Chereads / Tuan CEO, Jangan Cintai Aku! / Chapter 6 - Adler Merasa Menjadi Orang Pandir

Chapter 6 - Adler Merasa Menjadi Orang Pandir

"Berjanjilah, Ve."

"Apa?" Genevieve sedang sibuk memasukkan ujung kemeja seragamnya ke dalam rok.

"Kalau kau harus pulang terlambat, mintalah bantuan. Jangan sampai kejadian itu terulang lagi." Beatrice menatap Genevieve dengan pandangan sungguh-sungguh.

"Iya. Maaf. Aku sudah membuatmu cemas. Tapi aku baik-baik saja." Genevieve berbalik lalu menangkup pipi sahabatnya.

"Aku tau kau sudah mengalami banyak hal buruk. Tapi aku juga tak mau ada trauma panjang--"

"Tidak. Percayalah. Aku tak akan lagi ceroboh seperti kemarin." Genevieve memotong ucapan Beatrice. Tidak ingin mendengar rentetan kalimat yang hanya akan membuat masa lalu itu kembali terbayang.

"Ya. Aku sudah mengingatkanmu, jalan pintas itu sangat sepi dan rawan kejahatan."

Genevieve memeluk Beatrice. "Maafkan aku, Bee. Aku salah."

Semua kejadian yang masih membekas jelas di ingatan Genevieve, mendadak seperti diputar ulang. Tubuhnya mendadak gemetar.

"Ve, hei. Jangan takut. Ada aku di sini." Beatrice mengetatkan pelukan.

"Mommy."

Pelukan keduanya pun terurai. Gadis kecil yang baru bangun tidur itu berdiri di depan kamar sembari mengusap-usap mata.

"Schatz. Mommy harus pergi bekerja."

Liesel menggeleng. "Aku gak mau Mommy pergi. Bukannya kita mau ke taman?"

Genevieve menelan ludah. Benar. Dia sudah berjanji kepada gadis kecil itu.

"Lily, dengar. Mommy akan pulang cepat sore ini. Lalu kita bertiga akan main-main di taman. Oke?" Beatrice berjongkok di depan gadis kecil yang tampak sedang murung itu.

"Janji, ya, Mommy?" Liesel mengulurkan jari kelingking.

Genevieve takut mengecewakan putri kecil itu. Namun, melihat sorot mata penuh harap Liesel, tentu saja Genevieve tidak bisa menolak.

"Mommy akan usahakan yang terbaik, Schatz." Genevieve ikut berjongkok lalu menautkan jari kelingkingnya pada Liesel.

Senyum Liesel mengembang. Ada rasa hangat yang langsung memenuhi relung hati Genevieve setiap kali melihat Liesel tersenyum. Senyum gadis kecil cantik ini mengingatkan dia pada Mellysa.

"Pergilah. Biar aku yang urus Lily. Jangan sampai kau terlambat." Beatrice mengelus punggung Genevieve.

"Schatz, Mommy berangkat kerja dulu." Genevieve mengecup pipi Liesel lalu mengacak rambutnya penuh kasih sayang.

Genevieve memandang penuh arti pada Beatrice. Gadis bertubuh jangkung itu adalah dewi penolong baginya. Mereka saling memiliki satu sama lain. Entah apa jadinya jika Genevieve tak punya tempat bersandar seperti Beatrice.

Genevieve mengayun langkah penuh semangat menuju tempat kerjanya. Dalam hati dia merapal doa semoga bisa pulang lebih awal agar bisa menepati janji.

"Hai, Nona Mina. Anda tampak sangat bersemangat pagi ini." Genevieve tersenyum lebar.

"Ah, Ginny. Aku selalu seperti ini jika melihatmu. Entahlah. Kau selalu mengingatkan aku pada seseorang."

Genevieve ingin bertanya lebih detail, tetapi sudah tiba saatnya membuka kasir. "Nona Mina, aku permisi."

