang tampaknya sibuk itu.
"Apa ini istriku?" Alex berujar pelan namun terkesan dingin. Sementara Ananta menatap Athalla yang masih duduk di kursi yang bersebelahan dengan Annabeth, ada tatapan tak suka dan cemburu yang terlihat jelas di sana.
Annabeth berbisik pelan di telinga Athalla, lantas mengusap kepalanya dengan lembut. Sebelum akhirnya bangkit dan berbalik menatap wajah suaminya.
"Apa aku melakukan kesalahan, suamiku?" tanyanya tenang.
"Kau bahkan tak menyambutku seperti biasa," sahut Alex sembari menatap lurus pada kedua mata cantik istrinya.
"Maafkan aku, mungkin nada piano ini terlalu indah hingga aku tak menyadari kedatangan kalian." Annabeth hanya tersenyum pada Alex, tapi malah enggan menatap wajah Ananta. Gadis kecil yang merasa perhatian Annabeth telah terbagi, membuatnya kesal dan langsung naik ke lantai atas.
"Apa yang kau lakukan bersama anak cacat itu?" tanya Alexander dengan nada tak suka. Athalla hanya diam, padahal ia mendengar semuanya. Annabeth menghembuskan napas pelan, lantas melonggarkan dasi yang mengalungi leher Alex.
"Aku tak punya waktu untuk berdebat sekarang, ada yang lebih penting dari ini," ucap Annabeth tetap tenang.
"Apa maksudmu?"
"Jangan merusak moodku!" potong Annabeth cepat. Ia sedang tak ingin diganggu dengan beberapa pertanyaan bodoh dari suaminya. Mendadak pergelangan tangannya ditarik, hingga kini ia berada tepat di pelukan Alex. Mata keduanya bertemu dan terdiam cukup lama. Tak bisa dipungkiri, meski Annabeth mengaku kesal dengan sikap suaminya yang terkesan pilih kasih, tapi jauh di lubuk hatinya, ia masih sangat mencintai Ezra Alexander.
"Jangan siksa aku begini, Anna!" pintanya berbisik. Hingga hanya mereka berdua yang mampu mendengarnya. Annabeth terdiam, apa hanya karena masalah anak-anak, mereka jadi harus saling memusuhi seperti ini.
Tak ingin terlibat kontak mata terlalu lama, Annabeth memilih untuk membuang muka dan tersenyum masam.
"Kau yang memulainya kan, suamiku."
Annabeth lantas berlalu, setelah menepis tangan Alex. Ia hanya ingin membuat Alex sadar, kalau Athalla juga putrinya, bukan hanya Ananta saja. Wanita itu kembali mendekati Athalla, lantas menyuruhnya untuk kembali ke kamar. Athalla mengangguk, dan berjalan sembari memegang pergelangan tangan Annabeth.
Ketika keduanya melewati Ezra Alexander, pria itu hanya menatap sedih pada istrinya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa seasing ini dengan wanita yang sangat ia cintai.
"Apa besok kita akan latihan lagi, Mami?" tanya Athalla sembari berbaring di kasurnya. Annabeth menutup tubuh gadis kecil itu dengan selimut, lantas tersenyum hangat.
"Tentu, Sayang."