"Maaf, Tuan. Saya memberi kenangan jelek di hari spesial Anda."
Ucapan itu tengiang-ngiang di kepala Adler. Sudah setengah jam sejak Genevieve turun dari mobilnya, tetapi Adler tak mampu beranjak. Mobil masih terparkir di depan flat yang dihuni oleh Genevieve.
Genevieve sudah berhasil menidurkan Liesel. Beatrice pun sudah kembali ke flatnya. Walau tentu saja, Beatrice menuntut penjelasan tentang penampilan berbeda dan memukau dari mommy-nya Liesel itu.
Merasa belum siap untuk menjelaskan, Genevieve hanya mengulum senyum dan berkilah kalau hari sudah terlalu malam untuk mengobrol. Beatrice mengalah tetapi tetap menuntut penjelasan dari Genevieve. Mereka berdua hanya tertawa sebelum akhirnya Beatrice benar-benar keluar dari flat Genevieve.
Genevieve merasa beruntung karena memiliki sahabat penuh pengertian seperti Beatrice. Ingatan tentang Adler mengusik ketenangan Genevieve. Gadis itu melangkah menuju ke arah jendela.
Alangkah terkejutnya dia ketika mendapati mobil Adler masih terparkir di sana.
"Astaga, apakah Tuan Adler masih berada di sana? Kenapa tidak pulang? Apa tidak ada keluarga yang akan mencemaskan keadaannya?"
Rentetan pertanyaan memenuhi pikiran Genevieve. Namun, tentu saja, dia tak bisa kembali turun untuk menemui Adler. Genevieve tidak ingin memberi harapan palsu.
Namun, gadis itu tak juga bisa memungkiri kesan manis yang sudah diukir bersama Alder.
"Apa aku sudah mulai tertarik pada Adler?" pikirnya keheranan. Sesaat, Genevieve langsung terperangah dengan pemikirannya sendiri. Lalu dengan segera menggeleng cepat. "Walau tidak tampak seperti kalangan atas, tetapi aku sadar diri. Ada Liesel di antara kami."
Genevieve tersenyum. Tidak penting baginya untuk mencari cinta dari sosok lain karena Liesel sudah lebih dari sekadar cukup.
Dalam benak Genevieve, tidak ada lelaki yang bisa dengan mudah menerima kondisinya yang sudah punya Liesel. Terlebih jika lelaki itu berasal dari kalangan atas, di mana status sosial menjadi acuan dari sikap mereka menentukan jodoh.
Genevieve memandang ke arah mobil Adler. "Terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawa saya, Tuan Adler. Tuhan memberkati Anda."
Genevieve lalu menyeret langkahnya menuju ranjang di mana Liesel sudah terlelap tidur seraya mengemut jempol. Genevieve merebahkan tubuh lalu bergerak perlahan-lahan. Mengubah posisi menjadi berbaring menyamping.
Genevieve mengelus rambut ikal milik Liesel. "Kau adalah segalanya untuk Mommy, Nak. Tidak ada yang bisa memisahkan kita."
Penuh kehati-hatian, Genevieve mengecup pipi Liesel lalu kembali merebahkan tubuh. Dalam hati, dia berbisik mengucapkan selamat malam untuk Mellysa.
***
Keesokan harinya, ketika ia turun dari apartemen hendak pergi bekerja, Genevieve terperanjat. Mobil Adler ternyata masih ada di tempat yang sama. Gadis itu melangkah cepat lalu mengetuk pintu kaca mobil.
Adler tersentak. Kesadarannya belum terkumpul sempurna ketika mendapati wajah cantik yang sering menghiasi mimpi berada di depan jendela kaca mobil.
Adler menurunkan kaca mobil.
"Hai, selamat pagi. Sepertinya aku ketiduran di sini," sapa Adler dengan suara serak. Khas orang baru bangun tidur.
Adler berharap Genevieve mengajaknya naik untuk sekadar mencuci muka. Harapan itu muncul begitu saja di benak Adler.
"Selamat pagi, Tuan Adler. Ya, Anda menginap di depan flat ini." Genevieve tersenyum.
Adler merasa beruntung. Tidak mengapa tertidur di flat, jika disuguhi pemandangan cantik alami khas Genevieve.
"Maaf, Tuan. Jika melanjutkan obrolan ini, dapat dipastikan saya akan datang terlambat ke tempat kerja. Saya permisi."
Tanpa menunggu jawaban, Genevieve melangkah begitu saja. Adler langsung turun dari mobil lalu menangkap lengan Genevieve.
"Tunggu. Aku bisa mengantarmu. Akan lebih cepat sampai kalau naik mobil."
Sembari tersenyum, Genevieve melepaskan genggaman itu. "Tuan harus pulang. Pasti ada keluarga yang menunggu di rumah."
"Tapi, Ghena ...."
Astaga, Adler keceplosan. Panggilan khusus itu belum pernah ia ucapkan di depan Genevieve. Untung saja, Genevieve tidak mendengar karena gadis itu tampak seperti menghindar darinya.