Irmina ikut mengekori langkah Genevieve. Sebagai senior, Irmina sengaja ditempatkan di supermarket baru ini untuk melakukan pembukuan dan penghitungan ulang semua transaksi yang dilakukan oleh kasir junior.

Semua gerak-gerik Genevieve selalu dipantau oleh Irmina. Tanpa mengatakan apa-apa, Irmina menatap haru pada Genevieve, sosok yang mengingatkan kepada adik yang sudah lama meninggal.

'Seandainya Nadia selamat, dia pasti seumuran Ginny.' Irmina membatin, melampiaskan kerinduan pada sang adik dengan menatap ke arah Genevieve yang energik.

Tanpa ada yang menyadari, seseorang dari arah belakang menatap tidak suka pada pandangan Irmina ke anak baru di swalayan itu. Perempuan itu mendengkus tak suka.

**

"Kenapa aku harus selalu menerima pengabaian dari kamu, Ad?"

Adler hanya diam. Hatinya sudah terlanjur lelah dengan semua sikap pura-pura terhadap Elma.

Seandainya saja bisa bersikap tegas dengan menolak semua hal yang disangkutpautkan dengan pesan mendiang Papanya, Adler pasti sudah menjauh sedari dahulu.

Adler meraup wajah, frustasi. "Aku sedang bekerja, El. Ini demi kelangsungan usaha keluarga Wirtz. Tolong, mengertilah."

"Tapi kau jauh lebih mencintai pekerjaan itu ketimbang aku, Ad."

Adler adalah seorang gentleman yang diajari oleh orang tuanya untuk tidak mengucapkan kata-kata yang menyakiti hati wanita. Karena itu ia menahan diri dan tidak mengatakan kepada Elma bahwa ia tidak pernah mencintainya.

Tidak dengan cara seperti ini.

"Kita makan malam, ya? Aku mohon. Keluargaku sudah datang jauh-jauh demi kejelasan hubungan kita." Elma menarik lengan Adler dengan sikap manja.

Sikap Adler yang semakin dingin membuat Elma merasa bahwa ada sesuatu yang salah di antara mereka, Hatinya pelan-pelan dipenuhi kekuatiran bahwa Adler sudah mulai bosan kepadanya dan ingin mencari kekasih baru.

Elma tidak mau dicampakkan. Ia sudah bersabar selama dua tahun. Sudah saatnya ia bersikap lebih tegas dan menuntut peresmian hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Karena itulah ia menggunakan orang tuanya sebagai alasan.

Ahh… atau ia harus membuat Adler tidur kembali dengannya? Mereka sudah sangat lama tidak berhubungan intim. Sejak Adler sibuk mengurusi proyek hotel baru itu dan pembukaan berbagai cabang supermarket mereka, pria itu menjadi semakin gila kerja dan semakin jarang memiliki waktu untuknya.

Aroma wangi tubuhnya sengaja digunakan untuk memancing hasrat Adler. Sayangnya, Adler sama sekali tidak ingin bercinta dengan perempuan mana pun.

Tangan halus Elma mulai menjelajah naik, dari lengan ke bahu, ke pundak Adler yang lebar...

Jemari lentik dengan kuku yang terawat indah itu mulai menelusuri rahang kokoh milik Adler. Merasa tak ada penolakan, bibir ranum Elma mulai menggantikan jemari itu, mengecupi rahang Adler seraya menghembuskan napas lembut menggoda.

Tanpa sadar jemari lentik itu sudah membuka dua kancing kemeja teratas milik Adler. Lelaki itu hampir saja terbuai dalam pancingan Elma yang terus menggodanya. Ketika mata kelam milik Adler memejam, ada bayangan wajah yang berkelebat.

Adler langsung menarik diri. "Maaf, El. Aku harus pergi."

Adler bergegas keluar dari ruang kerjanya. Ia tidak mau membentak dan mengusir Elma keluar dari ruangannya karena hal itu akan berbuntut panjang. Jadi dia saja yang keluar. Adler masuk ke kamar mandi staff. Ia membasuh wajahnya dan menatap bayangannya di cermin.

