Jika ada yang menanyakan tentang status Liesel, Genevieve selalu saja merasa cemas. Karena status itu akan menjadi rentetan pertanyaan lain yang harus dijabarkan. Dan Genevieve tidak menyukainya.
Hanya saja ketika melihat bagaimana ramahnya wanita tua di hadapannya, Genevieve seketika teringat pada Nyonya Debby Marchen. Dahulu, Genevieve merasa seolah punya sosok ibu pengganti yang bisa membantunya memahami tentang bayi Liesel.
"Ya, Nyonya. Ini anakku."
"Ah, dia sama cantiknya seperti kamu." Nyonya Ross memuji, tulus.
Nyonya Ross sengaja datang ke taman yang penuh kenangan itu hanya sekadar kegiatan rutin mingguan. Siapa yang menyangka, beliau akan bertemu lagi dengan gadis ramah kasir swalayan milik beliau sendiri.
"Katakan, Nak. Apa kau merasa betah bekerja di supermarket itu?"
Senyum Genevieve mengembang cantik. "Ah, Nyonya, itu adalah pekerjaan terbaik yang pernah kumiliki."
Sosok cantik dan sederhana Genevieve menarik hati Nyonya Ross. Di antara kemewahan yang beliau miliki, masih ada gadis tulus seperti Genevieve adalah hal langka.
"Ah, ya. Bagaimana kue Anda kemarin?" Genevieve mencoba beramah-tamah.
"Ah, aku lupa membuatnya." Nyonya Ross tertawa.
Genevieve pikir itu hanyalah faktor usia. Wanita di umur seperti beliau memang rentan terhadap lupa. Padahal, kedatangan Nyonya Ross kemarin tidak sungguh-sungguh untuk berbelanja. Beliau hanya sedang menyamar untuk melihat perkembangan usaha yang ditangani oleh cucunya itu.
"Apa Nyonya suka kue? Kapan-kapan saya akan membuatnya untuk Anda."
"Benarkah? Boleh. Aku selalu datang ke taman ini setiap minggu. Kita bisa terus bertemu di sini." Nyonya Ross mengelus rambut Liesel.
Mata indah milik gadis kecil itu membuat Nyonya Ross merasakan hal aneh. Rasa asing yang hangat. Ia benar-benar menyukai Liesel.
"Aku sudah lama menginginkan cicit. Tapi cucuku selalu saja menolak untuk segera menikah," keluh Nyonya Ross.
Genevieve dan Beatrice hanya tersenyum menanggapi. Wanita tua di hadapan mereka tampak seperti kalangan atas. Walau tidak mengenakan atribut mewah, tetapi kesan berkelas terpancar nyata.
"Kalian tinggal di mana?" tanya Nyonya Ross mengalihkan pembicaraan.
Genevieve menjelaskan letak flat yang mereka huni. Nyonya Ross pun menawarkan tumpangan bagi mereka jika hendak pulang nanti.
Genevieve yang biasanya sungkan menolak kebaikan hati orang, tersenyum mengiyakan. Lagipula Liesel keliatan senang bertemu dengan Nenek.
Gadis kecil itu bahkan tak menolak ketika Nyonya Ross menggandeng tangan mungilnya. Mereka berdua berjalan perlahan menuju mobil.
"Apa kita tidak berlebihan? Kau lihat saja mobilnya. Mewah sekali." Beatrice berbisik-bisik.
"Aku tidak bisa menolak. Apa kau tega merusak kebahagiaan keduanya?" Genevieve balas berbisik.
Entah apa yang sedang dibicarakan oleh Nyonya Ross dan Liesel, sampai-sampai muncul tawa di antara keduanya.
Yang lebih membuat Genevieve dan Beatrice melongo ialah Nyonya Ross memangku Liesel saat ia duduk di mobil. Mereka tampak begitu akrab, layaknya seperti sudah lama mengenal dan terbiasa bersama.
Berbanding terbalik, Genevieve dan Beatrice malah bungkam. Kecanggungan terasa di hati keduanya. Namun, melihat Liesel bahagia adalah prioritas bagi kedua sahabat itu.
"Kita sudah sampai, Lily. Bilang terima kasih kepada Nenek, Schatz." Genevieve tersenyum.
Liesel tak hanya mengucapkan terima kasih, tetapi juga mengecup pipi sang Nenek. Mata tua itu langsung berkaca-kaca.
"Nyonya, Anda baik-baik saja?"
"Ah, Lily, kau membuatku terharu. Terima kasih, Gadis kecil yang cantik." Nyonya Ross mencubit gemas pipi kemerahan Liesel.
Mereka bertiga turun lalu melambai pada Nyonya Ross sampai mobilnya tak lagi terlihat.
"Mommy, Lily suka sama Nenek. Apa boleh bertemu lagi?"
"Boleh, Schatz."
"Ayo, gadis kecil, kita harus masuk. Sudah waktunya minum susu." Beatrice langsung menggendong Liesel.
Genevieve hanya mengulum senyum ketika melihat Beatrice dan Liesel tertawa lepas. Mereka menaiki tangga sembari tertawa. Ini adalah satu hari yang sangat menyenangkan bagi ketiganya.
