Adler tampak santai menggandeng lengan Genevieve sepanjang mereka memasuki ruang VIP itu. Segala penolakan yang dikemukakan oleh Genevieve seperti tak mempengaruhi pikiran lelaki beraroma maskulin itu.
Tak hanya itu, Adler dengan bangga memperkenalkan Genevieve pada rekan-rekan bisnisnya. Tentu saja Genevieve harus memasang wajah ramah sama seperti ketika menjadi kasir di swalayan.
"Kalau kau merasa tidak nyaman, duduklah di sana." Adler menunjuk kursi makan yang letaknya tak jauh dari ruangan VIP itu.
"Baik, Tuan."
Dari arah kursi yang diduduki oleh Genevieve, gadis itu bisa melihat semua kegiatan Adler. Rasa rikuh langsung memenuhi pikiran Genevieve. Terlebih ketika mengingat betapa keras kepala Adler saat dia berusaha untuk mengganti semua biaya yang dikeluarkan.
"Aku hanya ingin membuatmu tersenyum, Genevieve. Setelah semua hal tak masuk akal yang terjadi, apakah salah kalau aku ingin menghibur hatimu?"
Semua penolakan Genevieve langsung mentah. Adler tetap bersikeras mengatakan bahwa semua itu adalah hadiah atas nama persahabatan. Namun, hal itu semakin membuat Genevieve resah.
Selama ini, Genevieve cuma punya satu sahabat dan itu perempuan, yaitu Beatrice. Dalam pikiran Genevieve, apakah bisa laki-laki dan perempuan murni hanya bersahabat?
Dia hanya takut untuk membuka hati. Biar bagaimanapun, pesona Adler bukanlah hal yang mudah untuk diabaikan begitu saja.
Pelayan datang membawakan makanan. Genevieve yang merasa belum memesan apa-apa hanya bisa menghela napas pendek.
"Semua makanan ini sudah dipesan atas nama Tuan Adler, Nona," kata pelayan menjelasakan.
Genevieve tersipu malu. Seakan-akan pelayan itu dapat membaca lintasan pikiran yang tadi muncul. Ia mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih."
Genevieve menatap ke arah Adler yang tampak sedang merunduk untuk membaca dokumen. Bukan hal yang sopan jika dia makan lebih dahulu sebelum Adler mengizinkan. Maka gadis itu pun hanya diam, menunggu isyarat dari Adler.
Genevieve memandang ke arah jendela kaca yang berada di sisi kanan tempat duduknya. Melihat ke arah rekan bisnis Adler, keinginan untuk kembali mengenyam pendidikan kembali mendominasi pikiran Genevieve.
Senyum getir langsung terukir di wajahnya yang sudah dipoles sedemikian cantik itu. Genevieve langsung menepis perasaan egoisnya, mengingat bahwa selama ini Mellysa sudah cukup banyak berkorban demi masa depan mereka.
'Kakak, aku selalu rindu padamu. Maaf, aku bahkan tak punya uang untuk sekadar pulang menziarahi makam Kakak.'
Saat ini, uang yang dikumpulkan belum seberapa. Itu juga masih harus membayar banyak biaya harian yang jumlahnya sudah diperketat seirit mungkin.
Genevieve menundukkan pandangan. 'Bahkan gaun ini saja, entah bagaimana cara untuk mencicilnya.'
Gaun itu berpotongan sederhana, tetapi tidak mengurangi kesan elegan ketika dikenakan oleh Genevieve. Bahannya lembut dan mampu membingkai tubuh ramping Genevieve.
Belum lagi aroma segar dari rambut dan tubuh Genevieve yang disemprot parfum oleh Fabiano. Genevieve mengembuskan napas, tak sanggup menghitung berapa banyak utangnya kepada Adler.
"Makanlah. Kenapa malah melamun, hm?"
Suara Adler menyentak lamunan Genevieve. "Saya sedang menunggu instruksi dari Tuan."
"Oh, oke. Apa kau merasa keberatan jika aku makan bersama mereka?"
"Tidak, Tuan."
"Aku minta maaf. Tapi meeting sebentar lagi selesai. Aku janji akan mengganti waktu berhargamu dengan sesuatu yang menyenangkan." Adler tersenyum sebelum meninggalkan meja Genevieve.
Genevieve mengerjapkan matanya berkali-kali. Lelaki tampan yang sangat sopan itu benar-benar memperlakukan Genevieve layaknya perempuan dari kalangan atas.
'Apa dia tidak tau kalau aku hanyalah seorang kasir? Staf biasa yang ... miskin? Tidakkah dia salah memilih teman?' pikir Genevieve resah.
Adler yang sudah kembali ke tempat duduk, tersenyum secara mengangkat gelas ke arah Genevieve. Gugup, Genevieve hanya mengangguk sopan.