Usai mengeringkan wajah, Adler bersandar pada dinding. Pikirannya berkecamuk. Ingin menyudahi hubungan semu bersama Elma. Ia harus mulai serius memikirkan caranya.

Selama ini, Adler benar-benar sibuk mengurusi semua cabang dari supermarket milik keluarga Wirtz. Tuan gila kerja itu tak punya waktu untuk mengurusi masalah cinta. Kehadiran Elma di sisinya hanya sebagai pelengkap setelah ia membawa gadis itu untuk menenangkan ayahnya yang sekarat.

Karena kesibukannya, ia terus menunda-nunda memberi kejelasan pada Elma. Setelah ayahnya meninggal Adler bekerja dengan sangat keras sebagai pewaris tunggal tahta perusahaan milik keluarga Wirtz. Ia ingin membuktikan kepada keluarga besarnya bahwa ia memang pantas mewarisi semuanya.

Adler tak ingin kembali ke ruang kerja. Kakinya melangkah menuju parkir. Dengan perasan agak gusar, Adler melajukan mobil menuju gym. Selama ini, Alder melampiaskan emosi pada olahraga. Biasanya, setelah melakukan latihan fisik, Adler akan merasa sangat lelah dan mudah tertidur.

Ketika sampai di tempat tujuan, Adler malah batal ke tempat gym begitu ia melihat supermarket tempat Genevieve bekerja. Ia tidak mengerti kenapa mobilnya justru mengarah ke tempat parkir supermarket, bukannya gym.

Apakah ia ingin bertemu gadis itu? Adler menepuk kepalanya sendiri. Ia hanya bisa tertawa saat menyadari tubuhnya telah secara otomatis melangkah ke dalam supermarket. Begitu tiba di dalam, matanya mencari-cari keberadaan Genevieve, staf supermarket yang berhasil membuatnya mendadak seperti orang pandir.

"Genevieve," panggil Adler.

Gadis yang baru saja selesai menerima pembayaran dari seorang customer itu segera menoleh ke arah asal suara.

"Tuan ... Mau belanja lagi?" Genevieve tersenyum ramah. "Tapi mohon maaf, untuk kali ini, saya tidak bisa memberi kupon diskon."

'Andai kamu tau, aku sama sekali tidak membutuhkan kupon itu.' Adler membatin sambil tersenyum sendiri. Ah, tentu saja ia tidak ingin membongkar penyamaran secepat itu.

"Tidak apa-apa. Aku ingin belanja beberapa produk. Bisakah kau membantu?"

Genevieve sedikit membungkukkan badan. "Maaf, Tuan. Jika butuh bantuan, maka customer care kami bisa melakukannya."

Adler sendiri yang membuat peraturan bahwa kasir tidak boleh meninggalkan area kerja jika tidak dalam kondisi mendesak.

"Tak bisakah jika aku memintamu yang membantuku?"

Genevieve mengernyit, sedangkan Adler langsung mengatupkan rahangnya.

Ucapan yang seharusnya hanya disimpan, malah melompat begitu saja dari bibir lelaki tampan itu.

"Maafkan saya," kata Genevieve sekali lagi. Adler mengangguk dan melambaikan tangannya.

"Tidak apa-apa kalau begitu. Aku akan berbelanja sendiri. Terima kasih, Genevieve."

"Sama-sama, Tuan."

Adler merutuki dirinya sendiri yang sampai salah tingkah di depan Genevieve hingga ia meminta gadis itu menemaninya berbelanja. Mengapa ia bersikap sekonyol ini?

Bukankah tadi ia hendak ke gym? Bukan saja ia malah nyasar ke supermarket, ia juga meminta Genevieve meninggalkan posnya di kasir untuk membantunya. Tentu ia sudah membuat gadis itu merasa tidak enak.

"Ahh.. kenapa kau ini, Ad?" tanya Adler kepada dirinya sendiri.

***