Usai berganti pakaian dan bersih-bersih, Liesel sudah siap-siap untuk tidur. "Mommy, bacakan dongeng, ya."
Genevieve mendadak teringat pada buku dongeng yang dibelikan Adler. "Sebentar. Mommy punya buku dongeng baru."
Genevieve mengambil dua buku dongeng lalu membawanya ke sisi ranjang. "Tadaa. Yang mana? Pilih satu, Schatz."
"Dongeng putli duyung, Mommy."
"Oke." Maka mengalirlah kisah dongeng putri duyung itu dari bibir Genevieve.
Setelah Liesel tertidur, Genevieve menghampiri Beatrice yang sedang asyik dengan ponsel. Wajah sahabatnya itu tampak begitu sumringah dan bibirnya mengulas senyum yang sangat lebar. Ah, pasti Beatrice sedang mengobrol dengan Daniel, pikir Genevieve.
Melihat Beatrice tampak demikian bahagia, Genevieve tak urung bergumam, "Jatuh cinta seindah itu?"
Beatrice tersenyum lebar seraya meletakkan ponsel. "Coba saja sendiri. Maka kau akan menemukan jawabannya."
"Coba sendiri?" Genevieve menopang dagu. "Dengan siapa?"
"Laki-laki yang kemarin ikut pulang. Adler? Bukannya kau suka kepadanya?"
"Ah, dia sudah punya pacar." Genevieve mencebik. Entah mengapa timbul rasa kesal di hatinya jika mengingat kejadian Adler berpelukan dengan wanita cantik itu.
"Kau yakin kalau itu pacarnya?" tanya Beatrice dengan nada menyelidik.
Genevieve mengernyit. "Tentu saja. Mereka berpelukan sangat mesra."
"Berpelukan saja tidak cukup membuktikan, Ve. Kalau berciuman, baru kau bisa menyimpulkan." Beatrice tertawa mengejek.
"Ya, mungkin saja saat itu mereka berciuman. Hanya aku yang tak melihatnya."
"Dasar gadis aneh. Apa yang kau inginkan? Bersahabat dengan lelaki setampan itu? Yakin tidak tergoda?"
'Apa memang tidak bisa perempuan dan lelaki kalau hanya berteman?' Genevieve menelengkan kepala.
"Kalau aku, ya pasti luluh dengan semua atribut Adler. Dia tampan, baik dan punya pekerjaan jelas. Cocok untuk menjadi daddy-nya Lily." Beatrice mengedip-ngedipkan mata dengan gaya genit.
***
Hari ini Genevieve libur kerja. Ia sudah merencanakan untuk berpergian bersama Liesel dan Beatrice. Selain memberi suasana baru kepada Liesel, Genevieve juga ingin menepi sejenak dari rutinitas sehari-hari.
Di supermarket pun, gerombolan Norbetta masih saja bersikap jahat pada Genevieve. Walau merasa agak tertekan, tetapi Genevieve masih terus bertahan. Ia sadar mencari pekerjaan sekarang sangatlah susah.
Kini, mereka bertiga sudah berada di taman hiburan. Ada banyak permainan yang bisa dicoba.
"Mommy, Lily mau naik itu." Liesel menunjuk bianglala.
"Bee, kau tidak takut ketinggian, kan?"
"Aku hanya takut patah hati, Ve." Beatrice berkelakar.
"Hm, seakan menyindirku." Genevieve memanyunkan bibir.
"Apa kamu pernah jatuh cinta lalu patah hati?"
"Ah, lupakan. Ayo, kita beli tiketnya." Genevieve sengaja mengalihkan pembicaraan. Karena wajah Adler langsung membayang di pelupuk mata. Ahh.. kenapa ia merindukan lelaki itu ya?
Mereka mencoba semua permainan yang bisa dilakukan oleh anak seusia Liesel. Tak hanya itu, mereka memenangkan hadiah dari lomba ketangkasan yang ada di dalam area bermain.
"Apa kau merasa lelah, Schatz?" Genevieve menyeka keringat Liesel.
"Tidak, Mommy. Lily senang sekali hari ini."
"Oke. Satu permainan lagi, lalu kita pulang, ya?"
Liesel mengangguk. Seperti sudah mengerti, Liesel adalah anak penurut yang tidak pernah merengek minta sesuatu pada Genevieve.
"Ah, dia kecapekan." Beatrice mengelus punggung Liesel yang tidur dalam pelukan Genevieve.
Mereka sudah hampir sampai ke flat. Karena sibuk dengan Liesel, Genevieve tidak menyadari kalau Adler sudah menunggu di parkiran. Gadis itu hanya berjalan sembari menatap lurus. Meminimalisir gerakan karena takut Liesel terbangun.
Adler tidak tahu kalau Genevieve libur kerja. Mereka tidak membahasnya kemarin. Adler langsung menurunkan kaca mobil ketika melihat sosok Genevieve.
Adler mengernyit. "Siapa gadis kecil yang ada bersama Genna itu?"