Chereads / Tuan CEO, Jangan Cintai Aku! / Chapter 7 - Mengajak Genevieve Makan Siang

Chapter 7 - Mengajak Genevieve Makan Siang

Sesuai janjinya, Genevieve pulang tepat waktu. Bersama dengan Beatrice, dia sudah membawa Liesel bermain ke taman dekat flat yang mereka tempati.

"Mommy, bisakah aku naik ayunan itu?" tanya Liesel dengan gembira sambil menunjuk ayunan di depannya.

"Tentu, Schatz. Ayo, Mommy temani."

Gadis kecil berpipi kemerahan itu tertawa berkali-kali saat tubuhnya melayang ringan bersama ayunan kayu yang didorong Genevieve. Tak hanya Genevieve, tetapi Beatrice pun ikut tertawa.

"Ve, ayo, duduk sebentar," pinta Beatrice.

Genevieve menurut. Mereka berdua duduk bersisian di bangku besi memanjang yang tersedia di beberapa titik di sepanjang taman.

"Kau melupakan sesuatu."

Genevieve memalingkan muka. "Lupa? Apa?"

"Siapa laki-laki penyelamat itu?"

Pipi Genevieve mendadak terasa panas. Wajah tampan dan ramah itu kembali membayang di pelupuk mata Genevieve.

"Hei, wajahmu merah," goda Beatrice. Ia menatap Genevieve dengan pandangan penuh selidik. "Apa dia tampan?"

"Namanya Adler. Kemarin dia bahkan datang ke swalayan. Aku memberinya kupon diskon khusus karyawan." Genevieve tertawa kecil.

Entah mengapa, Beatrice merasa akan ada sesuatu di antara sahabatnya dengan lelaki penolong bernama Adler itu.

"Apa kau pernah tertarik untuk punya pacar?" tanya Beatrice, hati-hati.

Genevieve menggeleng cepat. "Tidak. Aku tak punya kelebihan apa pun sampai-sampai harus memimpikan ada pangeran berkuda putih datang melamar."

Beatrice mengembuskan napas keras. "Tapi gadis seusia kita rata-rata sudah punya pengalaman tidur dengan laki-laki, Ve."

"Hah? Apa hebatnya?" Genevieve mencebik. "Apa kau tak belajar dari pengalaman? Liesel yang ditelantarkan oleh ayah biologisnya. Kematian Mellysa yang penuh misteri."

Beatrice mengatupkan bibirnya. Merasa berdosa karena secara tak langsung sudah kembali mengorek duka sang sahabat.

"Mommy, sini."

Panggilan dari Liesel membuat suasana yang tadinya kaku mendadak berubah. Genevieve segera mendatangi putri kecilnya.

"Boleh beli es krim?" Liesel memamerkan senyuman andalan. "Tante mau?"

Beatrice mendekat. "Kau mau rasa apa?"

"Cokelat. Mommy suka rasa mint."

Rasa haru memenuhi relung hati Genevieve. Selama ini gadis kecilnya dipaksa terbiasa dengan segala ketebatasan. Bahkan untuk satu porsi es krim, hanya pada momen tertentu saja Liesel bisa menikmatinya.

Beatrice menyenggol lengan Genevieve. "Apa kau mau aku yang pergi membelinya?"

Genevieve cepat-cepat menyembunyikan air mata. "Ya. Pergilah."

Beatrice melihat air mata itu, tetapi pura-pura tidak tahu. Masih banyak hal yang belum diungkap, hanya saja Beatrice tidak ingin memaksa. Semua orang punya waktunya sendiri untuk mengungkapkan lara, bukan?

Penjual es krim itu berada di luar taman. Ketika Beatrice sedang mengantri, tanpa sadar gadis itu mengamati seorang perempuan cantik berbaju seksi yang memamerkan kaki jenjangnya.

Lelaki yang sedang merangkul pinggang perempuan itu pun tak kalah tampan. Si perempuan tampak bersandar pada pintu mobil dalam posisi lengan mengalung di leher pacarnya. Mereka saling memagut, tepat di samping pintu masuk taman.

'Aku berharap kelak Ve bisa punya pasangan seromantis mereka. Aku bisa melihat cinta yang begitu besar dari pasangan itu.' Beatrice membatin. Selama ini, mereka berdua memang tidak pernah punya hubungan khusus dengan laki-laki. Mungkin karena peraturan asrama putri yang sangat ketat.

Beatrice menenteng es krim, melewati pasangan itu. Tanpa ingin merusak suasana romantis, Beatrice melanjutkan langkah. Separuh tergesa-gesa dihampirinya Genevieve dan Liesel yang sedang main ayunan.

"Ayo, makan."

Sesekali terdengar canda dan tawa dari ketiganya. Mereka benar-benar menikmati waktu menjelang senja. Quality time yang membahagiakan walau sederhana.

***

Adler masih saja merasa malu tiap kali teringat dengan tingkahnya kala melihat Genevieve. Terlebih ketika membayangkan bagaimana canggungnya ia setelah insiden tak sengaja kemarin. Ketika isi hatinya terlontar begitu saja.