Genevieve makan dengan perlahan. Tidak mudah baginya untuk makan dalam posisi Adler yang sesekali mencuri pandang ke arahnya. Ada debar aneh yang lagi-lagi muncul.
'Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku juga tak mau ada yang mengatakan aku benalu lagi seperti dulu. Tidak.' Genevieve menggeleng.
Adler yang kebetulan melirik ke arah Genevieve mendadak merasa heran.
'Kenapa dia malah menggelengkan kepala? Apa makanannya tidak enak?' pikir pria itu keheranan.
Adler ingin mendatangi meja gadis itu, tetapi salah satu rekan bisnisnya mengajaknya mengobrol. Adler terpaksa meladeni obrolan ringan yang dilontarkan itu. Terlebih ketika semua peserta meeting pun ikut menimpali.
***
"Maaf karena membawamu ke tempat ini, Genevieve. Apa kau merasa bosan?"
"Tidak, Tuan. Saya hanya merasa asing. Terlebih ketika mereka menatap penuh selidik."
'Kau memang gadis yang jujur, Genna. Aku makin penasaran ingin mengenalmu lebih dalam lagi.'
Sudah sepuluh menit setelah ruangan VIP itu kosong, tetapi Adler masih saja betah duduk di depan Genevieve. Sedangkan yang ditatap sedari tadi sudah cukup merasa jengah.
"Ah, aku sampai lupa. Hari sudah semakin sore. Kita harus segera pindah tempat. Ayo." Adler bergerak cepat, membantu menarik kursi Genevieve.
Jantung Genevieve berdetak kencang ketika menyangka Adler akan menggandengnya lagi. Namun, ternyata tidak. Adler malah berjalan santai di sisi kanan tanpa melakukan gerakan yang berlebihan.
'Astaga, apa-apaan. Kenapa kau malah berharap lelaki ini menggandeng seperti tadi, Genevieve? Jangan bermimpi terlalu tinggi!' Genevieve mengomeli diri.
"Kita ke atas. Ikut aku."
Lagi, Genevieve kembali dibuat terpana melihat kejutan yang dipersiapkan oleh Adler.
Dua buah kursi ditata di tengah ruangan yang dipenuhi dengan bunga-bunga beraroma semerbak mewangi. Tak hanya itu, pemandangan kota dengan matahari menjelang terbenam seperti latar belakang semua kejutan manis itu.
"Apa kau menyukai kejutan kecil ini?" Adler bertanya dengan nada lembut.
Tak hanya itu tatapan Adler pun membius mata Genevieve. Waktu seolah-olah berhenti kala mereka bersitatap.
"Ini terlalu cantik, Tuan."
"Tidak. Kau jauh lebih cantik, Genna." Adler menggumam.
"Hm, apa, Tuan?"
"Hah? Oh, bukan apa-apa." Adler melangkah lebih dahulu.
Senyum Adler mengembang. Ia merasa beruntung karena Genevieve tidak mendengar pujian itu.
"Silakan duduk, Nona Genevieve." Adler menarik kursi seraya mengedip jenaka.
Genevieve duduk lalu mengucapkan terima kasih. "Tapi sepertinya saya tidak bisa makan lagi, Tuan. Saya sudah kenyang."
"Oke. Aku minta menu pencuci mulut saja kalau begitu. Apa kau suka menu yang terbuat dari cokelat?"
"Ya, Tuan."
"Oke." Adler pun melambaikan tangan pada pelayan yang sejak tadi berdiri di depan pintu, menunggu instruksi.
Tak butuh waktu lama untuk menyantap hidangan pencuci mulut bagi keduanya setelah pelayan menyajikannya. Sesekali terdengar tawa ringan dari kedua insan itu.
"Genevieve, aku menyukaimu," ucap Adler, tiba-tiba.
"Tuan, saya—"
"Aku tidak butuh jawaban karena keterpaksaan, Genna." Akhirnya Adler memberanikan diri mengucapkan nama panggilan khusus untuk perempuan yang sedang digilainya itu.
Ponsel Genevieve berdering. Dia merasa seperti sedang diselamatkan dari situasi jengah ditatap sedemikian rupa oleh Adler. Terlebih dengan ungkapan perasaan yang terlontar secara tiba-tiba itu.
"Ya, Bee?"
Adler mengernyit. 'Bee? Panggilan untuk siapa itu?'
"Hah? Oke. Aku pulang sekarang." Genevieve langsung berdiri. "Tuan, maaf, saya harus pulang sekarang juga."
Adler ingin bertanya lebih lanjut, tetapi raut wajah cemas Genevieve membuatnya langsung tanggap.
'Tuhan, semoga Lily baik-baik saja.' pikir Genevieve dengan cemas.
***