"Nanti malam kita akan merayakan gaji pertamaku. Kau tak perlu repot-repot memasak makanan," kata Genevieve dengan gembira.
"Baiklah. Aku dan Lily akan menunggu kepulanganmu. Benar, kan, Lily?" Beatrice mengedipkan sebelah mata pada Liesel.
Gadis kecil berpipi kemerahan itu mengangguk sembari ikut mengedip. Wajah jenaka Liesel membuat tawa Genevieve pecah.
"Kau adalah permata hati Mommy. Berbahagialah selalu, Schatz." Genevieve mengelus lembut rambut Liesel.
Beatrice membuang muka. Hatinya berdesir perih. Selama ini, Beatrice menjadi saksi bagaimana Genevieve bekerja keras demi Liesel. Tak pernah sekali pun keluhan terucap dari bibir Genevieve.
Di mata Beatrice, Genevieve membungkus semua duka dengan tawa. Matanya menyorot ramah dan wajah cantiknya terus tersenyum, menandakan hati yang tulus dan tak pernah menyimpan benci.
Beatrice tak pernah mengetahui ada dendam yang tertanam di hati Genevieve, berkaitan dengan masa lalu Mellysa. Suatu kali Beatrice mencoba bertanya tentang sosok lelaki yang seharusnya mengemban tanggung jawab untuk Liesel. Namun, Genevieve hanya tersenyum getir lalu mengalihkan pembicaraan.
"Aku akan mengupayakan untuk pulang cepat hari ini. Bisakah kau menemani Lily lebih lama?" tanya Genevieve sembari mengancingkan kemeja seragam kerjanya.
"Serahkan saja padaku. Pergilah. Jangan sampai kau terlambat."
Sepanjang perjalanan menuju tempat kerja, hati Genevieve kembali dipenuhi rasa bahagia. Tanggal gajian adalah hal penting yang ditunggu, bukan? Terlebih untuk Genevieve yang selama ini hanya seorang pembuat kue lebkuchen.
Tak hanya itu, rekan sesama kasir pun sangat baik padanya. Lingkungan kerja membuatnya nyaman dan merasa diterima. Dunia barunya di tempat kerja ini terasa sangat berharga bagi Genevieve.
Ketika sampai di area parkir, mendadak langkah kaki Genevieve terhenti. Seorang perempuan cantik berkaki jenjang dengan pakaian seksi, tengah menggelayut sembari merengek pada laki-laki yang sangat tampan. Genevieve merasa seperti pernah melihat wajah laki-laki itu sebelumnya, tetapi entah di mana.
"Eh, kenapa aku harus terusik dengan adegan sepasang kekasih itu? Ah, konyol sekali!" Genevieve mengibaskan tangan pelan lalu lanjut melangkah.
Genevieve bekerja dengan penuh semangat. Sayang, dia gagal menepati janji karena pengunjung cukup ramai sampai batas jam tutup swalayan.
"Ginny, apa kau tak ingin mengganti seragam itu?" Irmina, kasir senior, mengernyit heran.
"Ah, Nona Mina, aku sudah terlambat pulang untuk merayakan hari gajian pertama ini." Genevieve meletakkan jarinya pada mesin finger print.
Irmina tersenyum. Sejak pertama kali bekerja, Irmina sudah jatuh hati pada kegigihan dan sikap sopan Genevieve. Gadis itu sangat mudah diajari dan cekatan. Belum lagi sikap ramah yang ditunjukkan Genevieve pada setiap pembeli membuat banyak pelanggan supermarket yang .
"Hati-hati di jalan Ginny. Ah, apa kau mau aku antar pulang?"
Genevieve membawa kantong belanja yang tadinya diletakkan di lantai. "Terima kasih, Nona Mina. Tapi aku tidak mau merepotkan siapa pun."
"Baiklah. Hati-hati, Sayang."
Genevieve tersenyum lalu segera berjalan terburu-buru. Adler Wirtz yang kebetulan baru keluar dari fitness center di dekat supermarket, mengernyit heran.
"Gadis itu lagi. Mengapa dia belanja malam-malam begini?"
Merasa kalau hal itu bukan urusannya, Adler hanya mengedikkan bahu. Ia berjalan menuju parkiran mobil. Tubuhnya terasa lelah dan ingin segera sampai ke rumah.
Tepat ketika Alder hendak melaju, ponselnya berdering.
"Ya, El."
Adler mengembuskan napas lelah. Ia sedang tidak ingin mendengar keluh kesah Elma atau rengekannya untuk pergi bersama ke pesta sosialitas apa pun. Ia sudah beberapa kali mengalah dan mengikuti keinginan gadis itu untuk tampil di muka umum bersamanya, dan setiap kali ia pasti menyesal.
Acara-acara seperti itu sungguh bukan hal yang ia sukai. Namun, demi Elma dan neneknya, Adler terpaksa menuruti permintaan Elma dan berusaha menjadi tunangan yang baik, tetapi kini ia sedang lelah dan tidak ingin diganggu.