Adler menghela napas panjang. "Ya. Mungkin saja ada yang menanti kehadiranku di rumah. Astaga, badanku pegal semua."
Adler berjalan kembali ke arah mobilnya. Duduk kembali di posisi semula.
"Aku benar-benar jatuh cinta pada gadis itu. Tidak pernah selama ini, aku bertindak sekonyol ini ketika mengejar perempuan." Adler menertawai diri.
Adler melajukan mobilnya dan menuju rumah untuk membersihkan diri dan berganti pakaian untuk kerja. Pada saat yang bersamaan, Beatrice membawa Liesel berjalan kaki ke taman. Adler hanya melirik singkat ke arah mereka lalu kembali fokus mengemudi.
***
Di kediaman Wirtz, ketika Adler baru saja tiba, mobilnya sudah dihadang oleh sosok perempuan cantik.
Wajah cantik Elma tampak masam. Bibirnya mengerucut. Tampak kesal karena Adler baru saja tiba dan entah menginap di mana.
Gadis itu sudah menduga yang tidak-tidak, menuduh Adler sudah menghabiskan malam panjang entah bersama jalang mana. Namun, tentu saja Elma tidak berani mengemukakan tuduhannya.
Ia menyadari bahwa sikap Adler semakin lama telah menjadi semakin dingin kepadanya. Ia menduga Adler sudah mulai bosan kepadanya dan ingin memutuskan hubungan. Ia tidak mau hal itu terjadi. Karenanya, Elma hanya dapat menelan sendiri kekecewaannya tanpa menunjukkan sikap protes berlebihan.
"Pagi, El. Tumben pagi-pagi sudah di sini." Adler mengecup pipi Elma sekilas.
Elma memanfaatkan kesempatan itu untuk memagut bibir Alder. Sayangnya, Adler tidak membalas. Pagutan itu sepihak dan menggores sisi egois milik Elma.
"Aku menginap. Semalaman menunggu kau kembali untuk merayakan ulang tahun." Elma menepikan rasa sakit akibat pengabaian itu lalu memasang wajah cantik yang manja menggoda.
Pakaian yang dikenakannya cukup seksi seperti biasa, gaun bermodel V neck yang berbelahan dada sangat rendah. Dada padat menggoda itu biasanya mampu menggugah hasrat laki-laki untuk singgah dan menjelajah.
Sayangnya Adler yang tidak pernah mencintainya kini bahkan menjadi semakin tidak tertarik kepadanya karena di kepalanya hanya ada bayangan wajah cantik seorang gadis bernama Genevieve.
"Aku capek. Mau mandi dan ganti baju. Pekerjaanku menumpuk." Adler melangkah masuk. "Aku mandi dulu ya. Kalau kau ada pekerjaan, kau pergi saja duluan, jangan menungguku untuk sarapan bersama."
Adler sadar, ketika melangkahkan kaki pulang ke rumah besar, pasti akan ada drama memuakkan. Namun, setiap tahun, Nenek akan menyambutnya dengan penuh kasih sayang.
Ini adalah ritual rutin yang sudah menjadi tradisi yang melekat. Ia akan pulang ke rumah keluarga di hari ulang tahunnya dan merayakan bersama mereka.
"Sayangku, akhirnya kau pulang. Apa kau lupa pada nenekmu ini, hm?"
Adler langsung melepaskan tangan Elma yang masih menggelayut manja. Dengan langkah lebar, dihampirinya sang enek lalu dipeluknya erat wanita tua itu.
"Maafkan Ad, Nenek. Terlalu banyak pekerjaan yang menyita waktu," kata pria itu dengan suara lembut.
"Dasar, Tuan Gila Kerja! Tidakkah kau merasa bosan? Kapan aku diberi kesempatan untuk menimang cicit?" keluh neneknya.
Senyum Elma mengembang sempurna. Tidak sia-sia menginap semalaman menunggu kepulangan Adler, mendengar ucapan Nenek Rossie bahwa ia sudah ingin menimang cucu, dianggap Elma sebagai alasan untuk membicarakan kembali tentang rencana pernikahan mereka yang sudah cukup lama tertunda.
"Tunggulah sedikit lagi, Nenek. Aku baru saja merintis beberapa bisnis baru. Ada tiga hotel baru yang akan dibangun dan aku harus terbang ke beberapa provinsi
Rambut Adler diusap berkali-kali oleh sang Nenek. Sebagai pewaris tunggal tahta perusahaan milik Wirtz, tentu saja wanita lanjut usia itu menaruh harapan besar kepadanya.
"Elma Sayang, bisakah kau meminta kepala pelayan untuk menyiapkan makanan kesukaan cucuku?"
"Oh. Tentu saja, Nek." Elma melangkah menjauh.
Setelah memastikan tidak ada orang lain di antara mereka, Nenek menarik Adler mendekat.
"Apa kau sama sekali tidak ingin menikah dengan Elma?" Nenek berbisik di telinga Adler. "Sudah dua tahun, Ad."