"Aku harus datang lagi ke sana. Setidaknya aku bisa mengajak gadis itu keluar makan siang." Adler bergumam.

Tidak pernah sekali pun terlintas di benak Adler bahwa ia akan mempermalukan diri di depan para karyawannya sendiri. Kikuk dan salah tingkah di hadapan Genevieve juga kasir yang sedang bertugas.

Ia tidak mengerti kenapa ia sangat suka melihat gadis itu dan ingin berlama-lama bicara dengannya. Ada sesuatu dalam diri gadis itu memantik api penasaran di kepala Adler.

Akhirnya, karena benaknya terus dipenuhi pikiran tentang Genevieve, Adler memutuskan untuk datang ke supermarket dan mengajak gadis itu makan siang.

Adler mengambil kunci mobil dan mengemudikan kendaraannya ke arah tempat kerja Genevieve. Rasa grogi mendera Adler ketika mendekati kassa tempat Genevieve bekerja.

"Genevieve."

"Tuan Adler? Hai. Ada yang bisa saya bantu?"

"Bukankah sebentar lagi jam istirahat makan siang?" tanya Adler berusaha terdengar biasa.

Genevieve mengangguk, tetapi di dalam hati merasa aneh dengan gelagat lelaki berstelan jas lengkap di hadapannya itu.

"Benar. Apa Tuan membutuhkan bantuan saya?" tanyanya.

"Aku ingin mengajakmu makan siang di luar. Bisa?"

Genevieve seketika menjadi bingung. Bagaimana cara menolak ajakan lelaki asing itu? Ia membawa bekal makan siang dari rumah untuk berhemat. Tidak mungkin kan ia memakan bekalnya di restoran tempat pria ini makan siang?

"Maaf. Anda menyela antrian, Pak." Irmina yang kebetulan membutuhkan sesuatu dari Genevieve mendadak ikut angkat suara.

Sebenarnya, bisa saja Adler memakai kekuasaannya untuk memaksa Genevieve. Ia tinggal memanggil manajer supermarket ini dan memintanya membebaskan Genevieve dari tugas untuk makan siang bersamanya. Hanya saja itu bukanlah hal yang bijak.

"Ginny, apa Tuan ini mengganggumu?" Irmina menatap Genevieve dengan pandangan serius.

"Tidak, Nona Mina. Beliau hanya--"

"Saya Adler, ingin mengajak Genevieve makan siang di luar." Adler langsung memotong ucapan Genevieve dengan nada tegas.

Irmina tentu saja terkejut dengan keberanian sosok lelaki di antara mereka itu. Tanpa bisa menahan diri, Irmina langsung memindai sosok tampan yang tampak penuh percaya diri itu.

"Maaf, Tuan. Kami punya peraturan, kalau karyawan tidak dibenarkan makan siang di luar." Irmina mencoba menguji keteguhan hati Adler. Adler ingin tertawa. Tentu saja hal itu mengada-ada. Karena semua peraturan di seluruh cabang usaha milik keluarga Wirtz sama dan Adler hafal semuanya.

"Omong kosong," kata Adler. "Semua karyawan boleh istirahat makan siang selama satu jam dan tidak dilarang untuk makan siang di luar."

"Kalau Anda tidak percaya, saya akan memanggil manajer kami." Irmina semakin menguji kesabaran Adler.

Adler menghela napas panjang. "Saya pikir sekadar makan siang di jam istirahat tidak melanggar peraturan mana pun, Nona Mina."

Ketika Irmina ingin membantah, Adler menyentuh lengan wanita itu. "Sekalipun Anda memanggil pemilik perusahaan ini, saya tidak akan mundur."

Genevieve merasa serba salah. Di satu sisi, dia tak ingin ada keributan. Namun, di sisi lain, dia tak merasa ada yang perlu dibicarakan di antara mereka. Kenapa Adler ingin mengajaknya makan siang tiba-tiba seperti ini?

Bukan dia tak tahu terima kasih, tetapi Genevieve bekerja di perusahaan itu baru satu bulan. Ia tak ingin mendapatkan masalah hanya karena seorang pengunjung yang ngotot makan siang bersama.

"Nona Mina, maaf. Saya minta izin untuk berbicara sebentar dengan Tuan Adler. Boleh?" Akhirnya Genevieve memutuskan untuk bicara baik-baik dengan tuan penolongnya.

Tatapan mata Irmina sangat tidak bersahabat. "Oke. Lima menit, Ginny."

Genevieve mengisyaratkan permintaan untuk diikuti melalui pandangan mata. Adler mengulum senyum.

Setelah mereka tiba di luar supermarket, Ginny berbalik dan menatap Adler dengan sangat serius.

"Tuan, tolong, jangan membuat masalah. Saya bahkan belum lulus masa training di sini. Saya tidak mau dipecat."

"Tidak ada yang akan berani memecatmu, Genevieve. Percayalah kepadaku. Jadi, kita pergi makan siang sekarang?" tanya Adler sambil tersenyum lebar.