Sebenarnya… ia sudah lelah dengan hubungan ini. Setelah dua tahun ia sadar bahwa ia tidak bisa mencintai Elma walaupun ia sudah berusaha.
Mungkin sudah saatnya ia bersikap jujur dan memberi tahu Elma bahwa tidak akan ada pernikahan di antara mereka.
"Hm, akan aku pikirkan nanti. Aku lelah." Tanpa menunggu jawaban Elma, panggilan itu diakhiri sepihak oleh Adler.
Di tempat lain, Genevieve masih berjalan dengan terburu-buru. Ia ingin segera pulang membawa cokelat mahal yang disukai Liesel. Saat menerima gajinya tadi, ia menyempatkan diri membeli sepotong cokelat itu untuk Liesel. Ia sudah dapat membayangkan wajah cantik gadis kecil itu dipenuh senyuman bahagia saat melihat cokelatnya.
Tanpa Genevieve sadari, ada tiga laki-laki yang mengendap-endap mendekatinya. Tepat ketika Genevieve melewati lorong yang agak sepi, ketiga lelaki itu menghadang.
"Hai, Cantik. Kenapa terburu-buru?" Seorang di antara ketiga laki-laki itu yang memiliki bekas luka memanjang di pipi menyeringai lebar saat ia berjalan mendekati Genevieve.
Genevieve mendekap erat kantong belanja di dada. Rasa takut luar biasa memenuhi otak dan hatinya ketika tiga lelaki itu mengerumuni sembari menatap penuh nafsu.
"To-tolong, jangan ganggu saya," pinta Genevieve dengan suara seperti tercekik.
Tawa jahat ketiga lelaki itu menggema di lorong sepi itu. "Kami tidak ingin mengganggu, Cantik. Kami hanya ingin berbagi kesenangan bersamamu."
Nyali Genevieve semakin menciut. Kakinya seperti tertanam ke dasar bumi. Tidak bisa digerakkan.
'Tuhan, apakah aku akan berakhir di tangan ketiga lelaki busuk ini? Tolong aku.' Genevieve memohon dalam hati. Keringat dingin segera mengaliri punggungnya dan Genevieve diserang rasa panik.
Pikirannya melayang pada Melysa yang diperkosa lelaki tidak dikenal hingga menghasilkan Liesel dan berujung pada kakaknya itu mengalami depresi berat dan akhirnya meninggal.
Apakah ia ditakdirkan untuk mengalami nasib buruk yang sama seperti kakaknya? Oh, Tuhan… tolong aku, tangis Genevieve dalam hati.
Lelaki pertama yang menyapa tanpa tahu malu menyentuh rambut Genevieve. "Ah. Kau sangat cantik."
"Tidak! Jangan! Tolong." Genevieve berteriak-teriak sekuat yang dia bisa. "TOLONG!! TOLONG SAYAA!!!"
"Hei, santai saja. Kalau kau berteriak, kami tidak akan ramah. Kau mau main kasar, hm?" Lelaki itu mendorong tubuh Genevieve hingga menyentuh tembok lorong.
Bau alkohol yang menguar tajam dari napas lelaki itu nyaris membuat Genevieve muntah. Gadis yang tengah ketakutan itu sampai memejamkan mata karena dikepung rasa takut. Tiba-tiba salah satu dari mereka, merenggut kantong belanja yang didekap oleh Genevieve.
"Tidak! Tolong. Tolong." Genevieve mengeluarkan segenap keberanian yang masih tersisa. Jantungnya berdegup semakin kencang dan dunia seolah berputar membuat sepasang kaki Genevieve kehilangan pijakan.
Tubuhnya oleng dan hampir jatuh ke tanah, namun lelaki yang pertama langsung menarik dan menyeret Genevieve sembari berkata kotor. Genevieve menjerit histeris, berusaha meminta bantuan.
"Tolong aku…"
Di saat Genevieve merasa hidupnya benar-benar akan berakhir, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang lelaki dari arah samping.
"Hei! Lepaskan gadis itu, Berengsek!"
Genevieve meringkuk ketakutan saat seorang preman yang tadi mencengkram tangannya melepaskannya. Tangisnya terdengar memilukan. Genevieve tidak melihat perkelahian sengit yang terjadi di depannya karena pikirannya dikuasai rasa panik yang membuat pandangannya menjadi gelap.
Ketiga lelaki mabuk yang tadi mengganggunya tidak mampu menghadapi sosok penolong Genevieve yang tiba-tiba muncul itu. Walaupun sendirian, ternyata ia sangat bugar, dapat menghindari pukulan dan berbagai serangan yang ditujukan ke arahnya.
Sementara tinjunya berkali-kali membalas ketiga lelaki itu hingga akhirnya mereka menyerah dan ambil langkah seribu.